Setelah meng-eja, menulis selembar, atau mengerjakan "PR" buta aksara. Setidaknya hal itu bisa menggugah kesadaran para ibu datang belajar. Meski pada awalnya, orientasi sembako tentu saja dianggap lebih penting ketimbang proses belajar huruf dan angkanya.
"Saya menggunakan metode istilahnya belajar dengan senang. Maklum karena ini ibu-ibu, pasti sulit waktunya. Apalagi ini gerakan sosial, bukan sekolahan. Maka saat datang belajar, ada saja yang saya hadiahi. Bisa seliter beras untuk dibawa pulang. Terus siapa yang duluan selesai satu lembar menulis, nanti dibelikan bakso bareng-bareng atau es cincau," cerita Syarif pria kelahiran Jakarta 49 tahun lalu.
Sungguh, di benak Syarif, persoalan buta huruf atau buta kasara bukanlah soal pemerintah. Tapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Baik aparatur, masyarakat, pendidik, bahkan pemerhati sosial. Harus ada kepedulian untuk "menghidupkan" harkat dan martabat kaum buta huruf, khususnya di mata anak-anaknya. Jangan sampai himpitan ekonomi makin menjadikan kaum buta huruf kian terpuruk, kian tidak berdaya.
Alhasil, kini ibu-ibu yang tergabung di Geber Bura Lentera Pustaka di Kampung Warung Loa Kaki Gunung Salak pun secara perlahan sudah bisa membaca, mengeja kata demi kata, bahkan menulis. Minimal menulis nama dan tanda tangannya sendiri sesuai.Â
Sekalipun sulit mengatur waktu kaum buta huruf, gerakan berantas buta huruf harus terus dilakukan. Agar semua orang, siapapun, harus terbebas dari belenggu buta aksara.
"Justru sangat sulit, karena tersebar dalam satuan kecil yang secara spasial maupun kultural sulit dijangkau," papar Muhadjir.
Sehingga untuk membereskannya, perlu energi berlipat dibandingkan dengan buta aksara biasa. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) angka buta huruf di Indonesia tersisa 2,7 persen atau sekitar 3,4 juta orang dari total penduduk di Indonesia.
Direktur Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud, Abdul Kahar mengatakan, angka buta huruf didominasi usia "kepala empat" ke atas.
Artinya, kata Kahar, pengentasan buta huruf di usia sekolah sudah tuntas. Pemerintah tidak lepas tangan pengentasan buta huruf, sebab hak semua warga negara di semua lapisan dan usia untuk mendapat layanan pendidikan.
Kahar menegaskan, tidak boleh ada anggapan pengantasan buta huruf tidak efektif di usia yang rata-rata tidak produktif. "Tidak boleh mengabaikan bahwa mereka itu sudah tidak produktif lagi. Tapi masih tetap menjadi tanggung jawab negara, karena mereka punya HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap pendidikan," ujar Kahar.