Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Arak dari Lembata

21 Januari 2025   13:06 Diperbarui: 22 Januari 2025   19:00 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sedang menulis catatan ini, media massa di kampung halaman saya menyiarkan penyitaan tuak oleh aparat keamanan. Sementara, di minimarket waralaba yang buka 24 jam, orang-orang kota dengan bebas menikmati minuman ber-alkohol kadar lebih rendah dari tuak.

Saya teringat cerita Gilbert Hoggang, lelaki Filipina yang akrab disapa Jil. Dahulu, masyarakat di desanya dekat dengan budaya memproduksi dan mengonsumsi tuak atau arak. Hingga kemudian datang masa di mana toko-toko ramai menjual bir. Orang-orang desa pun kemudian beralih menjadi peminum bir.

"San Miguel beer," katanya tampak merenung, seolah menyesali sesuatu yang tidak ia senangi.

"Masuknya bir ke masyarakat negeri kami tak hanya mengubah jenis minuman yang dikonsumsi masyarakat. Pun, secara perlahan dan pasti membunuh pengetahuan lokal dalam memproduksi arak. Mengubah masyarakat produsen menjadi konsumen."

Mengubah tata ekonomi produktif. Uang terus-terusan keluar dari desa menuju perusahaan pembuat bir. Masuk ke kantong pengusaha.

Apa yang dikisahkan Jil, terjadi di banyak negeri. Kawan dari Tamil Nadu, Father Clement yang pendeta katolik mengisahkan apa yang sedang terjadi di kampungnya. "Pemerintah India melarang kami memproduksi tuak. Dan kami sedang berjuang agar produksi tuak lokal dilegalkan oleh pemerintah."

Pada kesempatan lain saya bertemu Chad. Lelaki bernama lengkap Chatchawan Tongdeelert adalah seorang penggiat lembaga swadaya masyarakat di Chiangmai, Thailand.

Bersama kawan-kawannya Chad banyak bekerja untuk menggali dan menghidupkan kembali pengetahuan dan kearifan tradisional.

Kupandangi Chad. Matanya tampak berbinar. Terutama ketika ia menceritakan program yang ia sebut "local wine movement". Padahal, itu hanya salah satu dari program mereka dalam penguatan nilai-nilai lokalitas sebagai usaha membendung laju globalisasi yang kian menggerus kemandirian masyarakat pedesaan.

Menurut Ked, kawan lain di Chiangmai yang saya tanyai pada kesempatan lain, local wine movement dinilai cukup berhasil.

Entah kenapa, cerita-cerita arak pun tuak lokal yang saya kumpulkan dari sejumlah kawan, membuat budaya sejenis di nusantara menjadi salah satu pikiran saya akhir-akhir ini. Terutama karena semakin maraknya waralaba yang menjadi magnet bagi kalangan anak muda yang kian rajin kongkow menikmati bir dan minuman beralkohol buatan pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun