[caption id="attachment_261459" align="alignright" width="300" caption="antre di muka marae (dok. syamar)"][/caption]
Baru beberapa hari di kota Turangi, tak sangka seorang tetua suku Maori menyambutku selayaknya seorang adik bertemu saudara tua.
Siang itu, 12 April 2012, langit cerah. Udara sedikit hangat di musim gugur. Aku melangkah kecil menyusuri setapak di tepi lapangan rumput. Di antara Hirangi Marae, komplek rumah adat suku Maori di Turangi dan komplek Te Kura o Hirangi sekolah anak-anak Maori di kota kecil itu.
Pada saat itulah aku berpapasan dengan seorang lelaki tua. Beruban. Cakar ayam telah muncul di sudut mata tepi pelipisnya, tapi senyum yang ia tebarkan sematang usianya. Ia melangkah menuju Utara. Berlawan arah denganku.
“Kia Ora!” ketika berjarak dua tiga langkah kami menyapa mirip bersamaan. Sekadar bersalam halo. Lalu kami memadu senyum. Dan dia segera menyusulkan sapaan akrab, “Hei, Boy! Bukankah kau yang datang dari Jawa?”
Aku mengangguk. Kukira dia mengenaliku karena aku diperkenalkan pada upacara Powhiri. Acara penyambutan dan pembukaan Australiasian Permaculture Convergence (APC) ke-11. Saat aku diminta maju ke muka. Sebuah kesempatan yang sempat membuat aku terheran-heran. Kenapa aku dimasukkan daftar tamu “penting” dalam upacara yang dikemas secara adat Maori itu.
[caption id="attachment_261462" align="alignleft" width="300" caption="di waktu luang convergence (dok. syam)"]
Dari limaratusan peserta, sedikit orang yang didapuk kehormatan tersebut. Kalau Toru Sakawa termasuk, aku tak akan heran. Dia praktisi permakultur kenamaan di Jepang. Lebih-lebih karena proyek permakultur berbasis komunitas yang ia sedang rintis sebagai bagian dari penanggulangan bencana radiasi nuklir Fukushima. Kalau tak salah ada pula Albert Bates, seorang Amerika Serikat, penggagas bio-char yang didengungkan menjadi salah satu pengentas masalah pemanasan global.
Sedang aku? Kehadiranku mirip kebetulan. Sekadar seseorang yang tertarik mengikuti acara ini lalu mengajukan diri sebagai relawan. Tentu saja, sembari mencuri tahu hal-hal terkait pertanian dalam bingkai permakultur. Rasa penasaranku terjawab oleh Joanna Pearsal, koordinator acara ini, yang berbisik seraya merangkul bahuku, “kami sangat mengapresiasi kehadiranmu di sini, Syam! Kau petani Indonesia pertama yang datang ke APC .”
Hanya beberapa jam setelah bisikan Joanna hinggap di telinga, aku berpapasan dengan sesepuh Maori yang tiba-tiba mengatakan, “Senang bertemu denganmu. Orang Jawa adalah saudara tua kami.”
Roman riang yang dilukis oleh sabit bentuk bibirnya lelaki itu terlihat amat jujur. Demikian pula di binar mata dan caranya mengguncang-guncang tubuhku. Keinginanku untuk menjelaskan bahwa asalku dari Pulau Sumatra, dan kebetulan sedang menetap di Pulau Jawa, tiba-tiba tak sempat kusampaikan. Terpotong oleh semangatnya menjelaskan sejarah Maori.