Kata orang, kiamat sudah dekat, dan tanda-tandanya sudah terlihat. Mulai dari seringnya bencana alam, seperti gempa, letusan gunung, banjir di setiap musim hujan, dan juga tsunami.Â
Atau gejolak di Timur Tengah yang tak pernah kunjung usai. Bahkan, mewabahnya virus Corona (Covid-19) dari Wuhan, China, serangannya yang begitu masif ke seluruh dunia, juga dianggap oleh sebagian orang sebagai tanda-tanda kiamat sudah dekat.
Alasan orang, karena wabah tersebut, Kerajaan Arab Saudi akhirnya menghentikan sementara aktivitas ibadah umrah (bisa jadi Haji tahun ini juga ikut dibatalkan), sehingga aktivitas thawaf atau berputar mengelilingi Kabah juga ikut terhenti. Artinya, hal ini juga akan menghentikan perputaran bumi, karena Kabah dianggap sebagai sumbu bumi.
Entahlah apalagi pendapat orang. Bikin pusing saja!
Padahal, apa yang sekarang ini terjadi, sebenarnya juga pernah terjadi di masa-masa lalu.Â
Ya, termasuk juga penghentian ibadah umrah dan juga haji di Arab Saudi. Oleh karena itu, benar kata orang, ketidaktahuan dan ketidakmengertian, biasanya akan cenderung membuat seseorang menjadi panik.Â
Jika sudah panik, apa-apa yang dilakukan orang, bukan hanya menyulitkan dirinya sendiri, melainkan juga akan membuat banyak orang menjadi susah. Panik membuat orang tak lagi bernalar.
Nah, dimana posisi kita seharusnya?
Hal yang mungkin pasti, ketika kita bisa keluar dari sebuah persoalan yang melilit, sebenarnya itulah cara Tuhan menunjukkan bahwa hidup kita masih akan panjang. Dan, bangsa kita sudah pernah melalui semua kesulitan itu. Jadi, kita akan bisa menghadapinya!
Namun, jika kita tak mau berjuang untuk menghadapi kesulitan, itu sama artinya kita sendirilah yang membuat kiamat itu datang.Â
Tentu saja, kita tak mau semua itu terjadi, bukan? Kecuali jika Anda merasa sudah memiliki modal amal yang cukup.
Masalah ketidakpastian ekonomi yang saat ini terjadi, kita akui juga pernah terjadi di masa-masa lalu. Dan, kenyataannya, bangsa dan negara kita bisa melewati semua ujian itu dengan baik. Buktinya, Indonesia masih berdiri tegak hingga saat ini!Â
Kuncinya, jangan panik dan tetap optimis!
Bayangkan, karena didorong kepanikan, masyarakat berbondong-bondong memborong beras di pasar, yang akhirnya membuat persediaan beras di pasaran menjadi langka. Jika pun ada, harganya sudah melambung tinggi.
Nah, bagi masyarakat yang berpenghasilan tinggi, tentu bukan masalah. Mereka mungkin sudah memiliki persediaan beras yang berlebihan di rumahnya. Lantas, bagaimana dengan masyarakat lainnya yang berpenghasilan rendah atau masyarakat miskin?
Ada lagi, karena kepanikan, membuat orang-orang menarik uangnya dari bank, sehingga bank pun kekurangan likuiditas, akhirnya bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Inilah lingkaran setan yang membuat keadaan semakin kacau. Jika itu sudah terjadi, dampaknya bisa meluas dan menjalar kemana-mana, termasuk stabilitas keamanan dan politik.
Oleh karena itu, Â hal pertama yang harus dilakukan masyarakat adalah jangan panik. Kita harus tetap yakin dan juga optimis, kesulitan apa pun, pasti ada jalan keluarnya, dan kita yakin bisa melewatinya.
Harus diakui, wabah virus Corona ini telah membuat ekonomi Indonesia seperti balik ke titik nadir, banyak perusahaan yang tidak lagi beroperasi, sehingga tak lagi mampu membayar gaji pegawainya.
Bahkan, usaha kecil dan menengah (UMKM) dan juga pekerja informal, yang selama ini dianggap tahan krisis, nyatanya juga tak luput dari derita. Padahal, kelompok inilah yang bisa dikatakan paling banyak di Indonesia.
Namun, alhamdulillah, Pemerintah tak tinggal diam. Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pun akhirnya direvisi, hal ini terkait relokasi sejumlah anggaran untuk menangani dampak pandemi virus corona di Indonesia.
Kita semua sepakat dan juga setuju, jika anggaran itu akhirnya direloaksi untuk kesehatan, jaring pengaman sosial alias social safety net, dan juga insentif ekonomi untuk UMKM akibat dampak dari virus corona.
Begitu pula yang dilakukan Bank Indonesia (BI), dengan tetap mempertahankan suku bunga acuan. Hal ini dilakukan BI, tentu saja dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan juga nasional.Â
Oleh karena itu, kita juga tentunya mendukung sikap BI, yang akan terus menempuh koordinasi dengan otoritas terkait sebagai implementasi kebijakan makroprudensial yang akomodatif, sehingga makroprudensial aman terjaga.
Kita semua memang harus bekerja sama untuk mengatasi persoalan ini. Artinya, persoalan bangsa ini, tak bisa dilakukan sendiri-sendiri, entah itu Pemerintah sendiri, BI sendiri, atau masyarakat sendiri.
Sebagai masyarakat, kita percayakan Pemerintah dan juga Bank Indonesia untuk saling bekerja sama menelurkan kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa meringankan beban masyarakat, dan menjaga stabilitas sistem keuangan, sekaligus bisa kembali memutar roda perekonomian.
Sedangkan sebagai masyarakat, tentu saja kita harus  cerdas berperilaku, menjauhi kepanikan yang cenderung membuat kita kehilangan nalar, bersosial media secara sehat, tidak menyebarluaskan berita-berita yang jauh dari kebenaran atau hoaks, dan sebaiknya kita justru menyebarkan energi positif kepada masyarakat lainnya. Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sesuai kebutuhan, jangan berlebihan.
Budayakan kembali saling tolong-menolong dan juga gotong rotong di tengah masyarakat, tentu saja dalam batas-batas yang masih sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Pemerintah.Â
Wabah Corona ini merupakan wabah kita bersama. Kita semua bisa memutus rantai penularannya, jika kita mau mengikuti anjuran yang ditetapkan Pemerintah. Jangan egois!
Di saat-saat, seperti inilah, persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa tengah diuji. Jika kita semua mampu melewati ujian ini, seberkas sinar terang sudah tampak dari kejauhan.Â
Semoga kita mampu menggapainya segera!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H