Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kota Pematah Hati

22 Januari 2025   11:24 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanjungkarang, Telukbetung, atau Bandarlampung sekalipun pada era awal 1990-an tetap molek. Seksi dengan bukit-bukit hijau padat. Sejak tahun 1998, saya terbilang sering singgah di kota ini. Meski kebanyakan hanya sebagai pelintas, pastilah satu dua hari saya sempatkan menginap di tempat para karib, lalu “belanja mata” memandangi bukit-bukit yang tumbuh di sana.

Belakangan kota molek itu babak belur tak sedap dipandang mata. Bukit-bukit yang padat penuh itu hancur kena gerogot “pembangunan”. Dikeruk tambang dan kena alih fungsi lahan jadi perhotelan dan perumahan mahal. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Bandar Lampung menyebutkan, dari 32 bukit cantik yang tumbuh di kota itu, 23 di antaranya rusak. Estetika kota yang membuat saya jatuh hati, sudah tak beda dengan riap-riapan perempuan gila di lampu merah.

Ditilik dari keadaan bukit-bukit di sini, Bandar Lampung babak bundas. Arah kembang kota sara bara. Bencana ekologis sudah banyak datang. Banjir dan tanah longsor di musim penghujan, kekeringan yang parah pada kemarau.

Bukit Tambang Batu

Ambon, satu karib, bercerita tentang bukit yang akrab dengan masa lalunya. "Bukit Onta, demikian warga Suka Menanti, Tanjung Karang, menamakan bukit itu. Tempat kami biasa berlatih olah raga panjat tebing. Selain dekat dengan rumah, dinding alam ini punya tingkat kesulitan menengah. Jadi masih cukup aman dan mengasyikan untuk berlatih."

Para pemanjat selalu beradu cepat dengan para penambang. Entah karena apa, mereka akhirnya bergeser ke sisi lain dari bukit Onta. Melaju terus bersama detam palu beradu dengan cadas deru truk-truk pengangkut hilir mudik.

Menari di dinding cadas Bukit Onta menjadi menu utama Ambon mengisi waktu liburan. Setelah lulus dari SMP, ia hijrah ke Jakarta untuk sekolah makin jarang menyambangi Bukit Onta. Sesekali ketika liburan dia dan kawan-kawan kecil melakukan reuni pemanjatan. “

Aah... sudah lama sekali, itu Kawan Syam, keping-keping kenangan. Aku sendiri lahir di desa nelayan, Teluk Betung, kota kembaran Tanjung Karang. Nah, Kau singgahlah ke sana. Naik angkot yang ada huruf R. Di sana kepingan kenanganku tercecer. Entah bagaimana kabar bukit Onta sekarang?”

Saya tak ke bukit Onta. Lebih memilih menengok kegiatan penambangan yang membongkar Bukit kunyit dan Bukit Camang. beberapa bagian bukit kunyit telah rata tanah. Sementara, godam terus memukul bukit tanpa ampun.

Beberapa pemecah batu di bukit Camang bercerita pekerjaan mereka. Membongkar batu di bukit Camang cara berkelompok, dan ada pula penambang yang bekerja sendirian. Seorang penambang mengaku perlu dua hari untuk kumpulkan 1 meter kubik batu. Satu kubik seharga dua ratus ribu rupiah.

“Banyak juga,” cetus saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun