Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Arak dari Lembata

21 Januari 2025   13:06 Diperbarui: 21 Januari 2025   13:06 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13649781611239262736

[caption id="attachment_236118" align="alignnone" width="600" caption="kilang arak sederhana di Lembata (dok. budi ain)"][/caption]

Tersasar, salah alamat, kadang mengantarkan kita pada ketertarikan lebih jauh. Demikianlah, suatu hari di Lembata.

"Boleng-nya masih pigi iris," berkali-kali perempuan paruh baya menjelaskan sambil memandu masuk ke tengah kebun. Ia tampak kebingungan dengan kedatangan kami yang mengaku mencari kebun Pak Boleng.

Berkali ia sebutkan bahwa orang kami tuju masih pergi iris, mengiris bunga lontar mengambil nira. Untuk dibuat tuak, dan juga arak.

Padahal, menurut arahan terakhir yang kami terima melalui telepon, Pak Boleng sedang menunggu di pondok, menanti kedatangan kebun kami.

Kukira kami salah orang. Bisa jadi banyak orang bernama Boleng di sini. Mungkin ia semacam nama keluarga, marga. Saya tanya nama lengkap lelaki yang disebut-sebut sedang menyadap nira.

"Nadus," terang perempuan yang kemudian kami tahu istri si pencari nira, "Nadus Boleng. Bernardus Boleng."

Nadus Boleng. Kami salah alamat. Yang kami cari adalah Hadung Boleng.

Setelah informasi terang dan mencari petunjuk melalui telepon, kami berpamit. Meninggalkan pondok di tengah kebun.

Pondok yang tampak sebagai semacam kilang arak. Perlahan langkah kami menjauhi alat-alat penyulingan sederhana terdapat di sana. Tiga buah tungku dengan kuali dipadu periuk tanah, beberapa batang bambu panjang, dan sejumlah botol kosong bekas bir. Tapi hati terlanjur tertarik pada budaya tuak dan arak di sana.

* * *

"Arak adalah salah satu ke-khas-an Lembata," tutur Jerry, satu karib di Lembata. Selain untuk dikonsumsi sendiri, juga sebagai sajian penting menyambut tamu dari luar pulau.

Sejauh penelusuran saya, tuak dan arak menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Pulau Lembata terkait dengan kondisi alam di sana. Bukan karena gemar bermabuk-mabukan.

Lembata, di Timur Nusantara, beriklim kering. Ketersediaan air terbatas. Terutama di kawasan dataran tinggi pedalaman pulau.

Pada masa lalu, untuk mendapatkan air, masyarakat dataran tinggi ini mesti menempuh perjalanan berkilometer dari perkampungan mereka. Selain jarak, persoalan topografi yang berbukit-bukit membuat pekerjaan mengambil air sangat melelahkan.

Meski sudah makan banyak tenaga, tetapi air yang dapat terangkut hanya sedikit.

Pengetahuan memproduksi tuak dan arak pernah jadi solusi terhadap kelangkaan air minumdi tanah tandus. Tuak dan arak mengandung gula. Mengonsumsi minuman beralkohol tersebut dapat menahan rasa haus, sekaligus memberi energi. Dan kemudian menjadi kebudayaan hingga kini.

Sekalipun perkampungan masyarakat berangsur pindah mendekati pantai dan sumber-sumber air di dataran rendah. Tuak dan arak menjadi bagian tak terpisahkan dalam perayaan adat seperti pernikahan, kematian, dan lainnya.

"Bahkan arak menjadi jamuan khusus dalam upacara adat untuk menjamu tamu yang baru mendarat di Lembata," tutur Jerry sambil menjelaskan sajian lain yang mengiringi arak bagi sang tamu pulau. Yaitu, tembakau dan sajian berbahan daging ternak."

Keterangan Jerry memancing seloroh, "nanti malam kita adakan upacara adat itu, ya." Lalu, terjadilah.
* * *

Di nusantara, tuak dan arak sebagai bagian dari budaya dapat ditemukan di sejumlah tempat. Tak jarang dianggap pula sebagai minuman terlarang dan berbahaya.

Ketika sedang menulis catatan ini, media massa di kampung halaman saya menyiarkan penyitaan tuak oleh aparat keamanan. Sementara, di minimarket waralaba yang buka 24 jam, orang-orang kota dengan bebas menikmati minuman ber-alkohol kadar lebih rendah dari tuak.

Saya teringat cerita Gilbert Hoggang, lelaki Filipina yang akrab disapa Jil. Dahulu, masyarakat di desanya dekat dengan budaya memproduksi dan mengonsumsi tuak atau arak. Hingga kemudian datang masa dimana toko-toko ramai menjual bir. Orang-orang desa pun kemudian beralih menjadi peminum bir.

"San Miguel beer," katanya tampak merenung, seolah menyesali sesuatu yang tidak ia senangi.

"Masuknya bir ke masyarakat negeri kami tak hanya mengubah jenis minuman yang dikonsumsi masyarakat. Pun, secara perlahan dan pasti membunuh pengetahuan lokal dalam memproduksi arak. Mengubah masyarakat produsen menjadi konsumen."

Mengubah tata ekonomi produktif. Uang terus-terusan keluar dari desa menuju perusahaan pembuat bir. Masuk ke kantong pengusaha.

Apa yang dikisahkan Jil, terjadi di banyak negeri. Kawan dari Tamil Nadu, Father Clement yang pendeta katolik mengisahkan apa yang sedang terjadi di kampungnya. "Pemerintah India melarang kami memproduksi tuak. Dan kami sedang berjuang agar produksi tuak lokal dilegalkan oleh pemerintah."

Pada kesempatan lain saya bertemu Chad. Lelaki bernama lengkap Chatchawan Tongdeelert adalah seorang penggiat lembaga swadaya masyarakat di Chiangmai, Thailand.

Bersama kawan-kawannya Chad banyak bekerja untuk menggali dan menghidupkan kembali pengetahuan dan kearifan tradisional.

Kupandangi Chad. Matanya tampak berbinar. Terutama ketika ia menceritakan program yang ia sebut "local wine movement". Padahal, itu hanya salah satu dari program mereka dalam penguatan nilai-nilai lokalitas sebagai usaha membendung laju globalisasi yang kian menggerus kemandirian masyarakat pedesaan.

Menurut Ked, kawan lain di Chiangmai yang saya tanyai pada kesempatan lain, local wine movement dinilai cukup berhasil.

Entah kenapa, cerita-cerita arak pun tuak lokal yang saya kumpulkan dari sejumlah kawan, membuat budaya sejenis di nusantara menjadi salah satu pikiran saya akhir-akhir ini. Terutama karena semakin maraknya waralaba yang menjadi magnet bagi kalangan anak muda yang kian rajin kongkow menikmati bir dan minuman beralkohol buatan pabrik.

Paling tidak, jangan sampai minuman beralkohol yang ditinjau dari bahan bakunya pun mesti didatangkan dari negeri luar menjadi tersasar ke desa-desa yang subur ditumbuhi jenis-jenis palma penghasil nira. Salah satunya, di Lembata.

 * * *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun