Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia, Antara Ambisi dan Kekuasaan

8 September 2019   07:55 Diperbarui: 8 September 2019   08:21 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusuhan Massa, antara ambisi dan kekuasaan

Manusia (Pengen) TERKENAL  : Ambisi dan Kekuasaan

Oleh : HM. Syarbani Haira

Sedikitnya, ada 2 (dua) kasus figur manusia yang telah berinteraksi denganku, baik sebagai senior di organisasi sosial, atau sekaligus pendidik di lembaga pendidikan (tinggi). 

Kasus ini tak mudah aku lupakan, karena kedua figur tersebut, dengan lantang berani secara terbuka menyatakan tekadnya ingin menjadi "manusia terkenal". 

Niat ini tidak sekadar mereka ucapkan, melainkan juga sekaligus mereka implementasikan. Hasilnya, untuk wilayah tertentu, sesuai kadarnya masing-masing, niat itu sudah kesampaian. 

Mereka telah menikmatinya, menjalaninya, dan juga merasakan hasilnya, dengan perspektif dan values masing-masing --minimal untuk ukuran mereka sendiri.

Kasus pertama, ada seorang aktivis mahasiswa, yang kemudian bergabung dengan organisasi mahasiswa. Sebagaimana lazimnya organisasi mahasiswa, aktivitasnya ada yang skope lokal, hingga skope nasional. 

Entah dapat inspirasi dari mana, yang bersangkutan pengen dikenal luas. Sayangnya, yang dia lakukan justru negatif. Dalam sebuah persidangan organisasi mahasiswa tersebut misalnya, dia tak segan-segan bikin onar, melakukan kerusuhan saat persidangan. 

Betul, terjadilah kerusuhan itu. Sidang pun tertunda. Menurut pengakuannya, saat itu namanya sangat dikenal peserta dari daerah lainnya. Bahkan asal daerahnya pun ikut terkenal. Tetapi setelah lulus, kawan-kawannya lebih mengenalnya sebagai seorang aktivis mahasiswa yang "preman", karena di mana-mana kerap bikin kerusuhan dengan cara kekerasan. 

Ditambah perilaku buryk lainnya, dia bisa ngutang tanpa pernah mau membayar, mencari proyek dengan cara kekerasan, bahkan tak segan-segan melakukan penipuan. 

Tidak hanya itu, dalam beraktivitas sosial pun tetap dengan cara-cara preman, di mana orang ini belakangan memang cukup dikenal, sayangnya rada negative value-nya

Kasus kedua, ada seorang mahasiswa, yang punya hajat juga pengen terkenal. Semangat untuk terkenal ini sesungguhnya tak masalah. Sangat baik. Asal disalurkan pada proporsi yang sebenarnya. Namun mahasiswa ini salah kaprah. Dia tak merancangnya dengan baik. Sehingga, dia pun melakukannya sebisanya. Maka saat di kampus, dia jadi aktivis kampus (ini tentu baik). 

Dia bahkan ikut tampil dengan kesenian lokal (yang ini lumayan, namanya mulai dikenal karena mampu menyajikan kesenian lokal). Dia juga aktiv full di lembaga kemahasiswaan. Sayangnya dia tidak pernah mau menggembleng dirinya menjadi akademisi yang baik, menjadi orang berprestasi di kalangan kampus. 

Dia belajar biasa-biasa saja, hanya sekadar biar lulus saat ujian. Buruknya, biar nilai ujian akhirnya baik, maka itu pun siap dia curangi. Untungnya, usai lulus kuliah dia punya hajat yang positif, ingin jadi penyiar televisi (agar terkenal). 

Maka kuliahnya pun dibidang itu, walau akhirnya hajatnya tidak kesampaian. Tetapi tetap tersalur melalui institusi lainnya. Tetap positif, sesuai kadarnya.

Berangkat dari Kebutuhan Dasar

Dari dua model manusia di atas, saya teringat akan teorinya Abraham Maslow, seorang pakar psikologi humanistik yang sangat terkenal itu. Maslow dengan baik dan cantik telah berhasil menyusun teori kebutuhan manusia, yang disebutnya dengan hierarki kebutuhan. 

Menurutnya, pada dasarnya manusia itu memiliki kebutuhan dasar yang positif. Sedikitnya ada 5 (lima) kebutuhan manusia itu, yang masing-masing adalah : (1). Kebutuhan fisiologis, (2). Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, (3). Kebutuhan rasa cinta, memiliki dan dimiliki, (4). Kebutuhan harga diri, serta (5). Kebutuhan aktialisasi diri.

Untuk kebutuhan yang pertama, yakni kebutuhan fisiologis. Bagi manusia ini kebutuhan yang sangat mendasar, karena manusia perlu oksigen, pertukaran gas, cairan (minuman), nutrisi (makanan), eliminasi, istirahat dan tidur, adanya aktivitas keseimbangan suhu tubuh, dan kebutuhan seksual. Semua ini normal, dan harus terpenuhi. Jika ada yang terabaikan, maka ada something wrong dalam diri manusia itu.

Manusia juga perlu kebutuhan kedua, yakni soal rasa aman dan perlindungan diri sendiri. Perlindungan ini ada dimensi fisiknya, serta ada dimensi psikologisnya. Perlindungan fisik berupa penjagaan fisik manusia dari ancaman penganiayaan, pembunuhan, serta termasuk kecelakaan. 

Oleh karena itu, negara berkewajiban menjaga rasa aman ini, termasuk dari kasus kecelakaan, negara bisa dituntut jika menjadi penyebabnya. Selain itu ada pula tuntutan perlindungan psikologis, di mana harus ada jaminan bagi manusia agar tidak terganggu kondisi kejiwaannya. 

Kebutuhan manusia yang ketiga adalah rasa cinta, memiliki dan dimiliki. Ini sudah lazim, karena itu Tuhan menciptakan manusia di bumi ini berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan. Mereka sama-sama memiliki rasa cinta, rasa ingin memiliki dan rasa ingin dimiliki. 

Dengan begitu mereka bisa saling memberi, saling menerima kasih sayang, ada kehangatan dalam interaksinya, serta akan ada persahabatan dan rasa kekeluargaan.  

Sejak era nenek moyang manusia, ini terus berlangsung hingga kini, sesuai fitrah manusia itu sendiri (bahwa ada yang menyeleweng dari fitrah tersebut, itu harus dibahas tersendiri di lain kesempatan).

Kemudian, pada kebutuhan yang keempat, manusia memerlukan akan harga diri dan perasaan pada diri sendiri, dan orang lain. Dalam konteks ini, maka pada dasarnya manusia akan selalu saling menghargai, dan juga dihargai. Pengakuan ini menjadi bagian dari rasa psikologis manusia, yang saling menghargai satu sama lainnya. 

Terakhir atau kelima, kebutuhan manusia akan aktualisasi diri. Dalam konteks ini, aktualisasi diri ini merupakan kebutuhan bagi manusia yang untuk selalu berkontribusi pada orang lain dan lingkungan sekitarnya, guna mencapai proses pengembangan sumber daya manusia seutuhnya, yang dalam islam kerap disebut dengan istilah "insan kamil", manusia sempurna, dengan segala potensi yang dimilikinya.

Ambigu Manusia

Tentu kita semua akan bertanya-tanya, di tengah sinyalemen Abraham Maslow yang begitu baik tentang manusia, kenapa tak sedikit dari manusia itu yang berperilaku buruk. 

Apakah koruptor, pemerkosa, perampok, maling, penjajah, serta sejumlah perilaku buruk manusia itu merupakan sebuah kebutuhan manusia ? Saya berani dengan lantang menjawab itu TIDAK ... !!! Kenapa ? Karena itu (pertama) tidak masuk dalam dimensi psikologis kebutuhan dasar manusia itu sendiri. 

Kedua, doktrin ajaran agama (apa pun) di dunia ini tidak ada yang memiliki values keburukan atau kejahatan, hatta agama Yahudi sekali pun. 

Jika hari ini misalnya, orang-orang yang beragama Yahudi di Israel melakukan keburukan pada bangsa Palestina, itu bukan karena ajaran agamanya, melainkan karena tafsir agamanya melalui faham zionisme Israel yang serta merta didorong oleh hasrat ambisi dan ingin berkuasa.

Inilah yang juga sedang melanda kita-kita manusia di mana pun berada, termasuk bangsa kita. Tidak cuma di Timur, dan tidak cuma di Barat. Tidak di Utara, dan tidak di Selatan.

Di mana saja, manusia bisa terlena oleh hasrat pribadi, ambisi dan kekuasaan. Ironisnya lagi, orang yang bertahun-tahun belajar di sekolah agama sekali pun, yang tampil seperti agamawan yang saleh di tengah publik, ternyata perilaku individunya sangat buruk. Sekali waktu ia tak segan-segan ke lokalisasi pelacuran. 

Ia pun sanggup melakukan penipuan pada orang yang baik-baik, yang pernah mengajaknya untuk perbuatan kebajikan. Ia bisa saja buat dalih perlu uang, dan meminjam pada orang lain, tetapi di hatinya ada niat buruk tak akan membayar. Kenapa semua ini bisa terjadi, ya karena ambisi dan kekuasaan.

Dari mana pula ambisi dan kekuasaan itu hadir, ya karena manusia sudah kehilangan akal sehatnya. Dalam bahasa agamanya, ia sudah terkomtaminasi pikiran setan. Terperangkap jebakan iblis. Tak hanya itu, ia pun sebagai manusia sudah menjadi setan. 

Itulah manusia, hadir dalam dimensi beragam, dan fenomenal. Ia bisa baik, tetapi juga bisa buruk. Tetapi karena manusia sudah jadi setan, maka umumnya manusia itu menjadi sangat buruk, walau tampilan kesehariannya sungguh sangat baik. 

Na'uzubillah ... !!!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun