Jujur saja, mungkin selama ini aku dianggap lebih dekat dengan ibuku. Karena ibulah yang melahirkanku, di samping memberi perhatian yang begitu besar. Bahkan ibu yang sering mengantar atau menjemputku dari dan ke sekolah.
Â
Sementara ayahku, mungkin tidak terlalu banyak bicara kepadaku. Hanya seperlunya saja. Bila bicara pun isinya nasihat, harus hati-hati saat berkendara motor. Atau harus selalu semangat dalam belajar. Dan ayahku, lebih banyak bekerja untuk memenuhi segala kebutuhanku.
"Kamu harus hati-hati kalo lagi bawa motor. Semangat terus belajarnya" ujarnya kepadaku.
Â
Suatu kali, aku pun membuka isi chat WA kepada ayahku. Ternyata isinya, aku lebih banyak permintaan, "tolong check out-in" pesananku di online shop. Hampir tidak ada, apapun yang aku minta tidak di-"iya-kan ayahku. Dan kini aku tersadar, betapa ayahku memiliki cinta dan kasih sayang yang besar kepadaku, sebagai anak perempuannya.
Â
Aku hanya tahu, ayahku punya tanggung jawab besar atasku. Kebutuhanku, sekolahku, apapun yang aku minta selalu diluluskannya. Tapi aku sendiri, jarang sekali menanyakan apakah ayahku sehat? Atau sedang kelelahan setelah bekerja seharian? Hampir tidak pernah, aku menanyakan keadaannya. Sebegitunyakah aku?
Â
Sepengetahuanku, ayahku sepertinya tidak pernah sakit. Atau sebenarnya sakit tapi ia tidak mau menunjukkannya di hadapanku. Seolah-olah ia baik-baik saja. Tidak pernah terlihat ia minum obat khusus. Kerjanya normal, ia juga tetap mengajar. Bahkan aktivitas sosialnya di Bogor tetap berjalan terus. Sesekali aku hanya tahu, ia selalu mengaji setelah sholat lima waktu. Mungkin begitulah cara ayahku menjaga kesehatannya. Mungkin juga mengaji jadi caranya untuk mengusir kepenatan, kelelahan atau sakit yang dialaminya.
Â