Malam ini sunyi. Idul Fitri terlewat sudah. Gema silaturahim mulai menyurut, seiring hembusan angin yang berpindah. Pada setiap insan, pada setiap ruang dan waktu. Entah hingga kapan....... Surti seakan mendekap malam. “Aura lebaran mulai menyurut. Apakah aku sudah meraih KEMENANGAN?” Surti membatin sendiri.
Ia termenung sendiri. Dalam malam. Tanpa suaminya Tono. Sungguh hidup manusia, pikirnya. Kadang menang, kadang kalah. Itulah kehidupan. Surti terlarut dalam hembusan angin malam, sesekali terdengar teriakan orang di luar rumahnya. Aku ingin menafsirkan tentang arti kemenangan.
“Sungguh bagiku, kemenangan bukanlah saat kita berhasil mengalahkan lawan. Kemenangan juga bukan saat kita memperoleh jabatan. Menang puasa, menang di Idul Fitri. Sungguh, kemenangan bukan soal medali atau predikat seseorang. KEMENANGAN itu ada pada diri ketika kita berhasil “memenangkan” dimensi spiritual di atas dimensi fisik kita” batinnya.
Surti makin tak menentu pikirannya. Apa arti kemenangan itu? Ia terus bertutur dalam batinnya.
“Sungguh, mengapa banyak orang menyangka kemenangan adalah ketika mampu mengalahkan orang lain. Lalu sombong dan pongah hati. Sungguh bukan itu, kemenangan adalah jika lawan tampak tidak seperti dikalahkan" Surti sedikit berfilosofi.
Maka, orang yang merasa menang harus tetap rendah hati, tawaddu', dan penuh kesyukuran. MENANG itu ketika kita mampu melawan diri sendiri. Bahkan mau menerima kekalahan tanpa amarah, tanpa dendam, dan tanpa sakit hati. Bersikap legowo dan menerima dengan penuh ikhlas, apapun yang terjadi pada diri kita sendiri” gemas Surti.
Lalu, mengapa banyak orang menyombongkan diri ketika merasa menang? tanya batin Surti.
Sungguh tidak. Daun yang gugur sama sekali tidak dikalahkan angin. Itu semua terjadi karena adanya pergerakan. Ada hukum alam yang sedang bekerja. Maka kemenangan pun. Tidak boleh “melawan” logika objektif dan realitas yang ada dalam hidup. Siapa bilang “orang besar” harus selalu menang dari “orang kecil”? Siapa bilang gabungan “orang banyak” gak boleh kalah dari “orang sedikit”? Begitu pula mereka yang berpuasa 30 hari, itu menjadi tanda ia menang terhadap dirinya sendiri. Maka, bersamaan dengan kemenangan itu dibutuhkan pula jiwa besar.
Memang, menerima kekalahan bukanlah suatu perkara mudah. Rasa malu, sakit, marah, kecewa. Apalagi harus mengucapkan kata “Selamat” kepada lawan yang menjadi pemenang. Lagi-lagi, memang, tidak mudah untuk berjiwa besar. “Lalu bertanya, kenapa bukan saya yang menang ?” itulah ucapan dalam hati, saat kita tahu bukan kita pemenangnya. Termasuk dalam pertarungan hidup.
Sekali lagi, untuk apa menang? Jika kita hanya bisa berbangga diri dan merasa mampu mengalahkan orang lain.
Tidak sama sekali, batin Surti lagi. MENANG dalam berselisih. Untuk apa? Walaupun kita menang, sejatinya kita tetap kalah. Yang menang, hanya ego diri sendiri. Yang tinggi hanyalah emosi kita. Yang jatuh justru citra dan jati diri kita sendiri. Maka, tidak ada artinya kita menang dalam perselisihan.