Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Etika Digital, Kompas "Moral" Kehidupan di Era Baru

19 Juni 2020   16:09 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:36 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Life hack. Sumber ilustrasi: PEXELS/SeaReeds

Baru -baru ini warganet, memviralkan bagaimana seorang dokter yang dikenal juga aktif di media sosial, "curhat" mengenai "stressnya" dia setelah mendapat perundungan di media sosialnya (Cyber bulling).

Sebelumnya warga Net meramaikan jagadnya dengan masalah #bintangemon, komedian muda, yang difitnah 2 akun anonim, ngga jelas yang berflower sedikit, tapi menjadi viral karena "diendorse" oleh para influenzer yang "membela" dan yang "mendebatnya". 

Ini adalah satu dua kasus kecil dari jutaan kasus yang sama bahkan lebih jauh dari itu, yang setiap hari muncul di dunia digital. Dan kedepan, dengan kehidupan virtual perangkat utama untuk menavigasi kehidupan sehari hari, pasca pandemi Covid 19 ini, maka jutaa permasalahan akan kembali muncul.

Bagimanapun dengan segala kebaikannya, teknologi digital juga telah membuka kesempatan bagi orang untuk melakukan beragam tindakan yang merugikan orang lain dengan melakukan penindasan dan kekerasan, yang membuat seseorang diliputi rasa malu, penyesalan mendalam atau apapun yang bahkan banyak pada akhirnya memilih mengakhir hidupnya dengan beragam cara termasuk.

Anonimitas dan nama samaran, penipuan, kejahatan, pertanggungjawaban hukum, dan terutama tanggung jawab moral. Bahkan dunia digital juga sudah menjurus sebagai hakim pemutus hukum salah dan tidak salah, opini sudah menjadi dasar bagi banyak orang untuk menghakimi.

Banyak orang hari ini yang harus terhakimi, kariernya habis karena "jejak digital dan pengadilan digital" dengan tanpa kuasa melakukan pembelaan.

Sudah banyak banyak negara mengeluarkan perangkat hukum untuk mengurangi dampak negatif tersebut, semisal UU ITE, Jerman baru meluncurkan aturan denda bagi penyebar HOAX, Perancis membuat undang-undang yang dapat memblokir situ HOAX. Tapi semua itu tidak membuat semua kekacauan itu berakhir.

Pertanyaannya lalu apa perangkat yang memadai untuk mencegah efek negatif bertumbuh secara eksponensial? Banyak orang yang menyarankan kembali ke moral dan etik. Pertanyaannya morak dan etika seperti apa yang perlu dibangun?

Tulisan ini mencoba memberi jawaban atas hal tersebut. 

Permasalahan Digital; dari 0 dan 1 Menjadi Kompleksitas

Keterpaksaan mengambil pilihan hidup dengan navigasi digital seutuhnya, untuk menjaga kesehatan, juga akan memberikan konsekwensi. Konsekwensi dari kehidupan dalam jaringan yang selalu terhubung, konsekwensi dari dibangunnya sistem dari konfigurasi yang sangat sederhana, angka Nul -- (0) dan Satu ( 1). 

Kombinasi Internet, Bit nul dan satu itu telah membuat satu dengan yang lainnya selalu terhubung, dengan penampilan diri yang lebih indah, lebih cantih, lebih dari apapun yang kita miliki saat ini, yang dapat membuat nilai identitas dan kulitas diri terlihat bertambah indah, serta menambah keintiman hubungan satu dengan lainnya. 

Nicholas Negroponte bercerita dalam bukunya Being Digital, pergeseran dari fisik ke digital, dari atom menjadi bit yang kecil telah membuka jalan hidup yang lebih baru dan lebih cepat.

Kombinasi 0 dan 1 dapat bermutasi sekaligus bermigrasi dengan cara cepat. Inilah sifat Skalabilitas digital yang penting, sehingga konten digital: sangat mudah disalin, ditempelkan, diteruskan, diunggah, dan diturunkan --dan dapat dicari. 

Dan hal ini terjadi dengan cepat, dimana kita tidak punya waktu untuk memilih kata-kata kita dengan hati-hati, merefleksikan, dan menyuntingnya sebelum menyampaikan pemikiran kita. Inilah masalah Hoax dan berita palsu, Karena tidak adanya "jeda berpikir" maka update, tweet, dan komentar bisa jadi salah tafsir.

Namun dengan Skalabilitas, dan kelenturannya , dunia digital telah melahirkan milyaran konten media sosial, media online , dan media digital lainnya, yang telah mendiskruptif semua tatanan kehidupan dengan perangkat hukum tidak sanggup mengejarnya.

Ini mengingatkan kita akan penjelasan James H. Moor seorang Profesor Filsafat Intelektual dan Moral di Dartmouth College, (2004) yang menyampaikan bahwa teknologi dengan segala kecanggihannya dan kecanggihannya, memunculkan dampak yang memungkinkan diluar kemampuan manusia untuk antisipasinya, baik hasil yang disebabkan teknologi itu sendiri maupun kepada pengguna teknologi itu yang semuanya memerlukan perhatian terhadap nilai-nilai etis.

Namun sebenarnya, permasalahan etis telah dan selalu muncul dalam setiap perkembangan teknologi, seperti disampaikan Herman T Tavani (2001) Profesor dari Rivier University. Tavani melihat permasalahan etis dalam phase perkembangan teknologi, yaitu;

Pertama, fase awal (tahap 0), diawal pengenalan "komputer" yang berkembang secara signifikan pada tahun 1940an, terutama saat ENIAC (Electronic Numerical Integrator and Calculator) USA- dan University of Pennsylvania, mengoperasionalkan komputer elektroniknya di 1946 - beberapa akademisi ilmu sosial humaniora, sudah dapat menggambarkan beberapa masalah sosial dan etika yang kemungkinan akan timbul sehubungan dengan komputasi dan teknologi computer tersebut.

Kedua, fase tahap 1 (1950-an dan 1960-an), dimana teknologi komputasi sebagian besar terdiri dari komputer mainframe besar, seperti ENIAC, namun "tidak terhubung" dan karenanya ada sebagai mesin yang berdiri sendiri, menimbulkan seperangkat set pertanyaan etis dan social, terutama dampak mesin komputasi sebagai "otak raksasa."

Pertanyaan etisnya adalah dapatkah mesin berpikir? Lalu bagaimana nasib para ilmuwan/akademisi dalam perkembangan dalam ilmu pengetahuan Jika mesin bisa menjadi entitas cerdas?  

Apa artinya ini bagi perasaan kita? Apa artinya menjadi manusia? Satu set lain masalah etika dan sosial yang muncul selama Tahap 1 adalah kekhawatiran masalah ancaman privasi terkait database nasional di mana sejumlah besar informasi pribadi tentang warganya akan disimpan sebagai catatan elektronik, yang dapat  memantau dan mengendalikan tindakan warga biasa.

Ketiga, permasalahan etis yang ada pada Tahap 2 (1970 dan 1980an), dimana mesin komputasi dan perangkat komunikasi di sektor komersial mulai berkumpul, dan memasuki era jaringan komputer serta perkembangan komputer mainframe, minicomputer, mikrokomputer, dan komputer pribadi yang terhubung satu sama lain melalui satu atau lebih jaringan komputer milik pribadi sehingga informasi dapat dengan mudah dipertukarkan antara dan di antara database. Isu etisnya adalah makin meningkatnya kekhawatiran tentang privasi pribadi, kekayaan intelektual, dan kejahatan komputer.

Keempat, adalah pada tahap 3 (1990-awal 2000) perkembangan komputer, yang memasuki era internet, dengan ketersediaan akses Internet ke masyarakat umum yang telah meningkat secara signifikan.Ini ditunjukan dengan pertumbuhan yang fenomenal dari World Wide Web di tahun 1990an. 

Proliferasi teknologi berbasis Internet dan Web telah berkontribusi terhadap beberapa masalah etika tambahan yang melibatkan teknologi komputasi; misalnya, isu kebebasan berbicara, anonimitas dan yurisdiksi. 

Dengan media ini pengguna internet dapat bebas memposting pesan apa pun yang mereka inginkan di situs Web yang dapat diakses publik atau bahkan di halaman Web pribadi mereka sendiri.

Pertanyaanya apakah "hak" yang dilindungi oleh kebebasan berbicara atau kebebasan berekspresi termasuk hak mengirim pesan anonim di halaman Web, atau bahkan diizinkan untuk menavigasi Web secara anonim atau di bawah penutup nama samaran. 

Isu yurisdiksi juga muncul karena tidak ada batasan nasional atau geografis yang jelas di dunia maya; Jika terjadi kejahatan di Internet, tidak selalu jelas di mana-mana, di mana yurisdiksi hukum-hal itu terjadi dan oleh karena itu tidak jelas di mana harus diadili.

Masalah etis dan sosial lainnya yang muncul selama Tahap 3 mencakup perselisihan tentang aspek publik vs pribadi dari informasi pribadi yang telah semakin tersedia di Internet. Kekhawatiran jenis ini diperburuk dengan jumlah informasi pribadi yang disertakan di situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, dan pada jenis forum interaktif berbasis Web lainnya.

Dan Kelima, adalah fase yang sampai saat ini dimana perkembangan komputer yang sudah menjadi bagian yang lebih dari siapa atau apa kita sebagai manusia. Seperti yang diperkirakan James Moor (2005), yang mengingatkan bahwa perangkat komputasi akan menjadi bagian dari pakaian dan bahkan tubuh kita. 

Di masa mendatang, Gry Hasselbalch , Founder Data Ethics, menyampaikan bahwa etika atas data adalah hal mendasar dan sangat penting. 

Hal ini disadarkan oleh kemunculan Edward Snowden, yang menunjukan bagamaina suatu jaringan infrastuktur teknologi global bisa dimanfaatkan oleh suatu Negara, dan terjadinya beragam kebocoran data dan hacks yang tak terhitung jumlahnya.

Belum lagi semakin meningkatnya kesadaran konsumen tentang kurangnya kontrol atas identitas digital mereka, kepentingan akan hak "privasi online" sekarang telah mendorong kepentingan etis terhadap perlakuan data kita menjadi jauh lebih awal. 

Selain itu di masa datang, kemajuan media virtual terus menghiasi kehidupan kita dengan meningkatnya ingkat konvergensi teknologi virtual dengan bioteknologi dalam beberapa tahun terakhir. yang diperkuat oleh perkembangan penelitian AI.

Ini menimbukan konsekwensi kesulitan bagi kita untuk memisahkan aspek-aspek tertentu dari biologis kita. Komputer sudah menjadi "mahluk" yang sangat cerdas, seperti dikemukakan Philip Brey (2005). 

Sejarah teknologi menunjukan bahwa hasilnya selalu "memaksa" kita dan organisasi untuk meninjau kembali peraturan perundangan yang mengatur kehidupan, juga mengatur sistem nilai dan batas etis. Namun sebagaimana Moore, sampaikan dalam easynya ; "What is Computer Ethics (2014) mengingatkan bahwa teknologi dengan kecepatannya yang revolusioner selalu memunculkan apa yang dinamakan "kekosongan kebijakan" .

Komputer selalu memberi kita kemampuan baru dan namun peraturan yang mengatur cara menggunakannya dalam kehidupan sosial selalu terpontang panting tertinggal di belakang.

Kita melihat bagaimana peraturan mengenai "transportasi daring" yang terus belum selesai sampai saat ini, dan selalu menimbulkan gejolak. Tantangan etika komputer adalah merumuskan kebijakan yang akan membantu kita menghadapi dilema ini. Kita harus memutuskan kapan harus mempercayai komputer dan kapan tidak mempercayainya. 

Data juga menunjukan bahwa permasalahan yang ditimbulkan internet, teknologi, digital dan saat ini virtual serta Big Data tersebut, tidak tidak selalu dapat dipecahkan dengan pendekatan legal/hukum atau peraturan tradisional lainnya. Terlebih dibawah premis masyarakat demokratis. Dan Hasselbalch kembali menegaskan bahwa disinilah peran Etika data di era Digital. Bahwa di era teknologi "Tidak semua yang legal itu etis".

Nilai Tertanam, Etika Digital dan Kompas Kehidupan Kedepan

 Hasselbalch , melihat bahwa terkait dengan etika dan moral, nampaknya agak terlupakan oleh banyak pengembang teknologi. Ada kemasuk akalan, kenapa hal itu bisa terjadi didalam konsep pengembangan teknologi berbasis metode platform thinking atau desain thinking. 

Metode ini saat ini banyak diajarkan kepada anak-anak muda yang akan bergerak dalam binis di era digital/Start up, umumnya dimulai dengan jawaban atas problema yang dihadapi masyarakat.

Dengan berpikir model platform, maka aplikasi yang akan dibangun didesain selain menyelesaikan permasalahan /problema dimaksud , tapi juga memiliki "keuntungan lain " yang diharapkan dapat diperoleh dari Aplikasi yang dikembangkan.

Minimal dapat data, yang akan diolah, atau aplikasi kita menjadi "Crowd" menjadi banyak pemakai, dan disinilah baru akan diperoleh keuntungan lain.

Jadi prioritas pengembangan aplikasi di era digital, adalah "solusi dan keuntungan ". Sedangkan Komitmen, Tanggung jawab belum menjadi pilihan utama.

Demikian juga para pendesain, pembuat aplikasi "tidak sempat"mengikuti perkembangan implikasi etika yang tak terhitung jumlahnya dari perkembangan teknologi yang pesat saat ini. Kita di tanah air merasakan bagimana GOJEK, membuat dampak sosial yang sangat penting bagi masyarakat di tanah air. 

Ratusan, puluhan bahkan ribuan Taxi gukung tikar dengan aplikasi yang mengandalkan ibu jari. Pemerintah terpontal-pontal mencoba memproduksi regulasi, mengejar teknologi yang terus berlari Belum lagi terdapat ancaman ke depan, yang terkait dengan identitas dan data privacy kita

Sekarang kita mempertanyakan bagaimana suatu sistem dapat secara "otomatis bertindak etis"? 

Untuk menjawab hal ini, Philip Brey , Profesor Filsafat Teknologi dari Univeritas Californa USA, (2017) dalam bukunya ; The Ethics of Technology: Methods and Approaches telah memberi solusi, dengan mengabil istilah "Vallue Embeded") -- Nilai yang Tertanam.

Brey mengemukakan bahwa "Nilai-nilai dalam teknologi dan etika komputer yang terbuka,". Brey menjawab pertanyaan penting dalam etika komputer: apakah komputer dan sistem komputasi netral secara moral? 

Menurtu Brey, bahwa sistem komputasi tidak netral secara moral, tetapi dapat memiliki kecenderungan untuk mempromosikan atau menurunkan nilai moral tertentu.

Brey mendefinisikan sikap ini sebagai "pendekatan nilai-nilai yang tertanam" yang kontras dengan sudut pandang yang berlawanan bahwa teknologi netral sehubungan dengan konsekuensinya. Dia berpendapat bahwa konsekuensi yang berulang dapat muncul dari penggunaan berulang suatu teknologi dengan cara yang signifikan secara moral. 

Brey juga juga mengenalkan dalam esainya " Anticipatory Technology Ethics" , suatu istilah "Etika Teknologi Antisipatif", dengan mengeksplorasi etika teknologi yang berputar di sekitar tahap R&D, dan mengembangkan teknologi melalui lensa antisipasi kemungkinan ada masalah etis/kemanusiaan di masa depan . Ini masalah mensinkronkan berbagai "perangkat, aplikasi, dengan konsekuensi sosial." 

Dalam pendekatan ini Brey melakukan tiga tingkat analisis etis: teknologi, artefak, dan tingkat penerapan. Di setiap level, merupakan objek analisis etis.

Pada tingkat teknologi, teknik didefinisikan untuk kegiatan atau tugas tertentu (seperti metode silikon keadaan padat untuk nanoteknologi) yang menentukan tujuan teknologi yang lebih spesifik, harus diidentifikasi apa yang masalah etika yang melekat pada fitur spesifik ini.

Misal, dalam bidang rekayasa genetika, manipulasi DNA dalam sel dan organisme akan memunculkan masalah etika yaitu "melanggar tatanan alam atau martabat kehidupan"?

Pada tingkat artefak, Brey mengusulkan bahwa analisis etis fokus pada jenis artefak dan proses yang dihasilkan dari, atau kemungkinan hasil dari teknologi tertentu.Misalnya video game yang menggambarkan aktivitas yang merendahkan atau kekerasan terhadap sesama manusia, yang menimbulkan kekhawatiran etis atas pengaruhnya terhadap kaum muda.

Dan akhirnya, Pertimbangan etis pada tingkat aplikasi. Disini Brey mengusulkan analisis etis akan fokus pada cara-cara spesifik untuk mengkonfigurasi artefak atau prosedur dalam penggunaan aplikasi tertentu,

Brey juga mengusulkan model Value-Sensitive Design (VSD). VSD adalah pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai kemanusian dalam proses desain teknologi. 

VSD berkaitan dengan kesejahteraan para pemangku kepentingan, yaitu orang-orang / kelompok yang dipengaruhi oleh keputusan desain teknologi tertentu. Metodologi VSD menggunakan pendekatan tripartit di atas sebagai proses evaluasi etis, yang kemudian akan di nilai /dinvestigasi dalam beberapa tingkatan, yaitu :

Investigasi konseptual berusaha untuk memahami nilai-nilai etis konseptual yang melibatkan sistem dan bagaimana desainnya dapat mempengaruhi pemangku kepentingan.

Investigasi empiris berusaha untuk memahami konteks manusia di mana suatu teknologi akan digunakan. Ini termasuk menilai nilai-nilai pemangku kepentingan dan psikologi bersama dengan konteks organisasi untuk menginformasikan keputusan desain.

Investigasi teknologi mempelajari bagaimana sifat teknis dari suatu sistem dapat mendukung atau menghambat nilai-nilai manusia.

Dengan demikian , di era baru pasca pandemi covid-19, bagaimanapun perkembangan teknologi perlu didekati dan dikembangkan dengan model dialog lintas disipliner, yang menunjukan kehati-hatian pada nilai kemanusiaan.

Para ahli teori, ilmuwan, insinyur, pencipta digital dan masyarakat sipil harus terus membangun dialog dan wacana etis yang memberdayakan tanpa memperlambat momentum inovasi.

Secara praktis Pembentukan Komite Etik Pengembangan teknologi di Indonesia, misalnya , mungkin sudah dapat dipertimbangkan, seperti dilakukan oleh Prancis dan beberapa negara Eropa. Ini semata membawa konsep tanggung jawab dan etika digital ke permukaan, untuk mengambil langkah pertama menuju inovasi yang bertanggung jawab.

Kembali mengingatkan bahwa bagaimanapun Hukum, Undang-undang selalu ada dibelakang kemajuan, dan mau tida mau kita berpaling dengan meninjau ulang sistem nilai universal sebagai manusia. karena Etika tidak netral, tidak juga hukum dan teknologi. Etika di era Digital adalah kompas moral.  Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun