Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Beraroma Telaga

24 Juli 2011   01:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga berakhir musim hujan, saat daun-daun tamanegi mulai tampak lelah berdiri menunjuk langit, aku belum kenal perempuan itu. Tapi beberapa hari ketika aku sedang menyantap makan siang di balkon rumah, terendus aroma lain menyelinap di antara aroma nasi, ramen, salad mibuna, atau sup miso, dan lain-lain. Aroma danau datang di waktu makan siangku.

Ketika kutengok ke arah bawah balkon, kusadari darimana aroma itu datang. Perempuan yang tinggal di tepi danau tengah melintas jalan depan rumahku. Berjalan menunduk. Dengan kilap mata basah ia sempat menoleh sekejap ke arahku. Tanpa sempat kusapa selamat siang, pandangannya kembali lekat ke batuan jalan. Kian langkahnya jauh, wajahnya kian terangkat dan kukira ia melangkah dengan pandangan hadap depan.

Semula kukira tebakanku hanya duga tak beralasan. Tapi karena kali kedua dia tetap tampak begitu, aku penasaran. Keesokan harinya, tengah hari, di balkon sengaja kutunggu dia melintas. Demikianlah, hampir separuh musim hujan ia melintas saban siang. Aku mulai yakin melihatnya menangis. Bau hujan tak pernah membuat luntur aroma telaga tiap kali ia menoleh sejenak ke arah balkonku.

Suatu malam, di toko kue kulihat dia di sana. Begitu aku masuk toko, dia tampak tergesa menuju kasir. Lalu bergegas meninggalkan meja kasir. Kilat matanya sebasah musim hujan.

“Sachiko-san,” kudengar Takashi pemilik toko sekaligus kasir berseru padanya. Aku jadi tahu namanya Sachiko. Rupanya ketergesaan membuatnya lupa mengambil uang kembalian. Kudengar suaranya bilang minta maaf dan terima kasih sambil membungkuk berjalan mundur menuju pintu keluar.

“Perempuan yang aneh,” kudengar ucapan Takashi beberapa menit perempuan setelah itu meninggalkan pintu. Lalu Takashi menyapaku, “Heh, Samu-san! Kau kenal dia?”

Aku mengendikkan bahu.

“Kau tahu, orang-orang membicarakan Sachiko-san tadi. Dikait-kaitkan pula denganmu.”

“Hah? Apa?!”

Kata Takashi, orang-orang bilang sering memergoki Sachiko-san menangis tiap kali dia aku datang ke telaga dan ketika dia melintas rumahku. Informasi itu membuatku tertawa kecil dan bilang tak masuk akal. Gosip. Mengada-ngada. Kutempelak aku tak kenal dia. Aku cuma tahu dia menghuni rumah keluarga Arakawa, satu-satunya rumah di tepi telaga. Tapi tak kubilang apapun tentang aroma telaga dan airmata. Hanya, kubilang aku sering memergokinya mirip sedang menangis. Cuma “mirip”. Mana aku tahu apakah dia memang menangis atau memang demikian mimik muka aslinya. Walaupun kusinggung juga, kalau dia selalu menangis berarti orang tuanya salah kasih nama. Sachiko, sachi berarti gembira, riang, ria.

Beberapa orang yang juga sedang di toko kue nimbrung percakapanku dan Takashi. Mereka membenarkan gosip yang diangkat sang empunya toko. Aku tergelak dan bergegas mencomot beberapa kampil kue beras di dekat meja kasir lalu membayarnya dan segera kabur dari percakapan aneh malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun