Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bersepeda, Untuk Mengembangkan Empati Digital

12 Juli 2020   20:00 Diperbarui: 12 Juli 2020   20:28 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bersepeda kembali menggeliat, di era pandemi Covid 19 dan Era New Normal. Hasil Litbang Kompas, menunjukkan dari fenomena tren popularitas sepeda juga pernah terjadi, terlihat dua faktor yang menjadi pendorong. Pertama adalah model dan desain sepeda. Faktor kedua, sebagai alternatif moda transportasi.. Disaat pandemi Covid 19  belum berakhir , bersepeda dilakukan guna menghindari kontak fisik, serta memperlambat pandemi ini. Sambil tetap menjaga jarak, pada saat aktivitas harian, olahraga dan kegiatan rekreasi yang selama ini dibatasi.

Tidak heran Media Sosial, Instagram, Facebook, berisikan beragam aktivitas masyarakat bersepeda. Baik sendiri maupun rombongan atau malah pos ting sepedanya saja. Namun demikian dari ragam unggahan tersebut, umumnya masih menampilkan sisi “Digital Its Self “ – Digital untuk menampilkan diri (dan kelompoknya) – padahal aktvitas Bersepeda juga sejatinya bisa dipergunakan untuk mengajarkan bagaimana meningkatkan empati di era digital, atau Digital Empati.  Ini sedikit menggeser dari “diri/ self “ ke “lian/others” .

Lalu apa Empati Digital itu  ?

Profesor Brene Brown, dari Universitas Houston menyampaikan bahwa Digital Emphaty adalah karakteristik empati tradisional (emosional dan Kognitif) seperti kepedulian terhadap orang lain yang diekspresikan melalui komunikasi yang dimediasi Digital/Virtual.. Sedangkan Empati adalah usaha yang disengaja untuk merasakan atau memikirkan seseorang yang meskipun tidak memiliki hubungan dengan kita. Empati berarti 'kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain'. 

Seseorang harus meninggalkan diri sendiri dan mencoba membayangkan orang lain. Secara historis, Empati, dimulai pada tahun 1909, psikolog Edward Titchener menerjemahkan Einfühlung (Bhs Jerman) ('perasaan ke') ke dalam bahasa Inggris sebagai 'empati'. Empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali dan berbagi emosi orang lain. Ini melibatkan, pertama, melihat situasi orang lain dari sudut pandangnya, dan, kedua, berbagi emosinya, termasuk, jika ada, kesusahannya.[1]

Empati sering dikacaukan dengan belas kasihan, simpati, dan kasih sayang, yang masing-masing merupakan reaksi terhadap penderitaan orang lain. Kasihan adalah perasaan tidak nyaman pada kesusahan satu atau lebih makhluk hidup, Kasihan kurang terlibat daripada empati dan simpati. 

Lalu apa bedanya dengan simpati? Simpati dipahami sebagai 'perasaan kasihan dan kesedihan atas kemalangan orang lain' (seperti pada mereka memiliki simpati yang besar bagi para korban banjir). Dengan simpati, seseorang berbagi perasaan orang lain dengan memusatkan perhatian pada dirinya sendiri, bagaimana perasaannya terhadap situasi orang lain.  Simpati, tidak seperti Empati, tidak melibatkan perspektif bersama atau emosi bersama. 

Pada saat ini, simpati sebagian besar digunakan untuk menyampaikan rasa simpati, belas kasihan, atau perasaan sedih bagi orang lain yang mengalami kemalangan. Empati, di sisi lain, membutuhkan "seseorang untuk membayangkan situasi orang lain dan bagaimana rasanya, sekaligus mengenali perbedaan seseorang". Dengan demikian di dalam empati, harus ada semacam "lompatan " ke dalam kehidupan orang lain (Landsberg, "Memory, Empathy” 223).

Lalu Kenapa Sikap Empati Makin Diperlukan Di Era Peningkatan Penggunaan Digital Dan Di Era Pandemi Covid 19 ? 

Pertama : Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak teknologi digital terus meningkat, menunjukkan bahwa ada kecenderungan manusia menjadi semakin jauh satu sama lain. Tidak sedikit yang menjadi mati rasa terhadap lingkungan dan perasaan kebahagiaan dan kesedihan orang lain. 

Pada tahun 2010, sebuah studi dari University of Michigan memberikan hasil bahwa terdapat penurunan kurang 40% dari par mahasiswa dalam kemampuan Empati selama kurun waktu 30 tahun. Drop-off paling tajam terjadi setelah tahun 2000, ketika teknologi digital mulai merambat lambat ke dalam kehidupan keseharian para mahasiswa. Bahkan, dari sisi ekstrem terdapat kecenderungan perilaku yang bermasalah, seperti, cyberbullying, dan kekerasan sexty serta lainnya yang menunjukkan kurangnya pemahaman empati.[i]. 

Data Global Risks Report 2019, memberikan laporan bahwa teknologi sebenarnya membuat dunia lebih cemas, kurang terhubung, tidak bahagia, dan kebangkitan orang yang merasa kesepian lebih tinggi daripada sebelumnya terutama dalam generasi saat ini. Penelitian telah menunjukkan bahwa pergeseran dari komunikasi tatap muka telah menyebabkan penurunan keterampilan sosial-emosional kaum muda dan membuktikan bahwa "generasi yang dibesarkan dengan teknologi" sebenarnya menjadi kurang berempati

.[ii] Sedangkan kebahagiaan dalam Dunia Digital adalah kebahagiaan tentang “diri” seperti yang disampaikan Foucault. Oleh karenanya tidak mengherankan kenapa kemudian yang paling banyak isi mengunggah dalam aktif tas bersepeda adalah tentang beragam jenis sepeda dengan harga yang luar biasa, atau aktivitas “diri” dan kelompoknya  dalam bersepeda, dengan segala macam aksesoris nya . 

Kedua : Secara Psikologi seperti disampaikan juga oleh Daniel Goleman[iii], Psikolog Internasional terkenal, penulis Buku  Emotional Intelligence , dengan teknologi digital maka akan terjadi yang secara teknis disebut "Cyber-Disinhibition," di mana cara kita memperlakukan orang lain secara Online tidak sejalan dengan cara kita memperlakukan mereka secara langsung. Inilah disebabkan karena sistem sosial otak bergantung pada umpan balik langsung, yang kurang terjadi pada hubungan Online. 

Goleman menyampaikan bahwa Otak dirancang untuk interaksi tatap muka, di mana pusat-pusat emosi beroperasi dengan cepat dan tidak sadar dalam sub korteks untuk menerima sejumlah besar informasi dari orang lain dan untuk mengirimkan impuls bagaimana merespons — apa yang harus dikatakan dan melakukan. Sementara itu, sirkuit di korteks prefrontal membantu memandu interaksi tersebut, sebagian dengan menghambat impuls emosional yang akan mendorong interaksi ke arah yang buruk. Tetapi interaksi Online tidak memiliki loop umpan balik waktu-nyata ini. 

Jadi Secara Online, otak tidak menerima petunjuk yang diperlukan untuk empati emosional. Dari perspektif emosional, maka dengan digital dalam jangka panjang dapat menyebabkan mati rasa. Dan sifat mati rasa ini dapat teraktualisasi dalam dunia nyata, kehidupan sehari – hari. Dalam konteks Bersepeda, ini yang menyebabkan beberapa kelompok bersepeda, tidak melihat lagi lingkungan jalan sekitarnya, tidak mematuhi Protokol Kesehatan, bersepeda dengan menggerombol. 

Saling berkejaran dan  banyak yang melanggar aturan. Semua berkeinginan untuk “tampil” dan terlihat, tapi  tidak melihat bahaya bagi orang lain. Juga saat berkumpul di “tikum” (titik kumpul), pada saat pandemi ini, terlihat dari unggahan yang umumnya  tidak bermasker, tidak jaga jarak, namun mereka tetap bergembira. 

Ketiga : Kondisi pandemi pada saat ini mengingatkan apa yang pernah disampaikan Obama , pada tahun 2016 saat berbicara tentang "Defisit Empati" yang sedang dialami dunia. Dia menyatakan, “Kita harus berbicara lebih banyak tentang defisit empati kita - kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain; untuk melihat dunia melalui mata mereka yang berbeda dari kita - anak yang kelaparan, pekerja yang di PHK, keluarga yang kehilangan seluruh kehidupan yang mereka bangun bersama ketika badai pandemi melanda. 

Ketika kita berpikir seperti ini - ketika Anda memilih untuk memperluas ambisi Anda dan berempati dengan penderitaan orang lain, apakah mereka teman dekat atau orang asing yang jauh - menjadi lebih sulit untuk tidak bertindak; lebih sulit untuk tidak membantu. " 

Lalu Bagaimana Agar Bersepeda Yang Sedang Tren Memberi Peran Untuk Meningkatkan Digital Empati ?

Pertama : Bersepeda untuk Kesehatan Bersama

Para Goweser/Gowesist, sebetulnya selain bisa berekreasi dan berolahraga juga dapat berperan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan bersama.

Dari portalsepeda.com [iv] diperoleh penjelasan kemungkinan terpaparnya Goweser yang sehat oleh carrier Corona, jika sang carrier berada di posisi terdepan, atau di tengah. Sementara yang di belakang carrier berpotensi akan terkena Corona juga, karena bisa jadi partikel hembusan napas terhirup oleh Goweser atau droplet dari batuk/bersin terkena sepeda yang ada di belakangnya, bisa tepat di belakangnya atau agak sampingnya. 

Oleh karenanya Hasil Riset di Belgia – Belanda merekomendasikan bahwa perlu jarak dalam bersepeda dan menghindari saling susul saat melakukan kegiatan ini. Berdasarkan hasil penelitian oleh yang dilakukan oleh KU Leuven (Belgia) dan TU Eindhoven (Belanda). Pada kondisi normal, jarak antar orang pada saat bersosialisasi atau berkomunikasi disarankan ada pada jarak 1-2 meter. Tetapi pada saat berolahraga, jalan, lari, atau bersepeda jaraknya haruslah lebih lebar lagi. 

Berdasarkan hasil dari riset, maka ilmuwan menyarankan untuk menjaga jarak antar goweser dengan kecepatan rendah adalah 10 meter, sedangkan jika gowes dengan kecepatan yang kencang atau kebut, maka jarak antar gowesernya adalah paling dekat adalah 20 meter. Jarak ini juga sesuai dengan protokol kesehatan dari Kemenkes RI. Bagaimanapun, saat COVID-19 rekomendasinya adalah untuk tetap keluar dari slip-stream (Orang yang berada di belakang yang akan melewati awan tetesan droplet/bersin). Jadi kalau saat ini bersepeda sambil bergerombol – menjauhlah bagaimanapun Covid 19 nyata terlebih temuan terbaru bahwa Covid menyebar melalui udara

Bike To Work Indonesia dalam menyambut Hari Sepeda Sedunia setiap tanggal 3 Juni sendiri telah membuat Protokol Kesehatan bersepeda sebagai hasil webinar,  pada tanggal 29/5 yang diinisiasi oleh GaMaGo melibatkan B2W Indonesia, Institute for Transportation and Development (ITDP), dan berbagai klub sepeda serta berbagai sumber dari Gugus Tugas Covid-19,. Protokol kesehatan bersepeda untuk mencegah penularan Covid-19 terbagi empat, dimulai dari persiapan, saat bersepeda, saat istirahat, dan saat finis di rumah., sebagai berikut :
I. Persiapan

  • Sebelum melakukan bersepeda para Goweser/Gowesist, sebaiknya Lengkapi perangkat handphone dengan aplikasi #pedulilindungi atau #bersatulawancovid, lalu aktifkan dan perhatian notifikasi
  • Perhatikan imbauan pemerintah dan daerah yang aman dari Covid-19.
  • Jaga kebersihan sepeda, terutama bagi yang bersentuhan dengan tangan.
  • Bersihkan diri dan cuci tangan dengan sabun.
  • Hindari droplet (percikan) dengan berlengan panjang, sarung tangan, masker, kacamata, penutup kepala (bandana/cycling cap), membawa sanitizer dan handuk kecil.
  • Pilih masker berbahan kain yang tidak terlalu rapat dan mengganggu pernapasan.
  • Membawa botol minum yang tertutup plastik dan alat makan sendiri.

II. Saat bersepeda

  • Utamakan gowes solo (sendiri). Jika berkelompok, atur dalam rombongan kecil 2-5 pesepeda.
  • Pilih jalur yang menghindari keramaian dan daerah zona merah Covid-19.
  • Jaga jarak kiri-kanan antar pesepeda dan kendaraan lainnya minimal 2 meter.
  • Jaga jarak depan-belakang antar pesepeda minimal 4 meter. Semakin tinggi kecepatan bersepeda, jarak harus semakin jauh (>20 meter).
  • Jaga jarak dan waspada terhadap pengendara kendaraan lainnya.
  • Selalu patuhi rambu rambu lalu lintas saat bersepeda.

III. Saat istirahat

  • Cuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer.
  • Bersihkan tangan dan wajah dengan tisu atau handuk kecil.
  • Utamakan jaga jarak atau physical distancing.
  • Selalu menggunakan masker, kecuali saat makan dan minum.
  • Hindari berbagi bekal pribadi dengan orang lain (botol minum, makanan).
  • Istirahat secukupnya, tidak perlu nongkrong terlalu lama.

IV. Saat finish di rumah

  • Sebelum masuk rumah, lepaskan semua perlengkapan yang digunakan.
  • Hindari kontak fisik dengan penghuni rumah dan menyentuh perabotan.
  • Segera lepaskan pakaian, kaos kaki, sarung tangan, masker, penutup kepala, dan cuci dengan detergen.
  • Segera bersihkan diri, mandi, dan keramas.
  • Istirahat dan pulihkan cairan yang hilang dari tubuh

Bagaimanapun Empati harus dimulai dengan kepedulian terhadap diri sendiri dulu. , Inilah adalah tanggung jawab sendiri untuk lingkungan. Ini semata menujukan bahwa Goweser/Gowesist adalah orang yang peduli kepada yang lain. Oleh karena itu Protokol kesehatan tersebut harus di "Baca, Pahami, Patuhi, Dan Bersepedalah.

Lalu untuk membangun Empati Digital ?, unggahlah setiap aktivitas pelaksanaan protokol kesehatan tersebut di dalam Instagram/Media Sosial para Goweser termasuk dapat diperlihatkan dalam istagstory ; bagaimana para Goweser membersihkan sepedanya dengan detergen. Dengan demikian penting menginformasikan kepada masyarakat bahwa Goweser adalah sekelompok orang yang bertanggung jawab bagi kesehatan diri dan masyarakat sekitarnya

Kedua : Bersepedalah  Dengan Berbagi Kebaikan.

Pada saat ini semua sedang memiliki kecemasan terhadap keamanan kesehatan diri, termasuk sendiri, Para Goweser/Gowesist, sehingga adalah wajar mengambil waktu sejenak untuk berekreasi dengan bersepeda lalu membahagiakan diri, dengan Mengunggah di Media Sosial kita, untuk berbagi kebahagiaan kita.

Namun demikian, itu tidak berarti para Goweser/Gowesist harus kehilangan kebaikan diri, terlebih dalam menghadapi krisis pandemi saat ini. Pada saat banyak orang harus terus berjuang untuk bertahan hidup dari kesulitan ekonomi, Para Dokter/Perawat dan Petugas Kesehatan terus berjuang memberi kesembuhan kepada pasien yang terpapar, atau para petugas di Gugus Tugas , TNI /Polri berjuang untuk mencegah penyebaran,

Para Goweser dapat berbagi sedikit kebaikan dalam aktivitas bersepedanya secara rutin. Bisa mulai dengan rumus 2 – 1 – 2 : Tiap 2 minggu sekali – 1 kali berbagi kebaikan terhadap 2 orang yang membutuhkan/ atau 2 orang atau 2 obyek . Tidak harus selalu memberi sesuatu, bisa saja membantu membersihkan sampah, di area olah raga bersama, membantu memberi tempat sampah dari plastik daur ulang kepada para pedagang makanan kecil, Atau membantu bengkel-bengkel sepeda kecil dengan memberi masker atau sarana kebersihan lainnya. Dan berbagi kebaikan lain.

Bila Bersepeda dengan keluarga ajaklah anak-anak untuk turut serta berbagi kebaikan itu, ini hanya mengajarkan kepedulian tapi daya kritis anak-anak. Atau kalau dari perusahaan bisa saja membuat kegiatan untuk pelanggan yang terpapar. Dengan Bersepeda para Goweser/Gowesist berbagi kebaikan dengan turut merasakan apa yang paling dirasakan oleh orang lain tentang kesulitan tersebut.

Kembangkan Empati Digital dengan membuat Video /atau Mengunggahnya dengan bagus di media sosial. Lebih bagus apabila “inti dan ungkapan” yang dapat menggugah emosi dari orang/pelanggan yang terlibat yang dapat mendorong rasa peduli.

Dengan demikian media sosial kita akan secara rutin tersebar berita dan video-video tentang kebaikan dan kepedulian. Tidak semata berisikan cacian dan saling ejek saling buly. Terlebih bila dilakukan oleh para selebritas, dengan pengikut jutaan lalu masing-masing pengikut juga terlibat dalam aktivitas Empati tersebut.

Ketiga Bersepeda , Membangun Kesadaran Sosial Bersama

Para Ahli Manajemen, selalu mengatakan bahwa di abad 21 , Empati adalah salah satu hal penting bagi setiap orang dan masyarakat terutama bagi anak-anak.  Tetapi sangat penting apabila dapat mendorong orang lain untuk berperan aktif dalam meningkatkan kepedulian dan menyebarluaskan nilai – nilai kemanusian dengan meningkatkan Empati.

Para Goweser/Gowesist, dapat melakukan hal tersebut. Selain selalu menjelajah ke berbagai tempat yang memberi peluang untuk ber empati,  misal : menjelajah ke daerah sekitar pembuangan sampah dan melihat pemukiman sekitarnya, menjelajah ke sekolah sekolah di daerah terpencil , atau ke pemukiman =pemukiman adat, dan mengambil posisi yang dapat berperan penting untuk  mengajak beragam lapisan masyarakat meningkatkan empati. 

Ada banyak ragam kegiatan yang dapat memberikan koneksi sosial yang dapat membantu memerangi perasaan terisolasi, perasaan menghadapi masalah kesehatan sendiri, atau permasalahan kebutuhan harian dan perasaan sakit lainnya.  Mungkin Goweser yang juga  penggiat media sosial sebenarnya sudah banyak melakukan hal ini misalnya  dengan Mengunggah seseorang yang sedang tertimpa musibah lalu menambah  kata “ Twitter Magic! Maka datanglah beragam pertolongan dan sikap empati tersebut.

Atau yang paling mudah adalah dengan menyebar luaskan Informasi Protokol Kesehatan Bersepeda, membuat “Poster – poster “ sederhana untuk di tempel di tempat2 UMKM, membagi flyer atau sebaran lainnya atau  bisa juga dengan Memuatlah video- Instagram – atau Mengunggahkah di Facebook, Twitter dengan “mempromosikan Protokol Kesehatan” atau mempromosikan kebaikan – ajak orang – orang untuk mengikutinya. 

Para Goweser dan kelompoknya mungkin bisa berfoto dengan sepedanya tapi tetap berjaga jarak lalu Mengunggah di media sosial – Pakailah Masker – Atau sedang mencuci sepeda – Lalu Mengunggah dengan tulisan – Rutinlah mencuci kendaraan kita dan banyak lain , konten -konteks ajakan untuk menjaga kesehatan yang bisa dibuat di Smartphone kita – Jadi daripada foto kita diisi dengan kata melecehkan atau meledek, lebih baik berisikan ajakan untuk berbuat. Ini adalah peran Para Gosweser untuk Masyarakat.

Ke empat : Perbanyak  : video 

Goleman, memberi  solusi jangka pendek untuk ketidakmampuan untuk bertemu langsung, dengan  merekomendasikan memperbanyak video untuk  membuat hubungan emosional. Lalu menambahkan teks dalam video dengan narasi yang menggugah orang ber empati terhadap unggahan video tersebut. 

Ada satu contoh yang dilakukan dalam Instagram Bapak Dedi Mulyadi, Anggota DPR, Mantan Bupati Purwakarta. Dalam setiap , unggahan di Istagram dengan rutin  menampilkan bagaimana “orang-orang “ kecil hidup. Tapi  mungkin karena disampaikan secara langsung, sehingga pesan empati kurang terlihat nyata. 

Andai hasil video beliau di “proses” dengan keterampilan pembuatan film pendek yang profesional ada banyak yang bisa diangkat, sehingga mampu mengangkat Empati. Ada beberapa patokan untuk membuat video agar dapat mengangkat Empati, seperti yang disampaikan pakar pendidikan Jean Decety dan Jason Cowell (2014), : Bahwa Video, atau unggahan di media sosial, agar dapat mendorong orang lain ber Empati, adalah :

  • Mampu Berbagi emosional, yang terjadi ketika  mengalami perasaan tertekan sebagai akibat dari mengamati kesulitan pada orang lain;
  • Mampu memberi Perhatian empati, yang merupakan motivasi untuk merawat individu yang rentan atau tertekan; dan
  • Mampu memberi Pengambilan perspektif, "kemampuan untuk secara sadar menempatkan diri dalam pikiran orang lain dan membayangkan apa yang dipikirkan atau dirasakan orang itu."

Para Goweser terutama para tokoh, selebritas yang selalu bersepaeda,  dapat membuat ragam video baik perihal kehidupan seseorang atau permasalahan lingkungan, kemudian diunggah dan dibagikan di ragam media sosialnya. Ini tentu akan membuat dunia digital menjadi lebih indah dengan saling berbagi meninggalkan caci maki. Semoga.

Salam Gowes

Syam Surya

Bahan Bacaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun