Bukan pidatoPreiden Reagan yang menjadi focus perhatianku. Tetapi pada tayangan tivi yang menyiarkan langsung acara itu ada sesorang yang sangat saya kenal. Meski dia memakai topi ala detective Sherlock Holmes , berkumis lebat dan rambut godrong sebahu, aku sangat yakin dengan pandangan mataku, dia adalah Udink teman karibku.
Lebih tiga tahun sejak di San Fransisco aku tidak pernah ketemu dia. Ck ck ck ck ck aku kagum, kalau dilihat dari tayangan itu, dia sepertinya berada di link 1 pengamanan presiden AS, mungkin salah tapi setidaknya kesanku begitu. Setelah itu aku tidak pernah bertemu dia lagi dan seingatku di Berlin itulah terakhir kali melihatnya..
23 Desember 2007. Salah satu sahabah kami meningal dunia, aku melayat ke rumah duka dan disana bertemu dengan beberapa teman teman lama, suasana duka agak sedikit terganggu oleh kami “reuni”. Dirumah duka itu aku mendengar kabar bahwa Udink ada di Jakarta. Aku gembira sekaligus sedih karena katanya dia sakit sakitan dan kondisi ekonomi jatuh melarat.
“Masih untung dia bisa lolos kembali ke Indonesia, kalau tidak…mungkin membusuk di penjara Amerika sana, dia terlibat perdagangan gelap senjata”, kata seseorang kepada temannya yang lain setengah berbisik. Tapi katanya lagi “ Dia itu sebenarnya bisa juga dikatakan pahlawan lho”.
Gosipnya, Udink terlibat operasi intelijen, melarikan pesawat jet tempur F15 Eagle dari Israel ke Indonesia. “Aaaghhh…gossip kejam banget, ketika orang sudah jatuh melarat ditambah dengan karangan fitnahmacam macam pula”, aku membathin. Tetapi muncul flashback 9 September 1978 sewaktu Udink mengatarku ke hotel di San Bruno dengan chevy bututnya. Dia sempat bercanda ketika membuka bagasi, “Tuh liat tiga koper isinya uang semua he he he nanti malam kita ke kasino senang senang”. Mungkinkah, tiga koper uang itu merupakan petunjuk bahwa dia memang benar terlibat bisnis gelap perdagangan senjata?.
Pikiran judas kubuang jauh jauh, “pedagang gelap, penyelundup senjata kek , apa kek pokokya dia temanku”
Dua hari kemudian aku terbang ke Jakarta, mencari sahabatku itu, He isn’t heavy he is my best friend. Pokoknya cari sampai dapat muka ketemu muka dan memang kutemukan tempat tinggalnya di Jakarta.
Dalam buku harian kucatat pertemuan yang sangat mengharukan itu “ kami berpelukan lama sekali, badannya renta agak demam dan sering terbatuk batuk, padahal usia kami sama. Sorot matanya terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu namun tidak satu katapun dia berucap. Sangat aneh rasanya, sorot matanya tidak memberi kesan apapun atas kehadiranku, seperti tidak mengenalku lagi.”
Udink tinggal di kamar kost yang kumuh, ranjang kotor dan ada meja kecil disampingnya tempat lampu baca yang kelihatan berdebu tak pernah dibersihkan. Dia memang hidup sendirian tak pernah menikah meski punya teman perempuan banyak. Perempuan cantik yang dulu kukira kekasihnya bernama Ivone, biasa kusapa dengan panggilan bule tapi sekarang entah dimana si bule berada.
Sejak pertemuan kemaren aku berusaha agar dia bicara namun sudah tiga hari ini selalu sia sia. Hari keempat aku kembali menjenguknya dengan membawa makanan, tapi bahkan dia enggan menolehnya. Udink Cuma berbaring saja, matanya meram tapi tidak tidur. Sebentar dia bangkit dan kemudian tiduran lagi…..lantas terdengar merintih pelan menyebut nama….”molii…….moliii.”
“Siapa Molly, dimana dia biar kucari kupanggilkan” kataku berbisik ditelinganya.