Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Marwah MK Perlu Terus Diperbaiki, Jangan Setengah-Setengah!

9 November 2023   13:44 Diperbarui: 9 November 2023   14:16 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase Foto Hakim MK Akil Mochtar (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) saat digelandang KPK/sumber: Tempo.co

Jika ditanya puaskah penulis dengan hasil sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang hasilnya memutuskan bahwa 9 Hakim MK telah melanggar kode etik pada perkara batasan usia capres-cawapres?

Jawabannya tentu saja tidak puas, karena sanksinya hanya berupa teguran lisan dan tertulis terhadap beberapa Hakim MK dan pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK, bukan pemecatan secara tidak hormat dari Hakim MK.

Sejatinya, sanksi yang harus ditanggung semua Hakim MK adalah pemecatan secara dengan tidak hormat dari jabatan hakim MK, mengingat hasil keputusan yang dibuat secara cacat etika itu pun tetap berlaku, dimana pengusungan Gibran Rakabuming Raka tetap dianggap sah dan tidak bisa diganggu gugat meskipun secara hakikat mencederai semangat reformasi.

Hasil keputusan MKMK ini dinilai hanya sekadar memuaskan keinginan para penggugat, sedangkan esensi dari upaya gugatan tersebut tidak tersentuh sama sekali. Meskipun kemudian harus digelar sidang baru mengenai perkara batasan usia capres dan cawapres pasca sidang MKMK, hasilnya baru bisa  berlaku untuk Pilpres 2029.

Seperti diketahui, lahirnya Mahkamah Konstitusi yang sudah lebih dari 20 tahun ini merupakan buah dari reformasi yang digulirkan mahasiswa di tahun 1998. 

Reformasi mahasiswa 1998 ini juga kemudian menjatuhkan Suharto yang 32 tahun berkuasa. Karena itu, hakikat dari reformasi itu sendiri, salah satunya dan yang terpenting, menghendaki adanya pembatasan jabatan presiden.

Ironisnya, yang saat ini terjadi adalah Ketika MK nyata-nyata digunakan sebagai alat untuk melegitimasi pengusungan Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah putera sulung Presiden Joko Wododo untuk bisa diusung sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024. 

Infografis Pemberhentian Anwar Uman dari Ketua MK/sumber: Sindonews.com
Infografis Pemberhentian Anwar Uman dari Ketua MK/sumber: Sindonews.com

Dengan kata lain, ada upaya dari Presiden Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya melalui tangan anak sulungnya itu. 

Tentu saja, pengusungan ini tak lain sebagai upaya Presiden Jokowi untuk melanjutkan kekuasaannya yang seharusnya berakhir hanya untuk dua periode. 

Hal inilah yang dianggap oleh masyarakat, termasuk para pendukung Jokowi selama ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang digulirkan para mahasiswa di tahun 1998.

 

Hasil sidang MKMK memang akhirnya memberhentikan Ketua MK Anwar Usman yang kebetulan juga adalah paman Gibran Rakabuming Raka atau juga ipar Jokowi.

Namun, upaya MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie ini, bisa dibilang hanya sebagai upaya hukum biasa. Kenyataannya, Anwar Usman masih tetap menjadi Hakim di Mahkamah Konstutusi.

Tak mengherankan, munculnya desakan agar Anwar Usman mundur dari MK menjadi bukti bahwa keputusan MKMK masih belum menyentuh upaya mengembalikan marwah MK ke posisinya yang terhormat.

"Anwar Usman telah kehilangan posisi etis sebagai hakim. Meski Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan Anwar tidak lagi menjabat ketua hakim dan tidak boleh terlibat dalam perkara perselisihan hasil pemilu dan pilpres," kata Julius Ibrani, salah satu penggagas Maklumat Juanda, seperti dikutip Tempo.co (9/11/2023).

Kolase Foto Hakim MK Akil Mochtar (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) saat digelandang KPK/sumber: Tempo.co
Kolase Foto Hakim MK Akil Mochtar (kiri) dan Patrialis Akbar (kanan) saat digelandang KPK/sumber: Tempo.co

Jika kita meninjau sejarahnya, MKMK ini mulai dibentuk setelah terjadinya peristiwa memalukann MK, dimana terjadinya tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (AM) yang  dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2013 lalu. 

Bahkan, setelah terbentuknya MKMK pun, masih saja ada Hakim MK yang terjerat kasus memalukan, seperti yang dialami Hakim MK Patrialis Akbar di tahun 2017 hingga yang terakhir ini kasus Anwar Usman.

Oleh karena itu, bagaimana menyelamatkan marwah Mahkamah Konstitusi  agar MK benar-benar menjadi lembaga penjaga konstitusi seperti yang diamanatkan reformasi. 

Setidaknya, ada beberapa langkah yang penting untuk mengembalikan marwah dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi ini, di antaranya:

1. Reformasi Internal.

MK perlu mengambil langkah-langkah tegas secara internal untuk memastikan integritas dan kode etik semua hakim dijaga dengan ketat. Ini termasuk menetapkan pedoman perilaku yang jelas dan hukuman yang tegas bagi pelanggaran etika.

2. Transparansi dan Akuntabilitas.

MK juga harus menjaga transparansi dalam pengambilan keputusan. Ini mencakup memberikan penjelasan mengenai pertimbangan hukum dalam setiap putusan dan memastikan bahwa semua hakim bertanggung jawab atas keputusannya masing-masing.

3. Reformasi Hukum.

MK harus mempertimbangkan perubahan dalam undang-undang atau peraturan yang mengatur proses pemecatan hakim yang melanggar etika. Hal ini perlu untuk memastikan bahwa hakim yang terbukti melanggar kode etik dapat dipecat secara efektif.

4. Keterlibatan Publik.

MK perlu lebih terlibat dengan masyarakat sipil, organisasi advokasi, dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tentu saja dapat membantu mengawasi dan memberikan masukan yang konstruktif.

5. Pendidikan dan Pelatihan.

MK dapat memberikan pelatihan etika yang lebih ketat kepada hakimnya dan memastikan bahwa mereka memahami pentingnya menjaga integritas dan independensi institusi.

6. Pemantauan Independen.

MK dapat mempertimbangkan untuk melibatkan pihak ketiga yang independen untuk melakukan pemantauan dan audit etika secara berkala.

7. Reformasi Sistem Pengangkatan Hakim.

MK harus memastikan bahwa proses pengangkatan hakim baru sangat ketat dan berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan etika yang tinggi. tentu saja, hal ini mengikutsertakan keterlibatan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung sebagai pihak  yang merekomendasikan para Hakim MK.


8. Kemasyarakatan yang Kuat.

MK juga harus berada dalam posisi yang kuat untuk menolak tekanan politik atau campur tangan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini dapat dicapai melalui dukungan kuat dari masyarakat, independensi yang kuat, dan kualitas keputusan yang konsisten.

Dengan langkah-langkah di atas, tentu saja MK dapat berupaya untuk memperbaiki marwahnya dan memastikan bahwa lembaga ini tetap independen, etis, dan mampu menjalankan fungsinya dengan baik demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. 

Artinya, selama lebih dari 24 tahun reformasi ini, justru yang terjadi semakin melemahnya wibawa lembaga MK dan upaya pembatasan jabatan presiden sudah tak lagi dianggap penting.

Semangat MK!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun