“Nenek moyang kami, bangsa Maori, berasal dari sebuah tempat suci bernama Hawaiki,” katanya menjelaskan. Dalam pandangan tradisional Maori, sebenarnya Hawaiki memiliki makna yang lebih dari sekadar tempat di muka bumi. Sebuah tempat yang agung. Ialah asal sekaligus tujuan, tempat darimana seorang Maori dilahirkan sekaligus menjadi alam setelah mati.
“Setelah ribuan tahun mengembara dari Hawaiki, sampailah di Aotearoa ini,” terangnya. Aotearoa nama Maori untuk North Island di Selandia Baru. “Dalam pengembaraan yang panjang, nenek moyang kami singgah lama di pulau Jawa atau kami sebut Hawaiki Ichi, Hawaiki kecil. Sebagian tinggal di pulaumu, sebagian lagi meneruskan pelayaran. Dalam pelayaran di masa lalu, nenek moyang kami terpencar-pencar . Ada yang mencapai Samoa dan pulau-pulau lain yang bertebaran di Samudra Pasifik, dan ada yang tiba di sini. Aotearoa.”
Lelaki tua yang kelak mengenalkan namanya sebagai Matua Tuatea itu kemudian menjelaskan rute pelayaran nenek moyang Maori panjang lebar. Serinci yang dia ingin. Aku menangkapinya sebanyak yang bisa muat di mungil volume otakku. Tapi kepadanya kutanyakan dimana sebenarnya tempat asal yang disebut Hawaiki yang ia sebut. Apakah berkait dengan dengan satu teori yang menyebut nenek moyang orang Nusantara dengan ras Mongoloid sepertiku berasal dari daerah yang sekarang dikenal sebagai Yunnan di bagian Selatan Cina?
Dia mengiyakan. Tapi katanya, itu Yunnan bisa jadi hanya sebuah titik persinggahan dalam pengembaraan yang panjang. Lelaki yang juga berprofesi sebagai guru ini telah mengejar sejarah Maori sedemikian lama. Menurutnya, Turki-lah tempat awal, lalu singgah ke Yunnan, sebagian terus ke nusantara, terpencar-pencar hingga nenek moyang bangsa Maori menetap di Selandia Baru.
Berkali-kali dia mengingatkan hubungan Maori dan Jawa si Hawaiki Kecil, tanah persinggahan penting. “Tahu, kau? Bertemu kau serasa bertemu saudara tua.”
“I am sorry, Sir. But i have to say this. Originally I came from Sumatra Island. I moved to Jawa about eight years ago,” dengan berat hati, takut bikin cedera suka hatinya saya mengatakan ini, “Jadi sebenarnya, aku bukan asli Hawaiki Ichi.”
“Ah, Sumatra?” Dia mengerjab. “Saudaraku, kamu lebih tua lagi!” Ucapannya membuatku teringat tampangku yang mulai mengeriput dan geligiku yang telah bertanggalan.
Sebentar kemudian, Matua Tuatea menjelaskan bahwa ada tiga pulau di nusantara yang menjadi persinggahan penting dalam sejarah Maori. Ketiganya diberi nama Hawaiki. Pangkalnya adalah Sumatra, si Hawaiki Roa atau Hawaiki Panjang. Dari sini nenek moyang terpecah dua. Ada yang mengarah ke Borneo atau disebut Hawaiki Nui alias Hawaiki Besar, ada yang ke Hawaiki kecil atau Jawa si Hawaiki Ichi. Dari Borneo, pelayaran diteruskan hingga mencapai Samoa dan pulau lainnya. Dari Jawa, pelayaran nenek moyang bangsa Maori diteruskan hingga bersandar di Pulau Utara Selandia Baru. Konon, demikian.
Jadi, aku berjumpa dengan saudara se-Hawaiki. Saudara dari nenek moyang dan sejarah yang sama. Rasanya seperti pertemuan dua saudara yang telah terpisah berabad-abad. Aku merasa ada sesuatu yang mirip terharu bertumbuh di dada. Mungkin begini rasanya jika menjadi penemu benua baru yang tumbuh di atas lautan yang memisahkan pulau-pulau kecil dari nusantara hingga sebagian Pasifik.
Menginap di Marae
[caption id="attachment_261463" align="alignright" width="300" caption="dalam marae (dok. syamar)"]