Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kota Pematah Hati

22 Januari 2025   11:24 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_211494" align="alignnone" width="600" caption="sisa gunduk bukit kunyit, menuju rata tanah (dok. syam)"][/caption]

Satu dari cinta —tepatnya cinta monyet— saya, jatuh pada Tanjungkarang. Tempat tumbuh banyak bukit, hijau asri, dan ia kota! Ia pula yang pertama kali mengajari saya bahwa perbedaan dapat hidup sesanding. Beberapa langkah saja dari stasiun kereta api Tanjungkarang, di jl. Kotaraja, sebuah mesjid hadap-menghadap dengan gereja. Mesjid Taqwa dan Gereja Kristus Raja.

Kali pertama ke Tanjungkarang, ketika saya masih berumur empat. Diajak Ubak, ayah saya. Kami berangkat naik kereta malam dari stasiun kereta api Prabumulih.

Ini adalah perjalanan raya! Dari seberang jendela saya melihat tangan-tangan lambaikan perpisahan di bawah temaram lampu peron. Lalu para pelambai seolah bergerak menjauh ke lawan arah kereta. Pada jendela, tinggal hitam kelam hutan malam.

Ya, ini adalah perjalanan raya! Seingat saya, seringkali saya terbangun. Takjub dengan kehidupan di dalam kereta saban kereta disambut stasiun-stasiun persinggahan. Lalu terang stasiun menembus jendela, penumpang-pengantar naik-turun, baskom-baskom panganan berkeliling dikepit pedagang.

Ketika hari mulai putih, terantarlah kami ke stasiun Tanjungkarang. Pada masa itu, ibukota propinsi Lampung adalah Tanjungkarang. Kelak di era 1990-an, ibukota propinsi diperluas dengan menggabungkan Tanjungkarang dan Telukbetung dalam satu kota bernama Bandarlampung.

Keluar dari stasiun, pemandangan bukit penghias kota tampak di arah kanan stasiun. Kelak saya tahu tidak ada bukit di Tanjungkarang, atau Bandarlampung sekalipun. Semua warga kota ini menyebut gundukan-gundukan menjulang itu sebagai gunung. Bukit di dekat stasiun itu bernama Gunung Sari.

Dari stasiun kereta, Ubak membawa saya bertandang ke rumah kerabat satu pupu di Kedaton. Kaki gundukan bukit yang berkapur. Berpohon di lerengnya. Gunung Banten.

Kami seorang demi seorang Prabumulih adalah warga kota kecil bertanah rata. Melihat bukit menyembul di banyak tempat adalah pemandangan baru di masa kecil saya. Sol sepatu tak bisa menyamarkan ketertakjuban telapak kaki saya menapak anak-anak tangga dan di lorong-lorong daerah kedaton, Tanjungkarang.

Sejak saat itu, saya selalu menunggu kapan datang ajakan berlibur ke Tanjungkarang. Sekali waktu datang lagi. Sekadar singgah dalam penyeberangan ke Jakarta. Menyaksikan bukit-bukit tumbuh sebelum naik feri dari pelabuhan Panjang. Itu kali terakhir ubak mengajak saya. Selebihnya tak lagi bisa. Dia sakit lama.

Tapi sesekali saya beruntung diajak uwak. Pedagang buah. Meski tak ada lambaian tangan melepas kepergian di peron stasiun. Meski terpaksa nyempil di antara nanas, kabau, cung, dan entah karung-karung entah berisi apa. Lakoni saja. Asalkan dapat menemui tanah tempat saya meletakkan satu dari cinta yang saya miliki.

Tanjungkarang, Telukbetung, atau Bandarlampung sekalipun pada era awal 1990-an tetap molek. Seksi dengan bukit-bukit hijau padat. Sejak tahun 1998, saya terbilang sering singgah di kota ini. Meski kebanyakan hanya sebagai pelintas, pastilah satu dua hari saya sempatkan menginap di tempat para karib, lalu “belanja mata” memandangi bukit-bukit yang tumbuh di sana.

Belakangan kota molek itu babak belur tak sedap dipandang mata. Bukit-bukit yang padat penuh itu hancur kena gerogot “pembangunan”. Dikeruk tambang dan kena alih fungsi lahan jadi perhotelan dan perumahan mahal. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandar Lampung menyebutkan, dari 32 bukit cantik yang tumbuh di kota itu, 23 di antaranya rusak. Estetika kota yang membuat saya jatuh hati, sudah tak beda dengan riap-riapan perempuan gila di lampu merah.

Ditilik dari keadaan bukit-bukit di sini, Bandar Lampung babak bundas. Arah kembang kota sara bara. Bencana ekologis sudah banyak datang. Banjir dan tanah longsor di musim penghujan, kekeringan yang parah pada kemarau.

Bukit Tambang Batu

Ambon, satu karib, bercerita tentang bukit yang akrab dengan masa lalunya. "Bukit Onta, demikian warga Suka Menanti, Tanjung Karang, menamakan bukit itu. Tempat kami biasa berlatih olah raga panjat tebing. Selain dekat dengan rumah, dinding alam ini punya tingkat kesulitan menengah. Jadi masih cukup aman dan mengasyikan untuk berlatih."

Para pemanjat selalu beradu cepat dengan para penambang. Entah karena apa, mereka akhirnya bergeser ke sisi lain dari bukit Onta. Melaju terus bersama detam palu beradu dengan cadas deru truk-truk pengangkut hilir mudik.

Menari di dinding cadas Bukit Onta menjadi menu utama Ambon mengisi waktu liburan. Setelah lulus dari SMP, ia hijrah ke Jakarta untuk sekolah makin jarang menyambangi Bukit Onta. Sesekali ketika liburan dia dan kawan-kawan kecil melakukan reuni pemanjatan. “

Aah... sudah lama sekali, itu Kawan Syam, keping-keping kenangan. Aku sendiri lahir di desa nelayan, Teluk Betung, kota kembaran Tanjung Karang. Nah, Kau singgahlah ke sana. Naik angkot yang ada huruf R. Di sana kepingan kenanganku tercecer. Entah bagaimana kabar bukit Onta sekarang?”

Saya tak ke bukit Onta. Lebih memilih menengok kegiatan penambangan yang membongkar Bukit kunyit dan Bukit Camang. beberapa bagian bukit kunyit telah rata tanah. Sementara, godam terus memukul bukit tanpa ampun.

Beberapa pemecah batu di bukit Camang bercerita pekerjaan mereka. Membongkar batu di bukit Camang cara berkelompok, dan ada pula penambang yang bekerja sendirian. Seorang penambang mengaku perlu dua hari untuk kumpulkan 1 meter kubik batu. Satu kubik seharga dua ratus ribu rupiah.

“Banyak juga,” cetus saya.

Tapi sang penambang asal Banten, mayoritas memang asal sana, mengaku harga tersebut adalah harga di konsumen. Di lapangan, angka tersebut dibagi empat. “Satu bagian untuk “yang punya gunung”, satu untuk truk, satu untuk biaya muat ke atas truk, sisanya untuk saya.”

[caption id="attachment_211495" align="alignnone" width="600" caption="penambang batu di Bukit Camang (dok. Syam)"]

13539517581604185688
13539517581604185688
[/caption]

Bencana Ekologis

“Praktik pertambangan berbanding lurus dengan proses terjadinya bencana ekologis. Menurunnya fungsi ekologis, terganggunya sistem sosial dan budaya akibat praktik pertambangan, memicu meningkatnya risiko bencana,” kata Ambon yang kini dipercaya menjadi koordinator Jaringan Advokasi Tambang.

Saya teringat ketika dibonceng bersepeda motor oleh satu karib, Firman Seponada. Sekadar melihat-lihat kembali cinta masa kecil saya. Saya terkesan dengan satu gunduk bukit. Di lereng-lerengnya bermunculan perumahan mewah dan hotel. Tapi jejak bahwa di sini pernah subur hutan buah masih terlihat. Terkupas juga oleh penambangan bahan galian C.

“Ini bukit Rasuna Said, Om!” terang Firman saat mengantar saya jelajah kota dengan sepeda motor. “Dinamai begitu karena letaknya dekat Jl. Rasuna Said yang kita lewati ini. Aslinya bernama bukit Lungsir” susul Firman menimpa pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepala saya.

Bukit Rasuna Said menjadi salah satu kawasan serapan air yang memberi dampak langsung pada warga Bandar Lampung. Dulu, bila musim kemarau datang panjang, warga kota kesulitan air bersih, berbondong-bondonglah warga ke sumber mata air yang terdapat di bukit ini. Kini sejak bukit lungsir dialihfungsikan, berkah itu berubah bencana. Sumber air itu hilang. Banjir berikut longsor menerjang rumah penduduk dan menggenanginya dengan lumpur.

Bandar lampung termasuk daerah rawan ketersedian air tanah. Kehancuran bukit-bukit berarti merusak sumber-sumber air masyarakat. Bukan cuma yang terjadi pada bukit Lungsir. Warga Way Gubak kaki bukit Balau di Kecamatan Panjang kerap terpaksa bolak-balik sejauh dua kilometer demi mencari air bersih untuk minum ketika kemarau parah hadir seperti pada tahun 2011. Pilihan sumber air minum lain tak tersedia. Air PDAM tak cukup. Keran sering mati. Air Laut tak dapat diminum.

Warga Kelurahan Gedong Air, Kecamatan Tanjungkarang Barat, pun tak dapat lagi mengandalkan sumur sebagai sumber air bersih. Ketika kemarau mereka memburu dan bersedia antre panjang demi air dari sebuah sumur dalam di Bukit Benda. Satu kilometer dari pemukiman. Saking banyaknya pencari air, sediaan air di sumur kadang tak cukup.

Ketika bercengkrama bersama sejumlah kawan di sekretariat Watala, Jl. Teuku Umar, saya terperangah oleh satu cerita. Atap rumah perkumpulan pecinta alam tertua di Bandarlampung itu pernah digapai banjir pada 2008. Banjir besar 18 Desember 2008 itu merendam pula hampir seluruh wilayah kota Bandar Lampung.

Banjir besar di Bandarlampung berkait dengan kerusakan ekologis bukit-bukit di sana. Firman Seponada, yang pernah aktif bergiat di Walhi Lampung bercerita panjang lebar tentang banjir di Bandar Lampung.

berdasar topografi, Bandarlampung dapat dibagi menjadi dua kawasan, atas dan bawah. Kawasan atas merupakan dataran tinggi. Kawasan bawah berada di pesisir Teluk Lampung, tepi pantai. Secara administratif, ibukota propinsi paling Selatan Sumatra ini terbagi menjadi 13 wilayah kecamatan.

Sepuluh kecamatan berada di kawasan atas dan tiga lainnya di kawasan bawah meliputi, Panjang, Telukbetung Selatan, dan Telukbetung Barat. Ketiga kecamatan di kawasan bawah ini punya potensi alami banjir. Ketika hujan besar turun di kawasan ulu lalu air terantar melimpah ke laut —terlebih bila laut sedang pasang— banjir menjadi sebuah fenomena alam berkategori biasa.

Kini banjir pun mulai menjadi sesuatu yang biasa di wilayah kecamatan lain, Tanjungkarang Pusat, Tanjungkarang Timur, Sukarame, Teluk Betung Utara, Kotakarang, hingga Kedaton. Tak sukar menduga pendatangan banjir; hujan dari ulu besar atau boleh jadi biasa, daya serap tengah lemah, ilir jangan dikata.

“Ada tiga penyebab banjir di Bandar Lampung,” cerita Firman. “Pertama, penyempitan badan sungai dan drainase yang buruk. Kedua, alihfungsi kawasan serapan air yang tadinya berupa rawa menjadi kawasan pemukiman, pusat bisnis, ataupun kampus dan lain sebagainya. Nah, yang ketiga, penghancuran bukit-bukit di Bandar Lampung.”

Firman menyebut tahu empat belas bukit di Bandar Lampung. Sebelas bukit di antaranya ditetapkan sebagai kawasan konservasi, meliputi sembilan bukit berstatus hutan kota dan dua bukit sebagai paru-paru kota. Tapi penetapan kawasan konservasi tak mampu menghadang laju kerusakan hutan berikut bukit tempat hutan itu tumbuh. Bukit pun hutan babak belur. Tinggal tersisa tiga bukit yang masih asri; Bukit Banten di Kedaton, Bukit Sulah di Sukarame, dan Bukit Kucing di Tanjungkarang Barat.

Bisa dihentikan

Bencana ekologis yang kadan diikuti bencana kemanusiaan tersebut kian terasa kini. Namun bukan berarti kehancuran bukit-bukit penjaga kota sekaligus penyantik kota di Bandar Lampung tak bisa dihentikan. Meski tak banyak, tapi sederet contoh keberhasilan penyelamatan lingkungan berhasil dilakukan atas kehendak masyarakat dan kemampuan lingkungan memulihkan diri.

Hanya sekitar tujuh jam perjalanan berkereta api dari stasiun Tanjung Karang, sungai Kelekar di Prabumulih perlahan pulih sejak tahun 2000. Padahal selama hampir setengah abad, fungsi ekologis sungai ini bisa dibilang sudah mati karena pembuangan limbah penambangan minyak bumi. Sungai yang berlinang minyak serta bahan kimia beracun itu berhasil memulihkan diri sejak masyarakat berhasil memaksa Pertamina berhenti membuang limbah ke badan sungai.

Keberhasilan pemulihan Kelekar, bisa dibilang terinspirasi kasus kemenangan lingkungan Sungai Kalamazo (kota negara bagian, USA). Kalamazo, atau sungai api dalam bahasa Indian kuno kembali bersih dari ketercemaran bahan kimia beracun berkat kerjasama manusia dan lingkungan.

Masyarakat adat Mollo di Nusa Tenggara berhasil menghentikan kegiatan penambangan marmer yang telah memperlihatkan daya rusaknya dengan beragam masalah.

Kondisi kekinian Bandar Lampung mengingatkan pada nasib kota-kota yang tumbuh menjadi bandar-bandar ramai. Makin ke sini makin berisi pertentangan di tubuh dan jiwanya. Padahal pastilah ada cara untuk mengendalikan ekonomi agar tak menentang ekologi, melunakkan keinginan untuk tak melebihi kebutuhan, menenangkan pengembangan agar supaya tak mengabaikan penataan. Warga dan pengelola kota semestinya menjadi juru damai antara bencana dan berkah sebuah kota. Manusia dan alam dapat membuat komoditisasi dan koinvestasi jasa lingkungan gayung bersambut bergandeng tangan.

Jika ada sederet nama kota yang mematahkan hati saya, Tanjungkarang yang kini menjadi bagian kota besar Bandar Lampung, ada di deret depan. Tapi semoga kota ini dapat kembali pulih secara ekologis maupun estetika, hingga kembali memikat hati para pesinggah.

# # #

[ikhtisar singkat dari versi agak panjang dalam naskah Ziarah Sumatra ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun