Masa Pandemi COVID-19 sudah mendekati 6 bulan, dan di Indonesia akan memasuki empat bulan, Minggu (31/5), secara global, virus corona sendiri telah menginfeksi lebih dari 6,1 juta orang hingga Sebanyak 2,7 juta pasien COVID-19 berhasil sembuh, sedangkan 371.000 orang meninggal dunia. Belum ada kabar baik yang pasti kapan pandemi akan berakhir.
Oleh karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia, dan LockDown di banyak negara sudah mulai dilonggarakan. Bagaimanapun tidak ada negara yang mampu memberi “makan” rakyatnya dalam jangka waktu lama, terlebih ketidak pastian waktu berakhir belum bisa ditentukan. Saat ini ini masyarakatpun sudah mulai diajak untuk menyesuaikan dengan kehidupan normal baru, hidup dengan memperhatkan protokol kesehatan.
Namun apa yang terjadi ?
Hari ini ini kita melihat , banyak masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan COVID-19, Corona? Terserahlah – Wis Karepmu !.
Sejak PSBB dilonggarkan, Kafe, Kedai Kofi dan tempat nongkrong lainnya sudah penuh, pasar sudah ramai, mal sudah dibuka. Perkantoran sudah mulai bekerja, dan angkutan publik sudah beroperasi. Lalu bagaimana Protokol Kesehatan yang harus tetap dijalankan ? Lupakan !
Kita lihat di CFD Jakarta dan tempat-tempat Wisata lainnya yang mulai dibuka, masyarakat berlimpah seolah merayakan kebebasan dan semua melupakan protokol kesehatan. Mereka seolah tidak peduli lagi dengan COVID-19, yang justru hari-hari ini meningkat. Ini Masyarakat Anomali ! Waktu kemarin saat kasus sedikit, hampir semua takut dan banyak yang minta Lokcdown – dan kini saat kasus Positif COVID-19, meningkat pesat – banyak yang merayakan kebebasan - sampai paramedispun pernah menulis “ Indonesia Terserah “!Wis Karepmu! , Banyak yang sudah Tidak peduli dengan COVID-19 ini, Mereka lupa bahwa COVID 19 itu Nyata dan Bahaya.
Lalu Bagaimana Sikap “Karepmu”, Terserah “ Dan Bentuk Kidakpedulian Lain Apabila Dilihat Dalam Kerangka Pertanggung Jawaban Moral ?
Untuk menjawab hal itu, kita cari jawaban dulu penyebab Kenapa Masyarakat Tidak Peduli ?
Penyebab ketidakpedulian dapat bervariasi dan sangat kuat, yang terdiri atas beberapa beberapa faktor, antara lain , yaitu :
Pertama : Kehilangan harapan: Seorang individu tidak merasa bahwa upaya mereka dan upaya pemerintah dalam menanggulagi COVID-19 ini akan memberikan hasil positif dan menurunkan penyebaranya. Oleh karena perasaan itu maka mereka menjadi acuh tak acuh. Dalam kasus seperti itu mereka percaya bahwa apabila mengambil tindakan apa pun tidak akan mengubah apa pun.
Psikolog lain Ken Buckle, mengemukakan bahwa yang menyebabkan kondisi psikologis "ketidakpedulian?" salah satu penyebabnya adalah kita terlalu terstimulasi, yang sangat mudah terjadi dalam budaya digital saat ini. Informasi dari ponsel yang tidak berhenti siang dan malam, membombardir dengan berita mengerikan dari seluruh dunia tentang korban COVID-19, kemudian di media TV, berita online, Di Group-Group W/A dengan mudah tersebar luas telah menimbulkan kekhawatiran.
Kita bisa melihat bahawa situasi sudah sangat buruk dan terjadi terus menerus, dengan korban yang terus berjatuhan. Semua informasi ini dapat membuat traumatis. Hal ini menyebabkan kita dapat ditutup secara emosional dan mental dan merasa cukup tidak berdaya untuk melakukan sesuatu tindakan pencegahan.Kehilangan harapan juga karena ketidakpastian.
Dikutip dari kumparan (22/06/2020), Profesor psikiatri di Universitas Yale, Rajita Sinha, menjelaskan bahwa ketidakpastian tentang kapan pandemi akan berakhir, akses informasi, dan keyakinan mendasar seseorang dapat mempengaruhi tingkat ketidak pedulian.
Kedua : Skeptisisme dan Learned helplessness (Ketidak berdayaan Yang Dipelajari) . Skeptisisme Adalah suatu kondisi di mana asumsi-asumsi dasar ditentang dan tidak diterima kecuali bukti yang tidak dapat disangkal dapat diberikan. Sedangkan Ketidakberdayaan yang dipelajari: terjadi setelah gagal melakukan sesuatu berkali-kali atau setelah berusaha keras tanpa melihat hasil yang positif.
Ketidakberdayaan yang dipelajari adalah keadaan di mana orang tersebut percaya bahwa upaya apa pun yang di lakukan tidak akan menghasilkan tindakan positif. (Nolen, J.L. “Learned helplessness”. Encyclopaedia Britannica.). Masyarakat melihat bahwa apapun yan telah dilakukan pemerintah tidak memberikan dampak positif bagi pelambatan penyebaran Virus COVID-19.
Apalagi narasi yang dibangun dalam banyak media mainstream atau media online juga dari pemerintah adalah “Narasi” ketakutan’. Yang diinformasikan tiap hari pertumbuhan pasien positif, bukan harapan. Padahal laju kesembuhan sudah lumayan meningkat.
Dengan Skepstsisme pada gilirannya Orang menjadi acuh tak acuh dan tidak peduli karena ia terlanjur tidak percaya. Ketidak percayaan akan Pemerintah untuk kemampuannya mengatasi COVID-19. Sayangnya di negara + 62 ini, sikap Skepstis ini justru terus dibangun oleh beberapa kalangan yang menamakan Oposisi, Sangat disayangkan padahal ini adalahnya era seharusnya sebagai bangsa bersatu, bersatu untuk nilai kemanusiaan apapun idiologi, golongan dan aspirasi politiknya.
Ketiga : Efek Psikologis Palsu. Ackerman (2020) menegaskan bahwa, melimpahnya informasi serta kurangnya pesan yang terpusat dan konsisten dari pejabat pemerintah, membuat orang mengambil pilihan yang berbeda. Mari kita lihat yang terjadi, saat Gugus Tugas COVID-19, mengatur bagaimana protokol berkendaraan, baik pribadi ataupun kendaraan umum. Kementrian perhubungan malahan melonggarkan dari 50 % ke 80 % termasuk mencabut aturan berkendaraan protokol pribadi yang aman era di masa pandemi.
Demikian juga saat Kemenkes mengatur Aturan Ojeg Tidak Diperbolehkan mengangkut penumpang, Kemenhub membuat aturan yang memperbolehkan. Yang mengherankan, Kementrian Perhubungan, adalah satu-satunya Kementrian yang Mentrinya sudah terdampak COVID-19, dan beliau pasti merasakan kesengsaraaannya, lalu kenapa sekarang membuat aturan dimana peluang penyebaran COVID-19 ?. Tidak mungking beliau ber keinginan untuk berbagi (kesengsaraan? ) semoga saja tidak! Ini yang belum mendapatkan jawaban.
Padahal aturan-aturan longgar ini bisa menimbulkan perasaan psikologis bahwa pandemi telah berakhir karena kehidupan tampaknya kembali normal. Pelonggaran pembatasan sosial dapat memberikan rasa aman palsu kepada sebagian orang.
Dan terhadap yang melanggarpun kita sebagai masyarakat merasa tidak mampu mengingatkan, karena aturan dimungkinkan. Akhirnya alih-alih mencoba (Mengingatkan), kita hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kehidupan kita masing-masing. Banyak ahli Psikologi mengemukakan bahwa ketidakpedulian itu menyebar. Ketika melihat orang lain bersikap acuh tak acuh dan apatis, maka ini dapat meggoda untuk mengikutinya.
Keempat : Depresi: Mencerminkan kasus parah dari "kehilangan harapan". Depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi di otak tetapi ketidakseimbangan kimiawi itu sendiri berasal dari ketidakmampuan seseorang untuk menghadapi masalah kehidupan tertentu. Depresi mencerminkan keadaan pikiran bawah sadar Anda yang memberi tahu Anda bahwa harapan hilang. Untuk mengembalikan harapan, perlu menemukan cara untuk menanggapi pikiran bawah sadar Anda sehingga depresi akan hilang.
Dan akhirnya Kelima Adalah Egoisme. Egoisme g sudah tumbuh lama di era masyarakat komtemporer digital ini. Kebanggaan dan ego kita yang tak terkendali membuat kita menempatkan diri kita sebagai yang pertama dan yang lainnya jauh. Hasil dari kesenangan diri ini adalah bahwa kita tidak peduli dengan segala hal lain yang mungkin terjadi di sekitar kita. Kita akhirnya tidak peduli dengan penderitaan orang lain.
Joshua Ackerman, seorang profesor psikologi di University of Michigan, menyebabkan bahwa Individualisme menjadi penyebab penting kenapa orang-orang tersebut acuh kepada kebijakan kesehatan di tengah pandemi. Demikian juga Sten Vermund, seorang dekan di Yale School of Public Health, menyebut bahwa orang yang melanggar pembatasan sosial tidak punya rasa perhatian kepada orang lain karena mereka tidak memiliki rasa altruisme yang akut! kepedulian orang-orang (Kumparan, 200620) .
Lalu bagaimana Kepedulian itu dalam Pandangan Etis dan Moral ?
Hannah Arendt melihat Ego Individual itu karena tidak adanya Rasa Tanggung Jawab Kolektif sebagai masyarakat. Arendt secara mendasar melihat bahwa hal ini karena sifat borjuis bertumbuh dalam masyarakat kotemporer dan kemudian masyarakat digital saat ini. Padahal dalam kondisi pandemi COVID-19, ketidakpedulian dapat menyebabkan seseorang menjadi “pembuat mesin kematian”. Arendt mengingatkan bahwa situasi ini kalau dibiarkan, akan dapat mengubah banyak orang menjadi “penghianat kemanusiaan”.
Ini seperti saat beberapa orang memberi rekomendasi sesorang untuk naik kereta api Hitler menuju Auschwitz, menuju “ladang kematian” dengan mengkhianati keluarganya, tetangganya, atau masyarakatnya. Dalam kasus COVID-19, ketidakpedulian membuka peluang banyak orang terpapar virus COVID-19, dan mendekati jalan kematian.
Arendt juga melihat bahwa situasi borjuasi ini juga dapat menyebabkan seseorang meninggalkan kepatuhan. Ini terjadi arena situasi borjuasi melihat kenyamanan keberadaannya terancam. Borjuis adalah manusia massal kontemporer, terisolasi dalam kenyamanan dan keamanan ruang pribadinya sendiri, dilindungi oleh dinding kondominiumnya dan mengamati dunia luar yang mengancam melalui kamera keamanan rumahnya.
Dalam dunia digital, hal ini lebih dimungkinkan, dengan sifat echochamber, dan algoritma yang mengumpulkan orang sesuai kebiasaan/kesenangan/plihan kliknya termasuk sesuai idiologinya dan pilihan politik. Dengan sifat digital ini maka masa manusia hidup dalam isolasi diri dan kelompoknya, terbenam dalam solipsisme moral dan politik. Masyarakat dengan mudah dapat di-atomisasi dan "individu-individu yang terisolasi" di mana orang hidup bersama (dengan kelompoknya) tanpa mau berbagi dengan bagian dunia yang berbeda.
Dalam dunia digital, Orang akan mudah mengalami Keterasingan. Hal ini justru dapat memfasilitasi penghancuran keterbukaan ruang publik, karena ruang publik terbagi hanya menjadi saya atau kamu. Sayangnya satu-satunya rujukan ke dunia adalah diri mereka sendiri. Ini adalah masalah mendasar mekanisme produksi sosial dari ketidakpedulian moral terhadap masyarakat lain. Inilah yang melabrak tentang kepatuhan, karena baginya kepatuhan adalah yang sesuai dengan pikirannya sendiri, tidak melihat akan wawasan lainnya.
Pada akhirnya semua itu menyebabkan “ketidak pedulian daya pikir”, sehingga orang-orang menuntup diri atas kemampuan untuk berpikir dan menilai serta membedakan secara etis apakah baik atau tidak baik, tindakan yang dilakukannya, berdasakan ukuran universal Kemanusiaan. Inilah yang kemudian Arendt sebut sebagai "Banalitas Kejahatan."
Banalitas Kejahatan, adalah tindakan paling kejam dibandingkan kejahatan lainnya. Kejam karena dihasilkan dari menolak hasil daya pikir etis nya, dihasilkan dari ketidakmampuan untuk berpikir dari sudut pandang orang lain. Individu yang menyebabkan jenis kejahatan dangkal ini adalah karakter yang sangat menakutkan karena ia dengan total tidak melihat ketidakhadiran dari dunia orang lain.
Apalagi tindakan ketidakpedulian akan keselematan orang lain itu seorang pejabat, yang punya wewenang mengatur masyarakat serta melindunginya. Tidak perlu senjata Bom Nuklir, untuk jadi “pembunuh masal”, cukup dengan membuat aturan yang memungkinkan penyebaran COVID-19 dengan cepat atau tidak membuat aturan yang mencegah penyebaran COVID-19.
Dia sudah tidak mempedulikan keselamatan orang lain bahkan keluarganya, orang tuanya dan masyarakatnya akan bahaya yang dapat mengancam jiwa.Dia tidak mampu menempatkan dirinya pada posisi orang-orang yang dikirim ke ruang ICU di rumah sakit dengan alat bantu pernafasan. Atau melihat bagaimana tragisnya dan sangat mengenaskannya kematian karena corona. Para pejabat ini tidak melakukan pertimbangan moral dan etis Kemanusiaan.
Pelaku dangkal ini mampu melakukan perbuatan jahat karena dia tidak merefleksikan peraturan, kebiasaan, praktik, atau mengabaikan perintah untuk mencegah kerugian; ia menerimanya tanpa menggunakan pemikiran independen, atau, dengan kata lain dalam istilah Kantian, tanpa subjek yang mampu mempraktikkan pepatah: "Berani Berpikir".
Arendt dengan jelas menunjukkan bahaya dari kurangnya refleksi ini: karena walau mereka diajar untuk segera mematuhi setiap aturan perilaku yang lazim dalam masyarakat tertentu. Misalnya peraturan protokol kesehatan untuk mencegah penularan kepada orang lain; mereka terbiasa tidak pernah mengambil keputusan untuk Berpikir dengan Pertimbangan Moral. Dalam kasus lain mereka melakukan pembangkangan dan menolak untuk bekerja sama.
Mereka hanya berani menilai sendiri dan memiliki keraguan tentang aturan moral tradisional, skeptis. mereka tidak berpartisipasi. Mereka Selalu memiliki prasangka relativistik yang kuat, dan tidak dapat menempatkan diri pada posisi orang lain; tidak bisa memikirkan otherness, otherness di mana kita tidak bisa mengenali manusia.
Padahal mereka sadar dan tahu bahwa sebagai warga negara ia adalah kebalikan dari kaum borjuis, karena ia bisa secara aktif berkomitmen pada dunia dan untuk kepentingan publik, yang jelas dibedakan dari kepentingan pribadi.
Dan berbicara secara moral, dalam menghadapi kejahatan, ini - satu-satunya solusi adalah menolaknya dan tidak berpartisipasi dan tidak ikut terlibat dengan ketidak pedulian itu.
Lalu Apa Sebaiknya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Ketidakpedulian :
Para ahli Psikologi mengemukakan bahwa Ketidakpedulian adalah gejala, bukan penyebab. Untuk mengubah sikap acuh tak acuh, seseorang harus mengidentifikasi penyebab yang mendasari ketidakpedulian itu, sehingga langkah-langkah yang tepat dapat dilakukan dalam kehidupan mereka. Antara lain :
Pertama : Jika masalahnya adalah Kehilangan harapan, Learned helplessness dan Skepstisime maka solusinya adalah “memberi harapan dan membangun kepercayaan dengan bukti nyata“ – Mungkin pemerintah harus mengubah strategi komunikasi publiknya. Perubahan juru bicara Covid 19, dari seorang Tentara yang Tegas kepada seorang dokter, wanita yang juga memiliki komunikasi yang baik adalah awal perubahan – namun hal ini masih berupa “siapa’ bukan “apa” yang disampaikan.
Oleh karenanya Narasi konten yang disampaikan diusulkan dirubah dengan =mengkomunikasikan narasi harapan. Ini waktunya para Psikolog berkolaborasi dengan ahli komunikasi publik, dan ahli epidemi. Narasi yang dibangun antara lain menyebarluaskan keberhasila test PCR, keberhasilan membangun lab anti Virus, perkembangan pembuatan Vaksin di Indonesia, keberhasil satu puskesmas terpencil menyembuhkan pasen Positif dan banyak narasi positif lainnya. Intinya bahwa Covid 19 Di Indonesia dapat di atasi dengan baik dan harapan pulih sangat besar dan terukur. Ini juga termasuk memperbanyak konsultasi Psikologi Online selain Dokter online, untuk mencegah banyaknya masyarakat yang depresi.
Kedua : Kurangi Dampak Efek Psikologis Palsu. Seperti amanah Pak Jokowi,Presiden, bahwa putusan apapun terkait Covid 19 harus terkoordinasi dengan baik, Ini kembali menjadi masalah. Pemerintah sebaiknya segera mengecek kembali keputusan-keputusan yang saling bertolak belakang.
Jangan segan untuk segera menutup atau mencabut status PSBB transisi misalnya bila suatu daerah terus menunjukan peningkatan. Semua harus dalam derap yang sama , suarakan bahwa COVID-19 masih ada dan New Normal - Kebiasaan baru Hidup dalam Protokol Kesehatan adalah selamanya. dan utama di masa mendatang.
Dan akhirnya Ketiga ; untuk mengatasi Budaya Egoisme ; . Ini tidak bisa tidak dilakukan dengan dua cara. Jangka pendek adalah - Jalan Memaksa - Dengan menegakan aturan dengan jelas dan tegas. Bila diperlukan dibuat sangsi lebih kuat. Ini memberi pesan bahwa kepentingan kesehatan pubik, keamanan dan keselamatan bersama adalah utama dibandingkan kepentingan pribadi! .
Sangsi tegas terutama untuk pemilik kafe, tempat nongkrong, rumah makan, Mall, Pasar , dan Pusat Perbelanjaan lain bila ada yang melanggar. Dengan hal ini maka masyarakat tahap pertama akan “terpaksa” taat aturan. Ini sebenarnya pernah dirasakan saat Pak Kapolri mengeluarkan “Maklumat”.
Kata Maklumat membawa pesan psikologis penting bahwa ini dalam keadaan darurat, Sayang “Maklumat itu : tidak diteruskan diganti dengan istilah yang sudah biasa yaitu “operasi”. Bagaimanapun kondisi masih Darurat – dan Ketegasan itu Perlu. Akan percuma TNI/Polri diturunkan apabila payung hukumnya sendiri tidak Kuat.
Selanjutnya untuk jalan lain mau tidak mau harus dengan Jalan Budaya dan Jalan pendidikan, Ini Jangka Panjang tapi harus segera dibangun. Membangun Budaya baru selain Budaya Tanggap Bencana misalnya, dengan Budaya Antisipasi Pandemi – dan Membudayakan Emphaty bagi anak-anak muda terutama sebagai bagian meningkatkan rasa altruisme haras terus dilakukan.Kepedulian banyak anak muda saat awal-awal pandemi dengan banyak mengkoordinasikan bantuan bagi yang mampu harus terus ditumbuhkembangkan.
Platform "kitabisa.com" harus diperbanyak, Dan Sebaiknya Kementrian Sosial memberdayakan anak-anak muda yang telah banyak berinisiatif ini muncul. Tidak Perlu harus Mentrinya yang tampil tapi misalnya Kemsos dengan Anak-anak muda masjid /geraj dan anak muda di temapta peribatan lainnya. juga kelompok anak muda lainnya dilibatkan, Ini Pentng untuk membangun sifat Altruisme terus menerus.
Membangun terus upaya mengajarkan masyarakat cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan (Socrates). Berpikir berarti memeriksa dan bertanya. Berpikir harus menampilkan peran penting sehubungan dengan kebenaran yang diperoleh. Berpikir juga, seperti yang telah kita lihat, menempatkan diri kita pada posisi orang lain, membuat mereka hadir pada saat membuat keputusan atau bertindak.
Dan terakhir adalah terus menumbuhkan kembangkan akal sehat, sebagai sensus communalis yang mengintegrasikan kita ke dalam komunitas bersama bersama orang lain yang berbeda dan menjadikan kita anggota komunitas itu.Dan untuk alasan ini, pelaksanaan akal sehat membutuhkan ruang publik yang saling menghargai, bukan menghinakan. Akal sehat memicu imajinasi dengan menghadirkan semua yang absen dari komunitas .Inilah tepatnya menempatkan diri kita di tempat yang lain.
Bagaimanapun kita harus terus membangun yang seperti Arendt kemukakan :"semesta kewajiban moral", yaitu, kewajiban saling membantu dan menghormati dalam mayarakat kita. Ini membangun yang Emmanuel Lévinas, kembangkan tentang "etika wajah", bahwa
"Karena Yang Lain menatapku, aku bertanggung jawab untuknya" .
Semoga ..
Sumber bacaan :
Cristina Sánchez Muñoz, 2017, Political Responsibility in the Construction of the Public Realm: Reflections Based on Hannah Arendt, Universidad Autónoma de Madrid, didownload: 20/06/2020 : 10.00 Wib
Hannah Arendt: “Responsability colectiv”, in: Hannah Arendt: Barcelona: Paidós, 2007, p. 156
Ken Buckle, The Psychology of Indifference, Didowload : 20/06/20 :08.00
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H