Masih banyakkah hal yang harus diperbaiki dan dikembangkan untuk memajukan pariwisata di Indonesia? Saya kira, ada satu hal mendasar. Hanya sebuah pertanyaan yang penting untuk kita jawab. Kenapa wisatawan –dalam hal ini wisatawan mancanegara (wisman)– ingin ke Indonesia?
Pertanyaan di atas mungkin mengandung beberapa pertanyaan lain. Misalnya apa yang bisa mereka nikmati selama berwisata di Nusantara? Apa yang bisa membuat mereka berlama-lama berpelesir ke negeri kita?
Kita, Indonesia, mesti bisa menjawabnya. Mesti siap dengan jawaban yang benar dan membuat wisatawan terkesan, ingin tinggal lebih lama, dan mungkin terniat kembali berkunjung di masa mendatang. Jawabannya mungkin bukan sekadar informasi. Melainkan tawaran, sambutan, dan pelayanan.
Pada dasarnya, manusia –sebagaimana para wisatawan– senang mengenang. Ingin selalu mengulang pengalaman yang menyenangkan. Tentu saja, jika itu yang kita harapkan.
Artinya, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pariwisata RI), dan para pihak lain yang terlibat di sektor pariwisata, termasuk masyarakat mesti menawarkan sesuatu yang unik, berbeda. Negeri lain mungkin juga punya yang mirip, tetapi milik kita lebih baik. Pembangunan pariwisata Indonesia mesti menjual nilai keaslian dan pengalaman bermutu yang akan dikenang oleh para wisatawan.
Lalu apa yang mesti dilakukan?
Mulai dari slogan
Remeh tapi penting. Slogan atau tagline pariwisata Indonesia juga menjadi penting untuk dibahas. Meski secara pribadi, ini akan menjadi bagian yang menyebalkan. Sebab, membanding-bandingkan negeri sendiri dengan negeri orang, sebenarnya norak.
Slogan pariwisata Indonesia saat ini, “Wonderful Indonesia” terlalu absurd. Wonderful? Sebagai seorang Indonesia, tak sedikitpun saya meragukan derajat keamatbagusan negeri ini. Tapi jika memposisikan diri sebagai calon wisatawan yang sedang menimbang-nimbang untuk datang ke Indonesia, kata wonderful lebih mirip sekedar seruan “wow” atau malah “oh, ya?” dan “ah, yang benar?”
Tetangga terdekat, Malaysia mengusung “Truly Asia”. Menurut saya, slogan ini memancing rasa ingin tahu. Rasa penasaran ingin membuktikan bagaimana keaslian asia dikemas dan dapat dilewati dalam sekali kayuh di negeri Melayu itu.
Lalu slogan apa yang bisa diusulkan untuk pariwisata nasional Indonesia? Entahlah. Tapi mungkin ada baiknya menghindari penggunaan kata, wonderful, paradise, awesome, amazing, dan hal-hal tak terukur semacam itu. Diverse Indonesia, misalnya.
Slogan sebuah kota juga memberi pengaruh pada kesan yang didapat wisatawan. Saya suka slogan kota Wellington, New Zealand. Begitu mendarat di bandara kota itu, terpampang tulisan besar: “Wild at Heart”. Terjemahan sederhananya berarti “beranikan dirimu untuk menjelajah!”. Bukan hati yang galau (boleh saya tambah emoticon cengir?).
Kesan lain saya dapat di kota Labasa, di Fiji. Kota kecil di pulau Vanua Levu itu punya slogan “Friendly North”. Dan sungguh, penduduk kota itu benar-benar friendly, amat sangat bersahabat. Sekadar gambaran, saya pernah terdampar sekali dalam keadaan kehabisan uang kecuali untuk ongkos kembali ke Suva, ibukota Fiji. Saya mesti bermalam tanpa bisa bayar penginapan termurah sekalipun. Para karyawan sebuah hotel di sana sangat bersahabat. Berbagi bekal untuk menjamu saya makan malam, menyiapkan saya tempat tidur, hingga memaksa saya beristirahat sembari mereka semalaman menunggu bis yang akan menuju Suva. Slogan “Friendly North” terasa amat mencerminkan kotanya.
Lain lagi dengan Jakarta. Slogannya, “Enjoy Jakarta”. Rasanya, slogan itu belum berhasil mencitrakan Jakarta, belum pula berhasil mengesankan para pendatang. Sebagai warga Jakarta sendiri, saya bingung apa enjoy-nya Jakarta. Dari cuit dan status di sosial media, gampang ditemukan keluhan warga terhadap kotanya. Tentang lalu lintas yang macet dan semrawut hampir setiap hari, dan tentang banjir pada musimnya. Bagaimana dengan turis?
Secara berseloroh, dengan adik-adik saya, kami pernah mendiskusikan slogan yang lebih tepat ketimbang “enjoy jakarta” untuk ibukota Republik Indonesia ini. Dengan segala keunikan yang tersebunyi dengan baik di balik masalah yang dihadapi kota ini, sebenarnya Jakarta menantang untuk tujuan pelancong.
Padat, semrawut, macet, terpolusi, belum punya sistem transportasi masal yang memadai, tetap jadi magnet bagi penjelajah. Mereka perlu merasakan jakarta. Karena itu Slogan “Rasain Jakarta” mungkin lebih punya bunyi. “Feel Jakarta” atau apalah!
Pengalaman, bukan cuci mata
Pendataan obyek wisata potensial yang mengkin mengundang datangnya wisatawan tentu sudah dilakukan. Lokasi berpemandangan alam menarik pasti masuk dalam daftar. Entah itu pantai, danau, alam gunungan, dan hutan alam yang dapat dijadikan kawasan wisata alam.
Jangan berhenti pada penyediaan tempat wisata. Mesti juga disiapkan berbagai unsur pengaya, berupa pelayanan yang bersahabat, lingkungan yang aman dan bersih, keunikan sejarah dan budaya yang unik, dll. Unsur-unsur ini memiliki arti dan bernilai bagi wisatawan dan masyarakat setempat.
Cuci mata tak cukup mengenyangkan jiwa. Wisatawan mendambakan pengalaman. Entah itu di kebun raya, taman konservasi, bangunan bersejarah, gunung-gunung, Kementerian Pariwisata mesti melihat potensi kawasan untuk memikat wisatawan ketimbang memfokuskan pada keindahan tempat.
Kementerian dan pelaku industri kadang perlu melakukan “rekayasa” tempat tujuan wisata, bukan hanya mengandalkan obyek utama di destinasi tersebut. Penyediaan pusat informasi, pemandu, aktifitas anak-anak, aktifitas bersama masyarakat setempat, tur kuliner, akan membantu interaksi antara wisatawan dengan budaya setempat. Dengan demikian, pengalaman para wisatawan akan terasa lebih bermakna.
Meminjam istilah Farid Gaban, “wisatawan datang tak hanya untuk cuci mata, tapi juga mencari makna.”
Promosi dan “duta”
Entah apa yang kurang dengan promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Tapi banyak pihak berpendapat bilang masih kurang. Saya sendiri tidak tahu takaran cukup kurangnya. Pemerintah, baik melalui kementerian maupun KBRI pasti sudah melakukan pada porsinya. Pelaku usaha pariwisata juga pasti sudah. Apalagi di zaman internet saat ini.
Tapi barangkali yang belum maksimal adalah memanfaatkan para duta Indonesia. Duta di sini bisa penulis, backpacker, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri orang, pekerja seni, dan para pekerja migran.
Adakalanya ketika sedang di negeri orang, kita ditanyai apa saja wisata yang menarik untuk dikunjungi di Indonesia. Kita akan menjawab banyak. Tapi juga mungkin menambahkan pesan supaya kalau ke Indonesia jangan hanya ke Bali. Sebab, Bali terlalu turisty. Atau, hindari jakarta. Semrawut dan macet dimana-mana. Saya beberapa kali menyatakan demikian. Dengan itu, tanpa sadar saya sudah menjadi duta yang buruk.
Para duta Indonesia perlu dibekali, didukung, diajak bekerja sama, diberi kesempatan untuk mempromosikan pariwisata Indonesia.
Unik terpisah
Dengan keberlimpahan aset pariwisata Indonesia, Kementerian Pariwisata semestinya mampu merancang pariwisata yang komplit dan berpilihan banyak. Yang dapat ditawarkan kepada semua wisatawan dari setiap golongan serta anggaran mereka. Mulai Indonesia yang sederhana, Indonesia yang mewah, hiruk pikuk perkotaan Indonesia, kesunyian pulau dan desa Indonesia, Indonesia dan kehebatan sejarah, Indonesia yang “biasa saja”, Indonesia yang ramah, Indonesia yang liar (alamnya), dan masih banyak lagi.
Tawarkan keunikan. Kemas paket yang berlainan di tempat berbeda.
Usung lokalitas, maksimalkan desa
Desa di sini bukan hanya yang dikemas sebagai desa wisata sebagaimana marak saat ini. Desa “biasa saja” tetap bisa menarik minat wisatawan. Asalkan tersedia aktifitas atau keunikan yang khusus.
Saya teringat satu pengalaman. Cijapun, kebun ekologis kecil yang kami kelola di pedalaman Sukabumi sering mendapat kunjungan para backpacker yang ingin menjadi relawan melalui jaringan WWOOF (world wide opportunity on organic farming). Sederhananya, mereka berwisata sambil berkebun.
Seusai mengunjungi kebun kami, kebetulan saya menemaninya ke Jakarta, salah satu relawan mencak-mencak setiba di satu hotel yang sudah dipesankan oleh temannya. Ditraktir. Menurut si relawan, kamar hotel yang dipesankan terlalu mewah. Untuk menenangkan suasana, saya sarankan si relawan menikmati saja. Anggap hadiah dari temannya.
Si relawan bilang, kalau saja bukan karena tiket pesawat pulang sudah dibeli, dia memilih kembali ke kebun kami di pedalaman. Hotel mewah ada dimana-mana. Di kota dan negara asalnya juga banyak hotel bagus dan mahal. Tapi desa dan kebun kami yang dia kunjungi hanya bisa dia jumpai di Indonesia.
Padahal, setiap backpacker asing yang datang ke kebun kami kena suruh kerja kebun. Lima jam per hari. Mencangkul, menanam, menyiangi sawah, mengomposkan kotoran ternak, dan jenis pekerjaan pertanian lainnya. Selebihnya dia bisa berkeliling desa, berjalan-jalan di hutan, menyusuri sungai, melihat kegiatan pemetik teh di kebun tetangga, ngobrol dengan warga, mencicipi kue-kue tradisional yang disajika warga, mengajar anak-anak sekolah, dll.
Desa-desa lain bisa saja dikemas untuk mengundang wisatawan. Entah itu desa nelayan, desa penghasil arak, desa pengrajin, dll. Bantu dan siapkan warganya untuk dapat menjamu wisatawan. Sewajarnya bahkan ala kadarnya.
Jalan dan akses
Bangunlah infrastruktur yang baik! Terdengar seperti saran yang terlalu umum. Awas, salah bangun.
Fokus saja ke pembangunan jalan berkualitas bagus! Lalu mudahkan akses, cara mencapai tempat tujuan wisata. Pembangunan jalan mungkin bukan tugas Kementerian Pariwisata. Tapi, bisa merekomendasikan.
Sebagai gambaran, siapa yang mau ke Pantai Pangumbahan di Ujung Genteng? Tempat wisata di Pantai Selatan Sukabumi ini menarik. Terutama karena adanya aktivitas pelestarian penyu.
Ada beberapa kawan pernah saya temani ke sana. Kami menumpang kendaraan umum. Sekadar untuk kunjungan akhir pekan. Hampir semua mengeluhkan susahnya mencapai tempat itu. Dari dan menuju pulang ke Jakarta bisa habis 10 jam. Itu pun dengan berganti-ganti kendaraan. Dan kondisi jalan berlubang-lubang.
Hasilnya? Pengalaman menarik setelah mengamati penyu bertelur, melepas tukik ke lautan, memandangi keelokan pantai dan gulung ombak, dihapus oleh rasa letih karena perjalanan.
Saya percaya banyak tempat menarik di Indonesia menghadapi persoalan yang sama. Untuk memajukan pariwisata Indonesia, bisa dikemas paket perjalanan dengan kereta api, bis yang terkoneksi, dipadukan dengan jalan raya yang bagus.
Penutup
Apakah harapan yang mungkin terbaca sebagai saran-saran ini adalah hal baru? Bisa jadi tidak. Ini sekadar sedikit saran yang sudah pasti sudah sering disampaikan kepada Kementerian Pariwisata RI. Pun kepada pelaku usaha pariwisata di Indonesia. Beberapa saran di atas malah mungkin cenderung basi. Dan hanya berhasil mendatangkan jumlah wisatawan asing sebanyak yang sudah.
Karena itu, barangkali kita memang perlu berhenti sejenak. Sekalipun itu akan membuat kita sedikit melangkah mundur. Sekadar menjawab pertanyaan sederhana: Kenapa wisatawan ingin ke Indonesia? Atau, kenapa mereka harus datang ke negeri kita?
Kita mesti siap dengan jawabannya.
------------------------------
[Syam Asinar Radjam: Cijapun, 20 Januari 2015]
Twitter: @kuranggawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H