Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Namun, di balik harapan dan antusiasme masyarakat terhadap proses demokrasi itu, terdapat ancaman yang perlu diwaspadai, yakni penyebaran hoaks dan politik identitas.Â
Kedua elemen di atas, jika tidak diatasi dengan bijak, bisa jadi dapat mengganggu integritas Pilpres 2024 dan tentunya berdampak buruk pada stabilitas serta keutuhan bangsa.
Hoaks atau informasi palsu adalah fenomena modern yang semakin meresahkan dalam konteks pemilihan umum.Â
Dalam era informasi digital, hoaks dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial dan pesan berantai.Â
Di tengah intensitas perdebatan politik, penyebaran hoaks dapat memicu kebingungan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pandangan dan pilihan mereka terhadap kandidat-kandidat tertentu.
Dalam persiapan menghadapi Pilpres 2024, kandidat seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan juga Anies Baswedan mungkin akan menjadi sasaran hoaks yang merugikan.Â
Informasi palsu tentang rekam jejak, pandangan politik, atau bahkan karakter pribadi kandidat bisa saja diciptakan dan disebarluaskan secara diam-diam.Â
Dalam situasi ini, literasi digital dan kritis masyarakat memiliki peran yang sangat penting.
Namun, hoaks bukanlah satu-satunya ancaman.Â
Politik identitas, atau strategi yang memanfaatkan perbedaan agama, etnis, atau latar belakang budaya untuk kepentingan politik, juga harus diperhatikan dengan serius.Â
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, agama, dan suku bangsa, memiliki potensi untuk menjadi rentan terhadap politik identitas yang dapat memecah belah masyarakat.
Konteks politik identitas ini dapat ditemukan dalam berbagai momen sejarah, salah satunya adalah Pilkada 2017 yang berlangsung di Jakarta.Â
Kontestasi antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan menghadirkan dinamika politik yang terpusat pada faktor identitas agama.Â
Di masa itu, isu agama dan penggunaan Alquran dalam kampanye telah memecah belah masyarakat dan menciptakan polarisasi yang sulit disembuhkan.
Pilkada 2017 di Jakarta merupakan contoh konkret bagaimana politik identitas dapat dimanipulasi untuk tujuan politik tertentu.Â
Dalam kasus ini, perbedaan agama digunakan sebagai alat untuk menggerakkan massa dan mengamankan dukungan.Â
Dampaknya bukan hanya pada hasil pemilihan itu sendiri, tetapi juga pada kerukunan sosial dan harmoni yang terganggu akibat konflik identitas yang diperbesar.
Ketika melihat Pilkada 2017 sebagai cerminan, kita perlu waspada terhadap potensi serupa dalam Pilpres 2024.Â
Penyimpangan politik identitas dapat mengubah arah dan isu substansial dari kampanye menjadi perdebatan sektoral yang mengabaikan kepentingan nasional secara keseluruhan.Â
Jika politik identitas terus dibiarkan merajalela, kita berisiko kehilangan pandangan terhadap isu-isu krusial yang seharusnya menjadi fokus.
Mencegah ancaman hoaks dan politik identitas dalam Pilpres 2024 adalah tanggung jawab bersama.Â
Pertama, penguatan literasi digital dan kritis di tengah masyarakat sangat penting. Edukasi mengenai cara memverifikasi informasi, memahami sumber berita yang sahih, dan mengidentifikasi tanda-tanda hoaks perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih cerdas dalam menghadapi informasi yang tersebar.
Kedua, peran media juga sangat sentral. Media memiliki tanggung jawab etis untuk menyajikan berita yang akurat, terverifikasi, dan berimbang.Â
Jurnalisme yang profesional mampu menjadi benteng utama dalam menghadapi gelombang hoaks dan politik identitas.Â
Dalam era digital ini, peran media sosial dalam menyebarkan informasi juga harus diawasi dan diatur dengan bijak.
Ketiga, para kandidat dan partai politik harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan demokrasi.Â
Mereka memiliki tanggung jawab untuk menghindari manipulasi politik identitas dan fokus pada penyajian visi serta solusi nyata untuk masyarakat. Mengedepankan substansi dalam kampanye dapat membantu mengurangi efek dari politik identitas yang merugikan.
Keempat, pemerintah dan lembaga terkait perlu mengimplementasikan regulasi yang ketat terhadap penyebaran hoaks dan pemanfaatan politik identitas.Â
Hukum harus mengatur tindakan yang merugikan masyarakat dan membahayakan stabilitas nasional.Â
Namun, regulasi ini harus diimbangi dengan penghormatan terhadap kebebasan berbicara dan berpendapat.
Dalam menghadapi Pilpres 2024, Indonesia memasuki fase kritis dalam perjalanan demokrasi. Hoaks dan politik identitas tidak boleh lagi dianggap sepele, mengingat dampaknya dapat meluas jauh melampaui proses pemilihan itu sendiri.Â
Dengan penguatan literasi, peran media yang profesional, komitmen politisi yang etis, serta regulasi yang tepat, kita dapat memastikan Pilpres 2024 berlangsung adil, demokratis, dan bermartabat.Â
Tantangan ini membutuhkan kerjasama seluruh elemen masyarakat demi masa depan bangsa yang kokoh dan harmonis.
Kita yakin kita semua bisa mewujudkannya, jika kita memang mau!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H