Di tahun politik ini, dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK ada dua menteri yang sedang disoal terkait dengan pengunduran diri sebagai menteri dalam kabinet yang tinggal 1,5 tahun kedepan. Mereka adalah Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansah yang akan maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto (AH) yang terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Kedua menteri tersebut konteksnya berbeda dalam mempersoalkan "keharusan" mengundurkan diri dari jabatannya saat ini dan dasar hukum yang mengaturnya sehingga dalam melihatnya harus secara proporsional, adil dan tepat.
Khofifah terikat dengan UU No. 1 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (baca: Pilkada) yang kemudian direvisi menjadi UU No. 8 tahun 2015 dan UU No. 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) serta UU No. 39 tahun 2008 Tentang Kementerian Negara (KN). Sedangkan dalam kasus Airlangga Hartarto peraturan perundangan-undangan yang terkait yaitu UU KN dan UU No. 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik (Parpol) dan AD/ART Partai Golkar.
Baik Khofifah maupun Airlangga hingga sekarang belum mengundurkan diri sehingga memunculkan silang pendapat ditengah masyarakat baik dikalangan akademisi, pengamat, dan para politisi. Secara khusus, Airlangga mendapat sorotan paling banyak di pelbagai media publik baik elektronik, cetak  dan online dibandingkan dengan Khofifah.
Permintaan pengunduran diri seorang menteri jika menjabat pimpinan partai politik atau jabatan lainnya dipicu akibat janji politik Presiden Jokowi dalam kampanye calon Presiden 2014 lalu. Janji itu terbukti dia terapkan saat penyusunan kabinet kerja dengan mundurnya belasan menteri berlatar belakang partai politik.
Presiden Jokowi dalam pelbagai kesempatan selalu menegaskan bahwa menteri yang akan ditunjuk tidak boleh rangkap jabatan agar dapat fokus dalam posisi yang diembannya dalam mengurus rakyat. Banyak pengamat memberi apresiasi atas kebijakan tersebut yang beda dengan pemerintahan sebelumnya dan dinilai sebagai bagian dari revolusi mental.
Di sela blusukan ke proyek sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur, Jakarta (26/8/2014), ia kembali menegaskan sikapnya bahwa pengisian jabatan menteri dalam kabinetnya tidak boleh rangkap jabatan dalam struktural di partai politik. Â Hal yang sama disampaikan bahwa kabinetnya akan lebih ramping dan lebih fungsional. Sayang, konsep ini gagal karena jumlah menteri yang diangkat sama saja dengan pemerintahan sebelumnya.
Aturan Rangkap Jabatan
Dalam UU KN, pengangkatan menteri sebagai pembantu Presiden merupakan hak prerogatif Presiden sesuai Pasal 17 UUDN RI 1945 Jo. Pasal 1 ayat (2) Jo. Pasal 22 ayat (1) UU KN. Sementara terkait dengan pemberhentian sebagai menteri, dalam Pasal 24 UU KN dinyatakan bahwa menteri berhenti dari jabatannya karena meninggal dunia atau berakhir masa jabatannya.
Dan menteri diberhentikan karena: Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut; Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; atau alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Dalam ketentuan Pasal 23 UU KN, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai  pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/atau APBD.Â
Dalam kasus Khofifah, UU Pilkada dalam syarat pencalonan yang diatur dalam Pasal 7 tidak melarang dan mengharuskan seorang menteri mundur dari jabatannya saat mencalonkan diri. Kecuali terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur karena terkait dengan UU Pemda yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) huruf h sebagai pejabat negara lainnya.
Artinya, jika Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada Khofifah sampai tahap penghitungan hasil pilkada pada Juli 2018 dengan tetap menjalankan tugas-tugasnya sebagai menteri dan terpilih maka otomatis harus mengundurkan diri. Tetapi jika tidak terpilih maka ia dapat kembali memangku jabatannya sebagai menteri.
Sedangkan dalam kasus Airlangga, dengan keterpilihannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar sama sekali tidak ada aturan yang dilanggar atau mengharuskan yang bersangkutan mundur dari jabatannya sebagai menteri baik terkait dengan UU KN, UU Parpol maupun aturan internal AD/ART partai.
Dalam Pasal 40 UU Parpol yang mengatur ketentuan larangan parpol tidak mengatur hal ihwal rangkap jabatan dengan lembaga negara atau lembaga lainnya, bahkan ketentuan Pasal 21 ART Partai Golkar mengarahkan kadernya untuk menduduki jabatan strategis lembaga negara dan sesuatu yang wajar. Hal sama dengan Parpol lainnya.
Pertimbangan etika
Banyak pihak menilai bahwa pengunduran diri Khofifah dan Airlangga terkait dengan etika dan janji Presiden Jokowi dimasa kampanye 2014 lalu serta perlakuan adil terhadap pimpinan partai politik lainnya yang harus mundur jika menjabat menteri.
Muhaimin Iskandar dan Wiranto menjadi contoh telanjang melihat penerapan janji Presiden Jokowi dalam rangkap jabatan menteri. Muhaimin tidak diangkat menteri karena enggan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PKB dan Wiranto harus menanggalkan jabatan Ketua Umum Hanura sebelum memangku Menko Polhukam 2016.
Etika terkait dengan nilai atau standar penilaian moral terhadap seseorang atau pejabat termasuk ketika ia berjanji yang dalam penerapannya berujung pada penilaian baik, buruk, benar, salah dan tanggungjawab.
Dalam bentuk praksis, etika direfleksikan melalui perbuatan sesuatu "yang ada", tetapi tidak terbatas pada hal itu saja, melainkan "apa yang harus dilakukan". Demikian halnya dengan perlakuan adil. Konsep adil secara filosofis dan utilitas bukan selalu perlakuan sama tetapi kegunaan dan manfaatnya.
Dalam kaitan menteri rangkap jabatan, Presiden Jokowi akan lebih menekankan apa yang harus dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar sembari menimbang dari sisi manfaat dan mudharatnya.
Apakah Khofifah dan Airlangga jika diberhentikan oleh Presiden akan mendatangkan manfaat atau malah sebaliknya. Dengan sisa masa bakti satu setengah tahun, efektifitas kinerja kementerian seharusnya lebih memfokuskan diri pada penyelesaian program yang belum berjalan dibanding gonta-ganti menteri.
Jika etika sebagai kebiasaan, maka rangkap jabatan menteri sebagai pejabat struktur partai politik sudah ada dalam praktik ketatanegaraan kita sejak pemerintahan Soekarno hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan sekarang juga masih ada yang rangkap seperti Menko PMK, Puan Maharani --hanya non aktif di PDI-P bukan mundur-- demikian pula dengan Bendahara Umum PKB, Eko Putro Sandjoyo, Menteri PDT dan Transmigrasi.
Supaya tidak menjadi perdebatan diruang publik yang lebih kepentingan politik kekuasaan, ada baiknya larangan menteri rangkap jabatan harus ditegaskan di dalam peraturan perundang-undangan dengan merevisi UU KN. Bagi menteri yang diangkat bukan kewajibannya mengundurkan diri karena yang mengangkat dan memberhentikannya merupakan kewenangan mutlak Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H