Arendt dengan jelas menunjukkan bahaya dari kurangnya refleksi ini: karena walau mereka diajar untuk segera mematuhi setiap aturan perilaku yang lazim dalam masyarakat tertentu. Misalnya peraturan protokol kesehatan untuk mencegah penularan kepada orang lain; mereka terbiasa tidak pernah mengambil keputusan untuk Berpikir dengan Pertimbangan Moral. Dalam kasus lain mereka melakukan pembangkangan dan menolak untuk bekerja sama.
Mereka hanya berani menilai sendiri dan memiliki keraguan tentang aturan moral tradisional, skeptis. mereka tidak berpartisipasi. Mereka Selalu memiliki prasangka relativistik yang kuat, dan tidak dapat menempatkan diri pada posisi orang lain; tidak bisa memikirkan otherness, otherness di mana kita tidak bisa mengenali manusia.
Padahal mereka sadar dan tahu bahwa sebagai warga negara ia adalah kebalikan dari kaum borjuis, karena ia bisa secara aktif berkomitmen pada dunia dan untuk kepentingan publik, yang jelas dibedakan dari kepentingan pribadi.
Dan berbicara secara moral, dalam menghadapi kejahatan, ini - satu-satunya solusi adalah menolaknya dan tidak berpartisipasi dan tidak ikut terlibat dengan ketidak pedulian itu.
Lalu Apa Sebaiknya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Ketidakpedulian :
Para ahli Psikologi mengemukakan bahwa Ketidakpedulian adalah gejala, bukan penyebab. Untuk mengubah sikap acuh tak acuh, seseorang harus mengidentifikasi penyebab yang mendasari ketidakpedulian itu, sehingga langkah-langkah yang tepat dapat dilakukan dalam kehidupan mereka. Antara lain :
Pertama : Jika masalahnya adalah Kehilangan harapan, Learned helplessness dan Skepstisime maka solusinya adalah “memberi harapan dan membangun kepercayaan dengan bukti nyata“ – Mungkin pemerintah harus mengubah strategi komunikasi publiknya. Perubahan juru bicara Covid 19, dari seorang Tentara yang Tegas kepada seorang dokter, wanita yang juga memiliki komunikasi yang baik adalah awal perubahan – namun hal ini masih berupa “siapa’ bukan “apa” yang disampaikan.
Oleh karenanya Narasi konten yang disampaikan diusulkan dirubah dengan =mengkomunikasikan narasi harapan. Ini waktunya para Psikolog berkolaborasi dengan ahli komunikasi publik, dan ahli epidemi. Narasi yang dibangun antara lain menyebarluaskan keberhasila test PCR, keberhasilan membangun lab anti Virus, perkembangan pembuatan Vaksin di Indonesia, keberhasil satu puskesmas terpencil menyembuhkan pasen Positif dan banyak narasi positif lainnya. Intinya bahwa Covid 19 Di Indonesia dapat di atasi dengan baik dan harapan pulih sangat besar dan terukur. Ini juga termasuk memperbanyak konsultasi Psikologi Online selain Dokter online, untuk mencegah banyaknya masyarakat yang depresi.
Kedua : Kurangi Dampak Efek Psikologis Palsu. Seperti amanah Pak Jokowi,Presiden, bahwa putusan apapun terkait Covid 19 harus terkoordinasi dengan baik, Ini kembali menjadi masalah. Pemerintah sebaiknya segera mengecek kembali keputusan-keputusan yang saling bertolak belakang.
Jangan segan untuk segera menutup atau mencabut status PSBB transisi misalnya bila suatu daerah terus menunjukan peningkatan. Semua harus dalam derap yang sama , suarakan bahwa COVID-19 masih ada dan New Normal - Kebiasaan baru Hidup dalam Protokol Kesehatan adalah selamanya. dan utama di masa mendatang.
Dan akhirnya Ketiga ; untuk mengatasi Budaya Egoisme ; . Ini tidak bisa tidak dilakukan dengan dua cara. Jangka pendek adalah - Jalan Memaksa - Dengan menegakan aturan dengan jelas dan tegas. Bila diperlukan dibuat sangsi lebih kuat. Ini memberi pesan bahwa kepentingan kesehatan pubik, keamanan dan keselamatan bersama adalah utama dibandingkan kepentingan pribadi! .
Sangsi tegas terutama untuk pemilik kafe, tempat nongkrong, rumah makan, Mall, Pasar , dan Pusat Perbelanjaan lain bila ada yang melanggar. Dengan hal ini maka masyarakat tahap pertama akan “terpaksa” taat aturan. Ini sebenarnya pernah dirasakan saat Pak Kapolri mengeluarkan “Maklumat”.