Kedua : Secara Psikologi seperti disampaikan juga oleh Daniel Goleman[iii], Psikolog Internasional terkenal, penulis Buku Emotional Intelligence , dengan teknologi digital maka akan terjadi yang secara teknis disebut "Cyber-Disinhibition," di mana cara kita memperlakukan orang lain secara Online tidak sejalan dengan cara kita memperlakukan mereka secara langsung. Inilah disebabkan karena sistem sosial otak bergantung pada umpan balik langsung, yang kurang terjadi pada hubungan Online.
Goleman menyampaikan bahwa Otak dirancang untuk interaksi tatap muka, di mana pusat-pusat emosi beroperasi dengan cepat dan tidak sadar dalam sub korteks untuk menerima sejumlah besar informasi dari orang lain dan untuk mengirimkan impuls bagaimana merespons — apa yang harus dikatakan dan melakukan. Sementara itu, sirkuit di korteks prefrontal membantu memandu interaksi tersebut, sebagian dengan menghambat impuls emosional yang akan mendorong interaksi ke arah yang buruk. Tetapi interaksi Online tidak memiliki loop umpan balik waktu-nyata ini.
Jadi Secara Online, otak tidak menerima petunjuk yang diperlukan untuk empati emosional. Dari perspektif emosional, maka dengan digital dalam jangka panjang dapat menyebabkan mati rasa. Dan sifat mati rasa ini dapat teraktualisasi dalam dunia nyata, kehidupan sehari – hari. Dalam konteks Bersepeda, ini yang menyebabkan beberapa kelompok bersepeda, tidak melihat lagi lingkungan jalan sekitarnya, tidak mematuhi Protokol Kesehatan, bersepeda dengan menggerombol.
Saling berkejaran dan banyak yang melanggar aturan. Semua berkeinginan untuk “tampil” dan terlihat, tapi tidak melihat bahaya bagi orang lain. Juga saat berkumpul di “tikum” (titik kumpul), pada saat pandemi ini, terlihat dari unggahan yang umumnya tidak bermasker, tidak jaga jarak, namun mereka tetap bergembira.
Ketiga : Kondisi pandemi pada saat ini mengingatkan apa yang pernah disampaikan Obama , pada tahun 2016 saat berbicara tentang "Defisit Empati" yang sedang dialami dunia. Dia menyatakan, “Kita harus berbicara lebih banyak tentang defisit empati kita - kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain; untuk melihat dunia melalui mata mereka yang berbeda dari kita - anak yang kelaparan, pekerja yang di PHK, keluarga yang kehilangan seluruh kehidupan yang mereka bangun bersama ketika badai pandemi melanda.
Ketika kita berpikir seperti ini - ketika Anda memilih untuk memperluas ambisi Anda dan berempati dengan penderitaan orang lain, apakah mereka teman dekat atau orang asing yang jauh - menjadi lebih sulit untuk tidak bertindak; lebih sulit untuk tidak membantu. "
Lalu Bagaimana Agar Bersepeda Yang Sedang Tren Memberi Peran Untuk Meningkatkan Digital Empati ?
Pertama : Bersepeda untuk Kesehatan Bersama
Para Goweser/Gowesist, sebetulnya selain bisa berekreasi dan berolahraga juga dapat berperan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan bersama.
Dari portalsepeda.com [iv] diperoleh penjelasan kemungkinan terpaparnya Goweser yang sehat oleh carrier Corona, jika sang carrier berada di posisi terdepan, atau di tengah. Sementara yang di belakang carrier berpotensi akan terkena Corona juga, karena bisa jadi partikel hembusan napas terhirup oleh Goweser atau droplet dari batuk/bersin terkena sepeda yang ada di belakangnya, bisa tepat di belakangnya atau agak sampingnya.
Oleh karenanya Hasil Riset di Belgia – Belanda merekomendasikan bahwa perlu jarak dalam bersepeda dan menghindari saling susul saat melakukan kegiatan ini. Berdasarkan hasil penelitian oleh yang dilakukan oleh KU Leuven (Belgia) dan TU Eindhoven (Belanda). Pada kondisi normal, jarak antar orang pada saat bersosialisasi atau berkomunikasi disarankan ada pada jarak 1-2 meter. Tetapi pada saat berolahraga, jalan, lari, atau bersepeda jaraknya haruslah lebih lebar lagi.
Berdasarkan hasil dari riset, maka ilmuwan menyarankan untuk menjaga jarak antar goweser dengan kecepatan rendah adalah 10 meter, sedangkan jika gowes dengan kecepatan yang kencang atau kebut, maka jarak antar gowesernya adalah paling dekat adalah 20 meter. Jarak ini juga sesuai dengan protokol kesehatan dari Kemenkes RI. Bagaimanapun, saat COVID-19 rekomendasinya adalah untuk tetap keluar dari slip-stream (Orang yang berada di belakang yang akan melewati awan tetesan droplet/bersin). Jadi kalau saat ini bersepeda sambil bergerombol – menjauhlah bagaimanapun Covid 19 nyata terlebih temuan terbaru bahwa Covid menyebar melalui udara
Bike To Work Indonesia dalam menyambut Hari Sepeda Sedunia setiap tanggal 3 Juni sendiri telah membuat Protokol Kesehatan bersepeda sebagai hasil webinar, pada tanggal 29/5 yang diinisiasi oleh GaMaGo melibatkan B2W Indonesia, Institute for Transportation and Development (ITDP), dan berbagai klub sepeda serta berbagai sumber dari Gugus Tugas Covid-19,. Protokol kesehatan bersepeda untuk mencegah penularan Covid-19 terbagi empat, dimulai dari persiapan, saat bersepeda, saat istirahat, dan saat finis di rumah., sebagai berikut :
I. Persiapan
- Sebelum melakukan bersepeda para Goweser/Gowesist, sebaiknya Lengkapi perangkat handphone dengan aplikasi #pedulilindungi atau #bersatulawancovid, lalu aktifkan dan perhatian notifikasi
- Perhatikan imbauan pemerintah dan daerah yang aman dari Covid-19.
- Jaga kebersihan sepeda, terutama bagi yang bersentuhan dengan tangan.
- Bersihkan diri dan cuci tangan dengan sabun.
- Hindari droplet (percikan) dengan berlengan panjang, sarung tangan, masker, kacamata, penutup kepala (bandana/cycling cap), membawa sanitizer dan handuk kecil.
- Pilih masker berbahan kain yang tidak terlalu rapat dan mengganggu pernapasan.
- Membawa botol minum yang tertutup plastik dan alat makan sendiri.