Dan ternyata, sambutan Maori yang disampaikan Matua Tuate bukan basa-basi. Beberapa hari setelah bertemu “saudara muda” itu, di Turangi aku sempat menginap beberapa malam di Hirangi Marae. Marae adalah rumah adat bangsa Maori. Selama di sana, aku sering bercakap dengan seorang Maori. Buku tempatku mencatat namanya hilang bersama ransel menjadi hak milik copet di bis Miniarta, dalam perjalanan di Pasar Rebo menuju Cibinong.
Teman Maori ini berbadan besar. Selama pertemuan para praktisi permakultur, ia mengoordinir perjamuan yang selalu dilakukan di Marae.
“Boy,” katanya, “kamu boleh menginap di sini sesering kamu mau. Hirangi Marae selalu terbuka untuk pelintas, apalagi pelintas asal tanah leluhur sepertimu.”
Bisa saja sekilas ucapannya terdengar macam iklan penginapan. Datanglah! Datanglah! Menginaplah! Lalu ada tarifnya. Tapi tidak! Katanya, kapan pun aku datang dan menginap, mau tiga puluh kali dalam setahun, gratis.
Masa, sih? Tapi berarti tamu marae punya kewajiban lain seperti membantu pekerjaan di Marae selain merapikan tempat tidur yang ia baringi?
“Bahkan kamu tidur-tidur saja berhari-hari pun, tak akan ada yang protes. Selama tak langgar kesucian Marae,” dia berkata serius. Lelaki Maori ini memang belum pernah kulihat tersenyum. Tapi aku memercayai ucapan nir-senyum dari lelaki ini. “Bila kau kelaparan pun, kau bisa mampir dan ikut makan bersama kami di marae.”
Masih ada banyak lagi yang ia katakan tentang kehidupan Maori dan marae. Ucapannya tentang pelayanan marae membuatku tercenung. Juga terkagum-kagum. Bangsa yang keberadaannya bisa dikatakan minoritas di Selandia Baru, masih memiliki kehebatan yang luhur.
Dari Hongi Sampai Hangi
[caption id="attachment_261461" align="alignleft" width="300" caption="bersama warga hirangi marae (dok. syamar)"]
Hongi adalah cara bersalaman ala Maori dengan saling menempelkan ujung hidung. Pada upacara Powhiri, saya menyalami para tetua Maori. Belasan bila tak puluhan. Salam yang hangat. Hanya saja saat itu saya sedang gagap cuaca. Kondisi tubuh sedang tak prima. Sehabis hongi, hidungku meler. Pilek.
Hangi lain lagi. Makanan yang diproses khusus. Mirip cara bakar batu yang ada di tanah Papua dan konon juga ada di banyak pulau di Pasifik. Initinya, semua bahan makanan, daging, sayuran, umbi-umbian, di masukkan ke lubang. Lalu lubang ditutup dan dibakar atasnya. Lama kemudian semua matang dan siap disajikan. Aku bukan penikmat kuliner dalam koridor wisata. Tapi yang menyenangkan, hangi membuat makanan tetap memiliki rasa asli. Bukan rasa makanan yang khianati bumbu.