Saya teringat satu pengalaman. Cijapun, kebun ekologis kecil yang kami kelola di pedalaman Sukabumi sering mendapat kunjungan para backpacker yang ingin menjadi relawan melalui jaringan WWOOF (world wide opportunity on organic farming). Sederhananya, mereka berwisata sambil berkebun.
Seusai mengunjungi kebun kami, kebetulan saya menemaninya ke Jakarta, salah satu relawan mencak-mencak setiba di satu hotel yang sudah dipesankan oleh temannya. Ditraktir. Menurut si relawan, kamar hotel yang dipesankan terlalu mewah. Untuk menenangkan suasana, saya sarankan si relawan menikmati saja. Anggap hadiah dari temannya.
Si relawan bilang, kalau saja bukan karena tiket pesawat pulang sudah dibeli, dia memilih kembali ke kebun kami di pedalaman. Hotel mewah ada dimana-mana. Di kota dan negara asalnya juga banyak hotel bagus dan mahal. Tapi desa dan kebun kami yang dia kunjungi hanya bisa dia jumpai di Indonesia.
Padahal, setiap backpacker asing yang datang ke kebun kami kena suruh kerja kebun. Lima jam per hari. Mencangkul, menanam, menyiangi sawah, mengomposkan kotoran ternak, dan jenis pekerjaan pertanian lainnya. Selebihnya dia bisa berkeliling desa, berjalan-jalan di hutan, menyusuri sungai, melihat kegiatan pemetik teh di kebun tetangga, ngobrol dengan warga, mencicipi kue-kue tradisional yang disajika warga, mengajar anak-anak sekolah, dll.
Desa-desa lain bisa saja dikemas untuk mengundang wisatawan. Entah itu desa nelayan, desa penghasil arak, desa pengrajin, dll. Bantu dan siapkan warganya untuk dapat menjamu wisatawan. Sewajarnya bahkan ala kadarnya.
Jalan dan akses
Bangunlah infrastruktur yang baik! Terdengar seperti saran yang terlalu umum. Awas, salah bangun.
Fokus saja ke pembangunan jalan berkualitas bagus! Lalu mudahkan akses, cara mencapai tempat tujuan wisata. Pembangunan jalan mungkin bukan tugas Kementerian Pariwisata. Tapi, bisa merekomendasikan.
Sebagai gambaran, siapa yang mau ke Pantai Pangumbahan di Ujung Genteng? Tempat wisata di Pantai Selatan Sukabumi ini menarik. Terutama karena adanya aktivitas pelestarian penyu.
Ada beberapa kawan pernah saya temani ke sana. Kami menumpang kendaraan umum. Sekadar untuk kunjungan akhir pekan. Hampir semua mengeluhkan susahnya mencapai tempat itu. Dari dan menuju pulang ke Jakarta bisa habis 10 jam. Itu pun dengan berganti-ganti kendaraan. Dan kondisi jalan berlubang-lubang.
Hasilnya? Pengalaman menarik setelah mengamati penyu bertelur, melepas tukik ke lautan, memandangi keelokan pantai dan gulung ombak, dihapus oleh rasa letih karena perjalanan.