Keluar dari gerbang Bandara Internasional San Fransisco, Udink langsung tancap gas kearah barat. Gila sedan chevy butut begini masih lari 80 mil perjam, melintas dibawah freeway Bayshore 423A yang masih belum selesai pembangunannya, lalu berbelok ambil kanan masuk ke Huntington avenue.
“Di kiri kita itu Lomita Park, rumah saya disana, itu kau lihat yang belang warna warni” kata temanku ini.
Udink bukanlah nama sebenarnya. Justru lidahnya yang tidak bisa melafal bunyi huruf N dan ucapannya menjadi bunyi ENG pabila dia menyebut namaku. Akhirnya dia kami sapa dengan Udink
Lomita park?....jadi kau sudah lama tinggal di San Fransisco?” Aku menimpali bicaranya. Dia bilang apa saja toh saya tidak mengerti karena baru pertama kali.
“Empat bulank…eee bulank depank saya pindah ke Dengver” katanya lagi. “Oh begitu.” Saya terdiam, masih agak kagok campur bingung meskipun teman akrab dulu di SMEA Muhammadiyah Malang.
“Okey …saya antar sampai hotel di San Bruno” katanya lagi. Sampai di hotel dan chek in, dia bilang akan nelpon nanti malam pukul 19.30.
“San Bruno diutara Lomita Park, jadi Lomita Park di selatannya…he he he gak usah bingung bro… bye bye” Udink buru buru pergi. Agaknya ada dua rekan bisisnya sedari tadi menunggu.
Tepat pukul 19.30 telepon dikamar saya berdering, saya angkat, ternyata bukan Udink yang telpon,duty manager hotel menyapa selamat datang dan menegaskan fasilitas yang kudapatkan di hotelnya, special services bagi penginap pertama kali di hotel itu.
Namun hingga pagi tidak juga dia telpon padahal dia punya 'nokia pisang'. Bahkan beberapa hari ketika aku masih di San Fransisco samasekali tidak ada berita apapun. Tapi bukan Udink kalau tidak misterius. Sejak itu tidak pernah lagi jumpa dia hingga aku kembali ke Berlin.
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Hari itu tanggal 20 Januari 1981 saya sedang nonton tivi di asrama kami Kolping Hause, tayangan langsung acara kunjungan Presiden America Serikat ke Berlin Barat.
“to believe that together with God’s help we can and will resolve the problems which now confront us. And, after all, why shouldn’t we believe that? We are Americans.” Begitulah kira kira kata kata pidato Presiden Ronald Reagan di Brandenburg Gate, didepan ribuan penduduk Berlin Barat, terkait konflik akibat 52 warga Amerika yang disandra gerakan mahasiswa Iran.
Bukan pidatoPreiden Reagan yang menjadi focus perhatianku. Tetapi pada tayangan tivi yang menyiarkan langsung acara itu ada sesorang yang sangat saya kenal. Meski dia memakai topi ala detective Sherlock Holmes , berkumis lebat dan rambut godrong sebahu, aku sangat yakin dengan pandangan mataku, dia adalah Udink teman karibku.
Lebih tiga tahun sejak di San Fransisco aku tidak pernah ketemu dia. Ck ck ck ck ck aku kagum, kalau dilihat dari tayangan itu, dia sepertinya berada di link 1 pengamanan presiden AS, mungkin salah tapi setidaknya kesanku begitu. Setelah itu aku tidak pernah bertemu dia lagi dan seingatku di Berlin itulah terakhir kali melihatnya..
23 Desember 2007. Salah satu sahabah kami meningal dunia, aku melayat ke rumah duka dan disana bertemu dengan beberapa teman teman lama, suasana duka agak sedikit terganggu oleh kami “reuni”. Dirumah duka itu aku mendengar kabar bahwa Udink ada di Jakarta. Aku gembira sekaligus sedih karena katanya dia sakit sakitan dan kondisi ekonomi jatuh melarat.
“Masih untung dia bisa lolos kembali ke Indonesia, kalau tidak…mungkin membusuk di penjara Amerika sana, dia terlibat perdagangan gelap senjata”, kata seseorang kepada temannya yang lain setengah berbisik. Tapi katanya lagi “ Dia itu sebenarnya bisa juga dikatakan pahlawan lho”.
Gosipnya, Udink terlibat operasi intelijen, melarikan pesawat jet tempur F15 Eagle dari Israel ke Indonesia. “Aaaghhh…gossip kejam banget, ketika orang sudah jatuh melarat ditambah dengan karangan fitnahmacam macam pula”, aku membathin. Tetapi muncul flashback 9 September 1978 sewaktu Udink mengatarku ke hotel di San Bruno dengan chevy bututnya. Dia sempat bercanda ketika membuka bagasi, “Tuh liat tiga koper isinya uang semua he he he nanti malam kita ke kasino senang senang”. Mungkinkah, tiga koper uang itu merupakan petunjuk bahwa dia memang benar terlibat bisnis gelap perdagangan senjata?.
Pikiran judas kubuang jauh jauh, “pedagang gelap, penyelundup senjata kek , apa kek pokokya dia temanku”
Dua hari kemudian aku terbang ke Jakarta, mencari sahabatku itu, He isn’t heavy he is my best friend. Pokoknya cari sampai dapat muka ketemu muka dan memang kutemukan tempat tinggalnya di Jakarta.
Dalam buku harian kucatat pertemuan yang sangat mengharukan itu “ kami berpelukan lama sekali, badannya renta agak demam dan sering terbatuk batuk, padahal usia kami sama. Sorot matanya terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu namun tidak satu katapun dia berucap. Sangat aneh rasanya, sorot matanya tidak memberi kesan apapun atas kehadiranku, seperti tidak mengenalku lagi.”
Udink tinggal di kamar kost yang kumuh, ranjang kotor dan ada meja kecil disampingnya tempat lampu baca yang kelihatan berdebu tak pernah dibersihkan. Dia memang hidup sendirian tak pernah menikah meski punya teman perempuan banyak. Perempuan cantik yang dulu kukira kekasihnya bernama Ivone, biasa kusapa dengan panggilan bule tapi sekarang entah dimana si bule berada.
Sejak pertemuan kemaren aku berusaha agar dia bicara namun sudah tiga hari ini selalu sia sia. Hari keempat aku kembali menjenguknya dengan membawa makanan, tapi bahkan dia enggan menolehnya. Udink Cuma berbaring saja, matanya meram tapi tidak tidur. Sebentar dia bangkit dan kemudian tiduran lagi…..lantas terdengar merintih pelan menyebut nama….”molii…….moliii.”
“Siapa Molly, dimana dia biar kucari kupanggilkan” kataku berbisik ditelinganya.
Aku berusaha mengingat barangkali Molly adalah kekasihnya. Aku pikir dia sedang menghadapi saat terakhirnya, sakaratul maut, mungkin Udink ingin bertemu perempuan itu untuk terakhir kalinya. Aku berusaha sebisaku agar dia ‘pergi dengan tenang”.
“ molii….moliii”..... suaranya semakin lirih dan melemah.
Kreeet……..aku kaget oleh suara pintu didorong, kemudian muncul seorang anak berusia sekitar 10 tahun. “ Kakek…kek…saya sudah temukan molly”. Udink diam saja namun dari kelopak mata yang meram terlihat korneanya bergerak gerak.
Anak itu semakin mendekat “ Kek, ini molli biar kakek dekap dia” sambil merebahkan Molly didadanya dan menaruh tangan Udink temanku di punggung kucing itu.
Setelah itu Udink menjadi tenang…tenaaang sekali……
Syam Jr, 23 Desember 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H