Surti terkaget tiba-tiba. Ia mencari suaminya Tono. Di rumah. Sejak usai sholat tarawih, suaminya tak terlihat. Di lantai atas tidak ada. Di kamar, gelap karena lampu dimatikan. Tak terlihat. Mungkinkah Mas Tono ke rumah tetangga? pikir Surti. Surti kehilangan suaminya. Tak biasanya terjadi.
Dua jam sudah berlalu. Surti masih penasaran. Mencari suaminya. Di mana gerangan suaminya berada?
Ia membuka pintu kamar yang gelap. Lampu pun dinyalakan. Surti kembali terkaget. Tono suaminya sedang menangis. Sambil memutar tasbih. Hening. Dan Surti terdiam.
Tono menatap. Pelan. Diarahkan pada istrinya. Ia bertanya:
“Apa yang kamu cari, Bu?” tanya Tono singkat.
“Aduh Mas. Justru aku mencarimu sejak seusai sholat tarawih. Tadi aku sudah lihat ke kamar. Karena gelap, aku kira Mas tidak ada. Apa yang sedang kau lakukan Mas?” tanya Surti.
Tono terbangun dari duduk bersila. Mengemas sajadahnya. Lalu berkata:
“Sungguh, aku sedang menyendiri. Agama kita menyebutnya UZLAH. Menikmati indahnya berhubungan dengan Allah SWT. Sambil merasakan sepi dari manusia. Menyendiri sesekali itu perlu, Bu” terang Tono.
“Mengapa kamu harus menyendiri di kamar sambil bertasbih?” tanya Surti lagi.
“Ya, menyendiri saja. Tak ada alasan apapun bagiku untuk menyendiri. Di bulan puasa, biarkan diri kita bebas dari orang lain. Membiarkan diri kita menjadi diri sendiri. Menemukan cara yang lebih baik dalam berhubungan dengan sang pencipta” papar Tono.
“Memang, seberapa penting kamu harus menyendiri Mas?” tanya Surti penasaran.
“Itulah HIDUP manusia. Saat kita sedang menyendiri, sering dianggap kesepian. Lalu mereka berteriak mencari kita. Padahal, di saat kita bergaul bersama mereka, terkadang kita hanya diajarkan mencipta kepalsuan dan kepura-puraan. Kita terpaksa memakai “topeng”.” jelas Tono.
“Banyak orang ingin kita selalu bersama mereka. Tapi mereka juga sering tak mau menerima kita apa adanya. Dan kemarin atau hari ini, kita berkompromi dengan keadaan semu itu. Kita sering terpaksa menjadi diri yang bukan diri kita sesungguhnya. Kita menjadi pribadi seperti yang mereka mau. Lalu, batin kita berteriak. Mengapa semuanya ini terjadi?” lanjut Tono.
Surti terdiam sejenak. Merenung kata-kata suaminya. “Tapi bukankah menyendiri itu sebagai pelarian?” tanyanya.
“Tidak Bu. Menyendiri bukan pelarian. Tapi untuk merenung. Bergaul akrab dengan Sang Khalik. Dunia itu nisbi. Terlalu banyak mengikuti dunia, kita akan terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kadang membuat kita lelah. Karena itu, kamu perlu sesekali untuk menyendiri. Itulah Uzlah, keluar dari kehidupan dunia” terang Tono.
“Saat ini, banyak orang menghabiskan waktu untuk memelihara hubungan dengan orang-orang lain. Padahal untuk memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, kita harus punya hubungan yang baik dengan diri sendiri dulu. Gimana caranya? Kita harus meluangkan waktu untuk diri sendiri. Apapun caranya, luangkan waktu untuk menyendiri” tambah Tono.
“Sungguh, aku takut untuk menyendiri Mas?” sergah Surti.
“Tak perlu takut Bu. Kita harus latih untuk melewati waktu sendirian. Karena momen kesendirian itulah landasan kita menuju kebahagiaan yang sejati. Ada banyak cara menikmati kesendirian kita. Sesekali menghindar dari hiruk-pikuk keseharian. Toh nanti kita akan kembali ke akhirat pun sendiri” ujar Tono.
“Tapi, bagi banyak orang menyendiri itu identik dengan kesedihan atau kesepian kan?” tanya Surti lagi.
“Sungguh, sekali lagi tidak, Bu. Menyendiri bukan kesedihan. Bukan pula kesepian. Menyendiri itu marwah hidup manusia. Agar kita lebih kenal diri sendiri. Agar kita bisa merasakan terasing dari keramaian. Meski di zaman sekarang, orang yang menyendiri sering dianggap aneh. Apalagi saat ini kita mudah terhubung dengan berbagai media sosial dan pesta-pesta. Menyendiri hanya kita lakukan untuk kesendirian itu sendiri. Tak perlu tujuan atau apapun” tambah Tono.
“Lalu, seberapa lama kita harus menyendiri dari dunia, Mas?” Surti penasaran.
“Tak perlu lama. Sesekali saja menyendiri. Karena mayat pun bosan berlama-lama di kubur jika tidak ada malaikat bersamanya. Karena itu sesekali pergilah menyendiri agar kita 1) mau menghabiskan waktu dalam ibadah, 2) mau memutuskan hubungan dari orang lain sama sekali, dan 3) mau menghitung bahaya akibat dunia dan pergaulan yang terlalu ramai” nasehat Tono.
“Setidaknya dengan menyendiri, kita dapat membersihkan hati dari kelalaian. Uzlah hati. Melatih lahiriah diri kita bersama makhluk-Nya, tetapi jiwa tetap bersama Allah” lanjutnya.
Surti makin tertegun menyimak nasehat suaminya. Ia tersentak. Pentingnya manusia menyendiri.
Tono melanjutkan nasehatnya. Sambil berdiri dan meletakkan sorban di gantungan kamar.
“Ketahuilah Bu. Menyendiri adalah kebutuhan manusia. Seperti kita butuh toilet untuk buang air. Kebutuhan yang harus tersembunyi. Hanya dilakukan tanpa perlu diketahui orang banyak. Apalagi diteriaki dalam hingar-bingar tepuk tangan. Menyendiri, tidak seperti kita butuh makan atau pakaian yang bisa dipamerkan”.
“Menyendirilah sesekali di saat kita membutuhkannya. Karena setiap manusia pasti butuh menyendiri” papar Tono lagi.
Surti tak kuasa menahan haru dirinya. Tenggelam dalam renungan untuk menyendiri. Larut untuk segera berhijrah, dan menyendiri seperti yang dilakukan suaminya malam ini. Surti masih tertegun ...
Tono pun melanjutkan nasehatnya tentang menyendiri. Iya merenung tentang diri sendiri. Agar bisa tetap bersama sang pencipta. Dalam keadaan apapun, dalam situasi bagaimanapun.
"Ketahuilah Bu, menyendiri berarti kita berhenti sejenak. Kita tidak bergerak kemana-mana. Melainkan hanya merenung. Merenungkan perjalanan yang telah dilewati. Agar kita bisa lebih baik di hari esok" tukas Tono lagi.
“Bagaimana jika kita tidak pernah menyendiri, Mas?” tanya Surti.
“Siapa yang tidak pernah menyendiri di dunia hendaklah jangan menyesal di akhirat nanti. Apalagi saat kita punya masalah. Sedang gundah atau galau. Maka mereka akan menolakmu. Kecuali kamu menyetor wajah seperti yang mereka mau. Kamuflase. Ingatlah, kita punya Allah SWT. Kita adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Maka mendekatlah pada-Nya. Temukanlah diri kita dalam kesendirian kita, bukan pada keramaian mereka” jawab Tono.
Surti pun tak kuasa menyimak nasehat Tono. Menetes air matanya. Ia ingin menyendiri. Segera mendekat pada Allah SWT. Mumpung di bulan puasa. Lampu pun dimatikannya. Surti ingin menyendiri, untuk uzlah....#Puasanya Surti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H