Politik identitas, atau strategi yang memanfaatkan perbedaan agama, etnis, atau latar belakang budaya untuk kepentingan politik, juga harus diperhatikan dengan serius.Â
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, agama, dan suku bangsa, memiliki potensi untuk menjadi rentan terhadap politik identitas yang dapat memecah belah masyarakat.
Konteks politik identitas ini dapat ditemukan dalam berbagai momen sejarah, salah satunya adalah Pilkada 2017 yang berlangsung di Jakarta.Â
Kontestasi antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan menghadirkan dinamika politik yang terpusat pada faktor identitas agama.Â
Di masa itu, isu agama dan penggunaan Alquran dalam kampanye telah memecah belah masyarakat dan menciptakan polarisasi yang sulit disembuhkan.
Pilkada 2017 di Jakarta merupakan contoh konkret bagaimana politik identitas dapat dimanipulasi untuk tujuan politik tertentu.Â
Dalam kasus ini, perbedaan agama digunakan sebagai alat untuk menggerakkan massa dan mengamankan dukungan.Â
Dampaknya bukan hanya pada hasil pemilihan itu sendiri, tetapi juga pada kerukunan sosial dan harmoni yang terganggu akibat konflik identitas yang diperbesar.
Ketika melihat Pilkada 2017 sebagai cerminan, kita perlu waspada terhadap potensi serupa dalam Pilpres 2024.Â
Penyimpangan politik identitas dapat mengubah arah dan isu substansial dari kampanye menjadi perdebatan sektoral yang mengabaikan kepentingan nasional secara keseluruhan.Â
Jika politik identitas terus dibiarkan merajalela, kita berisiko kehilangan pandangan terhadap isu-isu krusial yang seharusnya menjadi fokus.