Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Biarkan Surti Bicara tentang Puasa, Warung Makanan, Cagub DKI, Euro Cup dan Copa America

13 Juni 2016   22:38 Diperbarui: 13 Juni 2016   22:53 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tono makin penasaran. Mengapa istrinya bersikap apatis pada pemimpin, pada calon Gubernur DKI. Apa yang salah dari negeri yang katanya kaya ini. Mengapa perempuan seperti Surti gak antusias menyambut pemimpinnya.

 “Lho Bu, kenapa sih kamu jadi apatis terhadap politik. Kita kan perlu mengenal calon pemimpin kita. Agar kita bisa tentukan pilihan yang tepat?” bujuk Tono pelan.

“Aku muak Mas, ngeliat tingkah polah pemimpin di negeri ini. Termasuk para calon itu, para politisi itu. Kebanyakan omong. Lagi kampanye, sok bercengkrama dengan petani, buruh, pedagang pasar dan orang-orang kecil. Itu semua semu. Kamuflase, sok cari simpati. Mereka gak tahu betapa sulitnya petani kita mempertahankan lahannya dengan pendapatan yang pas-pasan. Mereka gak tahu pedagang berteriak bingung harga beli dan harga jual. Mereka gak ngerti buruh tiap seminggu abis gajian sudah gak punya uang. Rakyat kita masih banyak yang hidup miskin. Mana tanggung jawab pemimpin negeri ini?” keluh Surti berapi-api.

Tono gak habis pikir. Kenapa istrinya bersikeras gak peduli pada pemimpinnya. Apakah Surti sudah frustasi terhadap pemimpin bangsanya sendiri. Tono berusaha untuk memahaminya.

“Nah, justru itu Bu. Kalo kita tahu calon pemimpin kita, kita kan jadi tahu ke mana ekonomi bangsa ini akan di bawa. Mereka kan ingin membangun ekonomi kerakyatan” bela Tono lagi.

“Halaah Mas, semuanya omong kosong. Ekonomi kerakyatan itu sudah diomongin bangsa ini sejak merdeka, Mas. Tapi apa nyatanya? Wujud ekonomi kerakyatan sampai sekarang masih kayak hantu. Hidup di tempat gelap dan menyeramkan. Rakyat malah dipaksa hidup sederhana, mengencangkan ikat pinggang. Ekonomi kerakyatan model apa begini…” sergah Surti emosi.

“Lho jadi menurut kamu, selama ini pemerintah tidak berbuat apa-apa pada rakyatnya?” pancing Tono lagi.

“Iya Mas. Jargon ekonomi itu dibikin cuma untuk nyenengin rakyat, biar gak khawatir. Itu semua retorika. Justru selama ini rakyat berusaha sendiri agar tetap dapat hidup. Tanpa campur tangan pemerintah. Lagaknya aja kalo ngomong pake analisa begini-begitu. Mau begini mau begitu. Kayak malaikat aja….” tutur Surti kesal.

Malam pun makin larut. Tono mulai mengerti perasaan istrinya. Ia ingin menyudahi obrolan tentang puasa, warung makanan, dan pilgub DKI. Sambil menyeruput kopi hitamnya. Tono menurunkan tensi obrolan. Ia menantikan siaran langsung Piala Eropa di televisi.

Tono pun mengalihkan obrolan ke sepak bola. Piala Eropa. Dan Piala Copa America.

“Puasa memang punya banyak hikmah buat kita ya Bu. Bahkan puasa tahun ini lebih indah karena ada gelaran sepak bola Piala Eropa dan Piala Copa America. Aku senang Bu, puasa jadi tambah semangat” kata Tono polos. .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun