Kemarin saat aku berulang tahun ke-17, ayahku sengaja memesan hotel di Anyer, untuk merayakannya pas bersamaan ulang tahun keponakanku yang baru 1 tahun. Semua dilakukannya untuk menyenangkanku. Agar selalu ada senyum tawa yang hadir di wajahku. Ia yang mendoakan sebelum meniup lilin kue ulang tahun. Sekeluarga kami bersyukur, Alhamdulillah ya Allah.
Â
Ayahku pernah berkata. Ia sangat ingin bisa menemaniku hingga memasuki dunia kampus, kuliah di tahun depan. Dia sudah siap untuk semuanya. Bahkan ia ingin menyaksikan senyumku di saat suatu saat nanti aku menikah. Sebagai tanda tanggung jawab dan tugasnya sebagai seorang ayah sudah selesai. Hanya itu harapan ayahku di sisa waktunya. Tolong kabulkan doa ayahku ya Allah, batinku terharu.
Â
Senja di tepi laut pun makin memerah. Malam semakin larut. Sayup-sayup lantunan sebuah doa terdengar di telingaku.
Ternyata, ayahku sedang bersujud sambil berdoa untukku. Air matanya membasahi sajadah. Dia mohon agar Allah melimpahkan kesehatan dan kebahagiaan dalam hidupku. Sekiranya aku dilimpahi kenikmatan, dia memohon agar tidak membuatku lupa sholat dan zikir kepada-Nya.
Sekiranya diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidupku. Aku makin terharu, lama sekali dia sujud sambil terisak. Sebagai wujud cinta seorang ayah kepada anak perempuannya.
Â
Tiga bulan waktu berselang. Ayahku memang sudah tidak muda lagi. Usianya berangsur tua, badannya pun mulai melemah. Aku pun tersentak, ketika mengetahui ayahku batuk-batuk. Ia sakit, tampak pucat di wajahnya. Tapi ia tetap diam, hanya sorot matanya tidak lagi seperti biasa.
Â
Aku pun mendekatinya. Memegang pundaknya, sambil air mataku membasahi pipiku. Dari kamar terdengar lagi, ayah terbatuk lagi.