Tiba-tiba angin malam berhembus kencang. Menyingkap rambut Surti. Ia sedikit memejamkan mata. Berpikir lagi tentang arti kemenangan. batinnya masih bergolak. Tentang apa itu kemenangan bagi manusia? Setelah 30 hari berpuasa, setelah menggenggam Idul Fitri.
Andai saja kita tahu, sebenarnya Semua kemenangan berasal dari keberanian memulai. Memulai untuk memaafkan, memulai untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Memulai untuk berubah, membuang jauh yang jelek lalu memperbanyak yang baik dalam hidup. Itu saja, pikir Surti lagi.
Apakah rumput harus menolak dimakan oleh rusa, yang kemudian menjadi mangsa singa?
Sekali lagi, kemenangan hanya terjadi ketika setiap insan berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Insan yang mau berubah menjadi manusia baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan mampu mengubah “kemenangan pribadi” selama berpuasa menjadi “kemenangan publik” yang bersifat sosial. Maka sungguh, setiap Kemenangan pada diri siapapun semestinya dilandasi oleh rasa cinta dan empati kepada orang lain. Bukan rasa iri, dendam atau pikiran negatif yang bersemayam dalam diri.
Bulan puasa juga Idul Fitri, bagi Surti, inilah momentum untuk “mereposisi” arti sebuah kemenangan. Puasa mengajarkan kita untuk meraih “kemenangan” dalam mengembalikan keseimbangan hidup kita, seperti kita dilahirkan ke dunia ini. Menang karena kita kembali ke fitrah, berani menjada keseimbangan dunia-akhirat. Menang untuk tetap istiqomah berada di jalan Allah, menjadi hamba terbaik Allah SWT.
Malam pun semakin larut. Surti termangu sendiri, bersama malam. Sambil batinnya bertutur, "sungguh, siapapun kita tidak akan pernah menang jika kita tidak pernah mau memulai untuk lebih baik".... Wallahu a’lam bisshowab. #ArtiKemenanganSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H