Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Arti KEMENANGAN

10 Juli 2014   02:43 Diperbarui: 10 Juli 2016   22:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini sunyi. Idul Fitri terlewat sudah. Gema silaturahim mulai menyurut, seiring hembusan angin yang berpindah. Pada setiap insan, pada setiap ruang dan waktu. Entah hingga kapan....... Surti seakan mendekap malam. “Aura lebaran mulai menyurut. Apakah aku sudah meraih KEMENANGAN?” Surti membatin sendiri.

Ia termenung sendiri. Dalam malam. Tanpa suaminya Tono. Sungguh hidup manusia, pikirnya. Kadang menang, kadang kalah. Itulah kehidupan. Surti terlarut dalam hembusan angin malam, sesekali terdengar teriakan orang di luar rumahnya. Aku ingin menafsirkan tentang arti kemenangan.

“Sungguh bagiku, kemenangan bukanlah saat kita berhasil mengalahkan lawan. Kemenangan juga bukan saat kita memperoleh jabatan. Menang puasa, menang di Idul Fitri. Sungguh, kemenangan bukan soal medali atau predikat seseorang. KEMENANGAN itu ada pada diri ketika kita berhasil “memenangkan” dimensi spiritual di atas dimensi fisik kita” batinnya.

Surti makin tak menentu pikirannya. Apa arti kemenangan itu? Ia terus bertutur dalam batinnya.

“Sungguh, mengapa banyak orang menyangka kemenangan adalah ketika mampu mengalahkan orang lain. Lalu sombong dan pongah hati. Sungguh bukan itu, kemenangan adalah jika lawan tampak tidak seperti dikalahkan" Surti sedikit berfilosofi.

Maka, orang yang merasa menang harus tetap rendah hati, tawaddu', dan penuh kesyukuran. MENANG itu ketika kita mampu melawan diri sendiri. Bahkan mau menerima kekalahan tanpa amarah, tanpa dendam, dan tanpa sakit hati. Bersikap legowo dan menerima dengan penuh ikhlas, apapun yang terjadi pada diri kita sendiri” gemas Surti.

Lalu, mengapa banyak orang menyombongkan diri ketika merasa menang? tanya batin Surti.

Sungguh tidak. Daun yang gugur sama sekali tidak dikalahkan angin. Itu semua terjadi karena adanya pergerakan. Ada hukum alam yang sedang bekerja. Maka kemenangan pun. Tidak boleh “melawan” logika objektif dan realitas yang ada dalam hidup. Siapa bilang “orang besar” harus selalu menang dari “orang kecil”? Siapa bilang gabungan “orang banyak” gak boleh kalah dari “orang sedikit”? Begitu pula mereka yang berpuasa 30 hari, itu menjadi tanda ia menang terhadap dirinya sendiri. Maka, bersamaan dengan kemenangan itu dibutuhkan pula jiwa besar.

Memang, menerima kekalahan bukanlah suatu perkara mudah. Rasa malu, sakit, marah, kecewa. Apalagi harus mengucapkan kata “Selamat” kepada lawan yang menjadi pemenang. Lagi-lagi, memang, tidak mudah untuk berjiwa besar. “Lalu bertanya, kenapa bukan saya yang menang ?” itulah ucapan dalam hati, saat kita tahu bukan kita pemenangnya. Termasuk dalam pertarungan hidup.

Sekali lagi, untuk apa menang? Jika kita hanya bisa berbangga diri dan merasa mampu mengalahkan orang lain.

Tidak sama sekali, batin Surti lagi. MENANG dalam berselisih. Untuk apa? Walaupun kita menang, sejatinya kita tetap kalah. Yang menang, hanya ego diri sendiri. Yang tinggi hanyalah emosi kita. Yang jatuh justru citra dan jati diri kita sendiri. Maka, tidak ada artinya kita menang dalam perselisihan.

Tiba-tiba angin malam berhembus kencang. Menyingkap rambut Surti. Ia sedikit memejamkan mata. Berpikir lagi tentang arti kemenangan. batinnya masih bergolak. Tentang apa itu kemenangan bagi manusia? Setelah 30 hari berpuasa, setelah menggenggam Idul Fitri.

Andai saja kita tahu, sebenarnya Semua kemenangan berasal dari keberanian memulai. Memulai untuk memaafkan, memulai untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Memulai untuk berubah, membuang jauh yang jelek lalu memperbanyak yang baik dalam hidup. Itu saja, pikir Surti lagi.

Apakah rumput harus menolak dimakan oleh rusa, yang kemudian menjadi mangsa singa?

Sekali lagi, kemenangan hanya terjadi ketika setiap insan berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Insan yang mau berubah menjadi manusia baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan mampu mengubah “kemenangan pribadi” selama berpuasa menjadi “kemenangan publik” yang bersifat sosial. Maka sungguh, setiap Kemenangan pada diri siapapun semestinya dilandasi oleh rasa cinta dan empati kepada orang lain. Bukan rasa iri, dendam atau pikiran negatif yang bersemayam dalam diri.

Bulan puasa juga Idul Fitri, bagi Surti, inilah momentum untuk “mereposisi” arti sebuah kemenangan. Puasa mengajarkan kita untuk meraih “kemenangan” dalam mengembalikan keseimbangan hidup kita, seperti kita dilahirkan ke dunia ini. Menang karena kita kembali ke fitrah, berani menjada keseimbangan dunia-akhirat. Menang untuk tetap istiqomah berada di jalan Allah, menjadi hamba terbaik Allah SWT. 

Malam pun semakin larut. Surti termangu sendiri, bersama malam. Sambil batinnya bertutur, "sungguh, siapapun kita tidak akan pernah menang jika kita tidak pernah mau memulai untuk lebih baik".... Wallahu a’lam bisshowab. #ArtiKemenanganSurti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun