Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Beraroma Telaga

24 Juli 2011   01:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_124689" align="aligncenter" width="640" caption="Onsen reflections "][/caption]

Persis di antara rumahku dan kebun kecilku, ada sebuah telaga. Di tepi telaga ada sebuah rumah kayu. Rumah milik keluarga Arakawa. Tapi mereka sudah lama tak tinggal di sana. Bertahun-tahun rumah kayu itu tak berpenghuni. Dingin tak bercahaya ketika malam.

Keluarga Arakawa juga membangun satu balai-balai beratap, sedepa dari bibir telaga. Orang-orang tepian kota macam kami, kadang habiskan sisa petang di balai-balai. Sepeminuman sake.

Pun aku. Saban petang usai berkebun, kusempatkan menikmati tenang telaga dan satu-dua linting tembakau. Duduk di lindap pohon oyanagi, berseberangan dengan balai-balai.

Kadang, ada saja yang bertanya kenapa aku suka sekali datang ke sana. Jawaban kujaga rapi di dada. Jujur, aku suka aroma telaga ini. Aroma ricik hujan di sela musim semi dan musim panas berpadu aroma pekat salju musim dingin. Paduan aroma segar tanah dan bau purba lumpur dan batu. Aroma riang kuntum sakura di pangkal musim semi berpadu aroma syahdu jerami kering di kandang sapi. Dan masih banyak aroma lain yang kukenali. Tapi siapa yang tak bakal tergelak dan berseru bahwa aku mengada-ngada bila jawaban ini kukemukakan.

Oktober tahun lalu, ketika berisitirahat di tepi telaga sepulang menandur bibit tamanegi di kebun, kudapati ada yang berubah di rumah keluarga Arakawa. Di balai-balai, sisi lain telaga, berseberangan dengan tempatku biasa duduk, selalu tampak seorang perempuan muda. Baru kali itu aku lihat. Tapi dia jarang angkat wajahnya. Lebih sering menunduk. Kecuali bila angin bertiup sedikit kencang, dia angkat muka dan sibak rambut yang menggelitik matanya. Kadang kami saling tatap sejenak. Garis wajahnya ceria tapi dingin. Angin yang datang dari arah dia menujuku mengenalkan satu aroma baru yang lengkapi aroma telaga ini.

Jelang malam sebelum aku pulang --setelah perempuan muda itu menoleh singkat ke arahku-- kulihat dia masuk ke rumah keluarga Arakawa. Lalu beberapa lampu menyala, dan cahayanya menerobos jendela. Rumah keluarga Arakawa tak lagi tak berpenghuni.

Begitulah kulihat beberapa hari. Sampai salju datang membawa musim dingin. Selama salju ada, aku jarang menengok kebun yang sudah kutanami tamanegi. Sebab salju menutupi kebun, dan tamanegi mirip mati suri menunggu datang musim semi. Demikian pula aku. Tak pernah lagi singgah duduk di tepi telaga.

Ketika musim semi tiba, kudatangi kebun barang sekali sepekan. Sekadar memeriksa pertumbuhan tamanegi, menyiangi rerumput yang berebut makanan dan tempat tumbuh, dan sepulangnya kudapati perempuan di tepi telaga menunduk lebih dalam ketimbang sebelumnya. Sesekali angin datang, dia singkap rambut di wajahnya, angin antarkan aroma baru. Aroma airmata.

Sela musim semi dan musim panas, datang musim hujan. Saban petang di musim itu, hujan kerap mengurungku di bawah pohon oyanagi tepi telaga. Mungkin hujan yang sama mengikat perempuan pelengkap aroma danau di balai-balai selama aku di bawah pohon oyanagi.

* * *

Hingga berakhir musim hujan, saat daun-daun tamanegi mulai tampak lelah berdiri menunjuk langit, aku belum kenal perempuan itu. Tapi beberapa hari ketika aku sedang menyantap makan siang di balkon rumah, terendus aroma lain menyelinap di antara aroma nasi, ramen, salad mibuna, atau sup miso, dan lain-lain. Aroma danau datang di waktu makan siangku.

Ketika kutengok ke arah bawah balkon, kusadari darimana aroma itu datang. Perempuan yang tinggal di tepi danau tengah melintas jalan depan rumahku. Berjalan menunduk. Dengan kilap mata basah ia sempat menoleh sekejap ke arahku. Tanpa sempat kusapa selamat siang, pandangannya kembali lekat ke batuan jalan. Kian langkahnya jauh, wajahnya kian terangkat dan kukira ia melangkah dengan pandangan hadap depan.

Semula kukira tebakanku hanya duga tak beralasan. Tapi karena kali kedua dia tetap tampak begitu, aku penasaran. Keesokan harinya, tengah hari, di balkon sengaja kutunggu dia melintas. Demikianlah, hampir separuh musim hujan ia melintas saban siang. Aku mulai yakin melihatnya menangis. Bau hujan tak pernah membuat luntur aroma telaga tiap kali ia menoleh sejenak ke arah balkonku.

Suatu malam, di toko kue kulihat dia di sana. Begitu aku masuk toko, dia tampak tergesa menuju kasir. Lalu bergegas meninggalkan meja kasir. Kilat matanya sebasah musim hujan.

“Sachiko-san,” kudengar Takashi pemilik toko sekaligus kasir berseru padanya. Aku jadi tahu namanya Sachiko. Rupanya ketergesaan membuatnya lupa mengambil uang kembalian. Kudengar suaranya bilang minta maaf dan terima kasih sambil membungkuk berjalan mundur menuju pintu keluar.

“Perempuan yang aneh,” kudengar ucapan Takashi beberapa menit perempuan setelah itu meninggalkan pintu. Lalu Takashi menyapaku, “Heh, Samu-san! Kau kenal dia?”

Aku mengendikkan bahu.

“Kau tahu, orang-orang membicarakan Sachiko-san tadi. Dikait-kaitkan pula denganmu.”

“Hah? Apa?!”

Kata Takashi, orang-orang bilang sering memergoki Sachiko-san menangis tiap kali dia aku datang ke telaga dan ketika dia melintas rumahku. Informasi itu membuatku tertawa kecil dan bilang tak masuk akal. Gosip. Mengada-ngada. Kutempelak aku tak kenal dia. Aku cuma tahu dia menghuni rumah keluarga Arakawa, satu-satunya rumah di tepi telaga. Tapi tak kubilang apapun tentang aroma telaga dan airmata. Hanya, kubilang aku sering memergokinya mirip sedang menangis. Cuma “mirip”. Mana aku tahu apakah dia memang menangis atau memang demikian mimik muka aslinya. Walaupun kusinggung juga, kalau dia selalu menangis berarti orang tuanya salah kasih nama. Sachiko, sachi berarti gembira, riang, ria.

Beberapa orang yang juga sedang di toko kue nimbrung percakapanku dan Takashi. Mereka membenarkan gosip yang diangkat sang empunya toko. Aku tergelak dan bergegas mencomot beberapa kampil kue beras di dekat meja kasir lalu membayarnya dan segera kabur dari percakapan aneh malam itu.

“Hei, Samu-san! Ini sungguhan!”

“Ya! Kami tak bohong!”

“Perempuan itu tidak selalu menangis. Dia cuma menangis bila sedang dekat kamu!”

“Sial!” Aku memaki. Percakapan ini sudah bukan lagi gosip. Ini olok-olok.

Selama beberapa hari percakapan di toko kue sedikit mengganggu pikiranku. Selama beberapa hari itu pula ketika datang petang kusempatkan mengamati Sachiko-San duduk di balai-balai. Aku tetap memilih duduk di seberang di teduh pohon oyanagi. Pengamatan alakadarnya tak memberi jawaban apa pun. Tak pula kupikirkan untuk mendekatinya lalu sekadar menyapa selamat petang.

Ketika musim hujan berakhir dan daun-daun tamanegi rebah menimpa tanah, tak sempat kupikirkan tentang Sachiko. Rebahnya daun tamanegi mengisyaratkan datangnya masa panen. Aku bersiap kerja keras. Panen seorang diri akan meminta banyak tenagaku.

Tiga hari kuhabiskan waktu untuk panen. Hampir separuh kebun dalam sehari. Pagi hingga siang kupakai untuk mencabut umbi tamanegi, membiarkannya dikeringkan matahari. Siang hingga petang untuk mengangkutnya ke rumah. Tiap petang aku masih sempat sejenak menatap matahari meninggalkan telaga.

Petang hari ketiga, tamanegi terakhir kuangkut pulang. Kuputuskan untuk berakhir petang di balai-balai. Sejak dari jauh kulihat Sachiko duduk di balai-balai. Tampak ia menyeka saputangan ke wajahnya.

“Konichiwa!”

Sambil menyeka mata yang bercucur air ia menyahut dengan salam senada. Pelupuk matanya sembab, putih bola matanya merah. Takut mengganggu tangisnya, kupikirkan untuk menjauh sambil bilang maaf bila mengganggu. Dia menyahut tak apa, malah mendatangkan kesan menyilakan aku duduk di dekatnya.

Sejurus setelah aku duduk bersisian dengannya, ia memutar arah hadap sembilan puluh derajat menjauh ke arah sampingku. Arah hadapnya tak lagi menuju telaga. Sesekali menunduk macam menahan perih amat sangat di matanya.

Ketika aroma air matanya menyengat lekat di tiang-tiang balai-balai, pertanyaan apa yang membuatnya menangis tak sanggup lagi kusimpan. Sekaligus ingin kubuktikan tangisnya tak berkait aku.

Dia bilang dia alergi. Kutanya alergi apa. Dia jawab alergi aku. Aku tak habis pikir dan tergelak karena kukira dia sedang mencoba melucu. Dia tegaskan jawabannya sambil minta maaf. Dalam hati kucari praduga tentang alergi alergi di pengetahuan medis.

“Umm...” tanpa sadar ketika menggeleng tak mengerti keluar gumam dari bibirku. Tapi kurasa aroma airmata pelan-pelan memudar. Aroma yang ditangkap cuping hidungku perlahan mendekati aroma telaga semurni sebelum kulihat perempuan ini kali pertama.

“Umm...” gumamnya membalas. “Kau...”

“Ya, kenapa aku?”

“Kau... ah, tiap kali kulihat kau. Di bawah gagah oyanagi itu, atau di balkon rumahmu... kurasakan aroma tamanegi. Aroma tamanegi yang kau bawa kuat sekali. Mencucuk kantung air mataku. Maaf.”

Kutarik bahunya, kuputar arah hadapnya dan arah hadapku hingga kami bertatapan sedemikian lekat. Airmatanya mengering. Aroma tubuhnya kini murni aroma telaga berubah jadi sembrani yang menarik semua pori di kulitku melekat padanya. ###

*Tamanegi; onion atau bawang bombay.

* Keterangan Gambar:

Onsen reflections: "Hot Springs Inn Woman" (1920) by Goyo Hashiguchi. COURTESY OF KAGOSHIMA CITY MUSEUM OF ART. Nyolong dari The Japan Times

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun