Di malam puasa ini, Surti baru saja usai Sholat Tarawih. Di Masjid dekat rumah, 23 rakaat. Khusyuk dan sangat bergairah. Maklum, malam-malam Ramadhan memang gak boleh dilewatkan bagi Surti. Karena ia hanya salah satu perempuan metropolis yang tak ingin tergerus zaman.
Surti hanya perempuan rumahan. Hanya tahu mengurus anak-anaknya. Sekalipun hidup di tengah kota, Ia tidak tertarik pada ingar-bingar kota Jakarta. Gak suka baca berita, gak suka politik, gak suka dunia olah raga. Surti lebih memilih apatis. Tidak peduli atas apa yang terjadi di luar sana. Sungguh, sikap Surti dapat dipahami.
Hingga sepulang Tarawih, Surti terlibat obrolan. Tono, suaminya yang memulai. Entah karena ingin menggoda atau sekedar tahu pikiran istrinya. Sajadah pun baru saja diletakkan di rumahnya. Surti dan suaminya, duduk santai. Rileks sambil bercengkrama layaknya pasangan suami istri lainnya.
“Kamu gak nonton TV, Bu?” tanya Tono sederhana memulai obrolan.
“Gak Mas, aku gak suka nonton TV. Gak suka baca koran. Bagiku, semua media isinya tak lain hanya kebohongan belaka” jawab Surti dengan mantap.
“Lha kan nonton TV buat pengetahuan Bu. Biar kita tahu apa yang terjadi di luar sana. Jadi punya informasi. Kemarin, baru ada berita rame soal warung makanan yang buka di siang hari saat bulan puasa. Ada juga calon gubernur DKI yang lagi “jual diri” ke masyarakat. Bahkan kalo aku, suka nonton sepak bola. Sekarang ini lagi ada Piala Eropa Euro dan Copa America Centenario” papar Tono bersemangat tentang tontonan TV yang lagi rame.
“Silakan saja Mas kalo mau nonton TV. Kalo aku gak tertarik. Nonton TV gak penting. Apalagi di bulan puasa kayak sekarang. Lebih baik banyakin ibadah. Tarawih, tadarus, dan sedekah. Mumpung lagi bulan puasa, pahalanya dilipatgandakan” tutur Surti lagi.
Tono menggeleng-gelengkan kepala pelan. Seolah ia tak setuju dengan pendapat istrinya. Bukankah nonton TVpenting agar tahu banyak informasi, pikirnya.
“Lho Bu, kan nonton TV bisa bikin kita dapat informasi yang banyak?” tanya Tono lagi.
“Iya Mas. Terus kalo sudah punya informasi banyak mau diapain. Emang informasi bisa dibuat buka puasa? Atau informasi emang bisa bawa kita ke Surga. Dunia itu cuma kendaraan kita untuk menuju Akhirat, Mas. Di akhirat kita gak butuh informasi” sanggah Surti penuh semangat.
“Berarti kamu gak peduli dong sama berita warung makanan yang dirazia saat bulan puasa kemarin?” tanya Tono memancing.
“Terus terang Mas. Aku gak tahu apa yang terjadi. Tapi buatku, puasa itu urusan antara aku dengan Allah. Puasa-puasaku sendiri, buat apa aku minta-minta orang yang gak puasa untuk menghormati aku” jelas Surti bersemangat.
“Lagipula kalo kita mau menghormati ibadah puasa, caranya ya perbanyak ibadah diri sendiri. Tarawih, tadarus, sedekah. Puasa itu menahan diri dari apapun. Jadi, kita tidak perlu memaksa orang yang tidak berpuasa untuk menghormati kita yang puasa. Biarkan saja, semuany sudah diatur Allah kok. Hidup ini gampang, gak usah dibikin susah” tambah Surti lagi.
“Jadi, menurut kamu, warung makanan buka di siang hari saat puasa boleh atau tidak?” tanya Tono penasaran.
“Lha kok pake ditanya Mas. Puasa itu urusan kita dengan Allah, bukan urusan kita sama warung makanan. Silakan dan bebas-bebas saja. Asalkan semua, yang puasa atau yang tidak puasa tahu diri saja. Gak usah pake bilang “hormati yang berpuasa” atau “hormati yang tidak berpuasa”. Puasa itu ibadah khusus sama Allah. Jadi gak usah rame cuma soal warung makanan yang buka siang hari di bulan puasa. Musingin amat sih” Surti agak kesal.
Tono pun terdiam. Ia tak menyangka jawaban istrinya sangat logis. Bisa diterima akal. Tono kagum terhadap Surti yang cuma perempuan rumahan. Tapi punya sikap yang jelas.
“Kalo soal calon gubernur DKI yang pada cari simpati, gimana Bu?” tanya Tono lagi.
Surti mulai agak kesal. Suaminya seperti memancing dirinya untuk peduli pada urusan politik. Agar memberi sinyal kepada siapa Surti menentukan pilihannya.
“Terserah Mas, mau kampanye kek. Mau cari simpati kek. Aku gak peduli. Semuanya gak penting. Hidup kita itu gak bergantung pada si pemimpin. Tapi pada Allah” jawab Surti lantang.
Tono terdiam lagi. Terkesima pada jawaban Surti yang polos.
“Iya Bu. Hidup kita memang bergantung pada Allah. Tapi kan gak salah kalo kita tahu calon pemimpin kita agar paham mau dibawa ke mana rakyatnya?” tanya Tono lagi.
“Aduhhh Mas. Maksa banget sih. Boro-boro mikirin pemimpin, mikirin harga daging aja udah pusing. Pemimpin kek, politisi kek sama saja. Omong kosong. Apa yang mereka kampanyekan saat nyalon faktanya gak sama dengan apa yang terjadi di pasar. Puasa juga baru dimulai, harga-harga udah pada naik. Buat apa punya pemimpin kalo gak bisa bikin rakyatnya senang. Punya pemimpin kok rakyat malah jadi susah. Tanya dong Mas sama mereka, dimana hati nuraninya? Emangnya, mereka itu bisa mengubah bangsa ini dengan omongan doang. Modal cuma retorika kok mau jadi pemimpin. Sungguh, aku gak tertarik Mas” tegas Surti membara.
Surti, Surti. Ia memang potret kebanyakan perempuan di Indonesia. Hanya bergelut dengan hidup sehari-hari. Memasak. Berbenah rumah. Mengantar anak ke sekolah. Sama sekali tidak peduli pada ingar-bingar politik. Politik baginya hanya omong kosong. Bualan para penggila kekuasaan….
Tono makin penasaran. Mengapa istrinya bersikap apatis pada pemimpin, pada calon Gubernur DKI. Apa yang salah dari negeri yang katanya kaya ini. Mengapa perempuan seperti Surti gak antusias menyambut pemimpinnya.
“Lho Bu, kenapa sih kamu jadi apatis terhadap politik. Kita kan perlu mengenal calon pemimpin kita. Agar kita bisa tentukan pilihan yang tepat?” bujuk Tono pelan.
“Aku muak Mas, ngeliat tingkah polah pemimpin di negeri ini. Termasuk para calon itu, para politisi itu. Kebanyakan omong. Lagi kampanye, sok bercengkrama dengan petani, buruh, pedagang pasar dan orang-orang kecil. Itu semua semu. Kamuflase, sok cari simpati. Mereka gak tahu betapa sulitnya petani kita mempertahankan lahannya dengan pendapatan yang pas-pasan. Mereka gak tahu pedagang berteriak bingung harga beli dan harga jual. Mereka gak ngerti buruh tiap seminggu abis gajian sudah gak punya uang. Rakyat kita masih banyak yang hidup miskin. Mana tanggung jawab pemimpin negeri ini?” keluh Surti berapi-api.
Tono gak habis pikir. Kenapa istrinya bersikeras gak peduli pada pemimpinnya. Apakah Surti sudah frustasi terhadap pemimpin bangsanya sendiri. Tono berusaha untuk memahaminya.
“Nah, justru itu Bu. Kalo kita tahu calon pemimpin kita, kita kan jadi tahu ke mana ekonomi bangsa ini akan di bawa. Mereka kan ingin membangun ekonomi kerakyatan” bela Tono lagi.
“Halaah Mas, semuanya omong kosong. Ekonomi kerakyatan itu sudah diomongin bangsa ini sejak merdeka, Mas. Tapi apa nyatanya? Wujud ekonomi kerakyatan sampai sekarang masih kayak hantu. Hidup di tempat gelap dan menyeramkan. Rakyat malah dipaksa hidup sederhana, mengencangkan ikat pinggang. Ekonomi kerakyatan model apa begini…” sergah Surti emosi.
“Lho jadi menurut kamu, selama ini pemerintah tidak berbuat apa-apa pada rakyatnya?” pancing Tono lagi.
“Iya Mas. Jargon ekonomi itu dibikin cuma untuk nyenengin rakyat, biar gak khawatir. Itu semua retorika. Justru selama ini rakyat berusaha sendiri agar tetap dapat hidup. Tanpa campur tangan pemerintah. Lagaknya aja kalo ngomong pake analisa begini-begitu. Mau begini mau begitu. Kayak malaikat aja….” tutur Surti kesal.
Malam pun makin larut. Tono mulai mengerti perasaan istrinya. Ia ingin menyudahi obrolan tentang puasa, warung makanan, dan pilgub DKI. Sambil menyeruput kopi hitamnya. Tono menurunkan tensi obrolan. Ia menantikan siaran langsung Piala Eropa di televisi.
Tono pun mengalihkan obrolan ke sepak bola. Piala Eropa. Dan Piala Copa America.
“Puasa memang punya banyak hikmah buat kita ya Bu. Bahkan puasa tahun ini lebih indah karena ada gelaran sepak bola Piala Eropa dan Piala Copa America. Aku senang Bu, puasa jadi tambah semangat” kata Tono polos. .
“Iya Mas, syukurilah. Aku memang gak suka sepka bola. Tapi kita bisa belajar. Mereka bikin turnamen kreatif banget. Sampe-sampe sejagat raya pengen nonton. Semua orang rame ngomongin bola. Penontonnya banyak, iklannya banyak. Turnamennya sukses. Semua orang ikut senang. Begitulah seharusnya kita “mengemas” sepak bola. Bukan hanya sebagai olah raga tapi juga bisnis. Semua yang terlibat untung dan menyenangkan. Itulah hikmah Piala Eropa dan Piala Copa America” ujar Surti.
Tono bingung. Kenapa sepak bola bisa jadi hikmah buat kita. Apa maksud pembicaraan istrinya.
“Lha kok, kita harus mengambil hikmah dari Piala Eropa dan Piala Copa America. Apa maksudnya Bu?” tanya Tono belagak gak paham.
“Ya iya Mas. Apapun yang kita jalani harus ada hikmahnya. Puasa itu ada hikmahnya, agar kita bisa “menahan diri”. Mengendalikan hawa nafsu, sambil belajar hidup prihatin seperti mereka yang hidup susah. Orang-orang yang mau jadi pemimpin atau politisi juga harus bisa menahan diri. Tidak saling menghujat, tidak saling menjelekkan. Menebar fitnah” tegas Surti.
“Kamu ini ngomong apa sih Bu?” sergah Tono lagi.
“Iya Mas, puasa itu memberi hikmah. Piala Eropa dan Piala Copa America juga ada hikmahnya. Kita harus menjunjung tinggi sportivitas. Seperti negara-negara Eropa dan Amerika Latin itu. Mereka berebut piala, mau jadi juara. Tapi harus berkompetisi secara sehat dan tetap saling tepo seliro. Mereka bersikap realistis. Ada saat menang, ada saat kalah. Itulah hidup, seperti pertandingan sepak bola juga kan” jelas Surti lagi.
Tono membatin. Sungguh luar biasa istriku. Pandangan perempuan yang penuh kelembutan. Selalu mengingatkan suaminya. Pada apapun peristiwa yang terjadi. Tentang Puasa, tentang warung makanan. Tentang pilgub DKI. Hingga tentang Piala Eropa dan Piala Copa America. Selalu ada pelajaran….
“Kalau begitu, apa hikmah terpenting dari itu semua, Bu?”
Hari makin larut malam. Surti mulai agak lelah. Tapi ia harus menjawab pertanyaan suaminya. Ia berpikir sejenak. Lalu berkata, “Sederhana saja Mas. Puasa itu syahrul ibadah. Bulan kita menahan diri. Segalah hal dalam hidup kita, gak usah berlebihan. Secukupnya saja. Puasa itu mengajarkan kita untuk selalu introspeksi diri. Soal warung makanan, soal pilgub DKI, soal Piala Eropa, soal Piala Copa America. Itu semua ada hikmahnya. Dan yang penting kita harus tahu, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Manusia hanya bisa ber-ikhtiar” ujar Surti.
“Asal kita tahu, Mas. Hidup itu sederhana, namun seringkali kitalah yang membuatnya menjadi sulit. Lagian, hidup bukan soal tentang bagaimana kita mengalahkan orang lain. Tapi tentang kita memenangkan peperangan melawan diri sendiri” nasehat Surti hendak mengakhiri obrolan dengan suaminya.
Tono kian terkesima. Ia tak menyangka obrolan Surti malam ini begitu hebat. Ia bangkit dari tempat duduknya. Lalu mencium kening Surti, istrinya. Dalam hati, Tono berdoa, “ Ya Allah, lindungilah istriku. Biarkan ia bicara tentang kebaikan untukku….”.
Tono pun mematikan lampu ruang tengah. Mengajak istrinya istirahat …#Puasanya Surti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H