“Hei, Samu-san! Ini sungguhan!”
“Ya! Kami tak bohong!”
“Perempuan itu tidak selalu menangis. Dia cuma menangis bila sedang dekat kamu!”
“Sial!” Aku memaki. Percakapan ini sudah bukan lagi gosip. Ini olok-olok.
Selama beberapa hari percakapan di toko kue sedikit mengganggu pikiranku. Selama beberapa hari itu pula ketika datang petang kusempatkan mengamati Sachiko-San duduk di balai-balai. Aku tetap memilih duduk di seberang di teduh pohon oyanagi. Pengamatan alakadarnya tak memberi jawaban apa pun. Tak pula kupikirkan untuk mendekatinya lalu sekadar menyapa selamat petang.
Ketika musim hujan berakhir dan daun-daun tamanegi rebah menimpa tanah, tak sempat kupikirkan tentang Sachiko. Rebahnya daun tamanegi mengisyaratkan datangnya masa panen. Aku bersiap kerja keras. Panen seorang diri akan meminta banyak tenagaku.
Tiga hari kuhabiskan waktu untuk panen. Hampir separuh kebun dalam sehari. Pagi hingga siang kupakai untuk mencabut umbi tamanegi, membiarkannya dikeringkan matahari. Siang hingga petang untuk mengangkutnya ke rumah. Tiap petang aku masih sempat sejenak menatap matahari meninggalkan telaga.
Petang hari ketiga, tamanegi terakhir kuangkut pulang. Kuputuskan untuk berakhir petang di balai-balai. Sejak dari jauh kulihat Sachiko duduk di balai-balai. Tampak ia menyeka saputangan ke wajahnya.
“Konichiwa!”
Sambil menyeka mata yang bercucur air ia menyahut dengan salam senada. Pelupuk matanya sembab, putih bola matanya merah. Takut mengganggu tangisnya, kupikirkan untuk menjauh sambil bilang maaf bila mengganggu. Dia menyahut tak apa, malah mendatangkan kesan menyilakan aku duduk di dekatnya.
Sejurus setelah aku duduk bersisian dengannya, ia memutar arah hadap sembilan puluh derajat menjauh ke arah sampingku. Arah hadapnya tak lagi menuju telaga. Sesekali menunduk macam menahan perih amat sangat di matanya.