Mohon tunggu...
Sukarja
Sukarja Mohon Tunggu... Desainer - Pemulung Kata

Pemulung kata-kata. Pernah bekerja di Kelompok Kompas Gramedia (1 Nov 2000 - 31 Okt 2014)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Prabowo-Sandi, Jangan Raih Kekuasaan dengan Kebohongan!

9 Januari 2019   18:47 Diperbarui: 9 Januari 2019   18:49 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Prabowo-Sandi dan Ratna/ diolah dari IdnTimes.com dan Merdeka.com

Ibaratnya kecanduan, seseorang akan terus mengkonsumsi sesuatu yang membuatnya sampai disebut kecanduan. Meskipun apa yang dilakukannya itu tidak baik, tetapi hal itu terus saja dilakukannya, tidak dihentikan. Bahkan, apa pun itu akan terus dilakukan agar dirinya tidak kehilangan apa yang sudah dinikmatinya selama ini.

Begitu pula dengan yang namanya kebohongan. Jika Kebohongan diibaratkan candu,  Kebohongan itu akan terus dilakukan, karena bagi pelakunya ada rasa yang bisa dinikmati.

Untuk sebagian orang, berbohong mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi ada juga orang yang sulit untuk berbohong. Banyak sebab dan alasan yang membuat orang untuk berbohong.  Apapun alasannya, intinya tetap sama, yaitu berbohong.

Salah satu alasan mengapa orang harus berbohong, karena adanya rasa takut. Seperti yang dilakukan anak-anak, dimana anak-anak berbohong kepada orangtuanya karena merasa takut akan dihukum, misalnya karena nilai ulangannya buruk.

Ada pula orang berbohong dengan tujuan mengelabui orang lain, dan dengan kebohongan itu dia bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Inilah kebohongan yang biasa dilakukan para penipu, atau bahkan koruptor. Istilahnya, kalau mau jujur,  mana bisa kaya!

Untuk alasan apapun, kebohongan tetaplah kebohongan. Apalagi jika kebohongan itu digunakan untuk mendapatkan kekuasaan politik, sangat berbahaya.  

Bukankah politik sendiri adalah cara atau sarana bagaimana mewujudkan masyarakat yang sejahtera, mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik, dan juga berkeadilan. Sedangkan jabatan politik hanyalah alat untuk dapat menghasilkan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat. Oleh karena itu,  cara yang ditempuh  haruslah dengan cara-cara yang baik pula, bukan dengan kebohongan.

Soal kebohongan ini, tampaknya begitu masif terlihat menjelang Pilpres 2019, khususnya kebohongan-kebohongan yang sepertinya diproduksi secara berkesinambungan dari kubu Prabowo-Sandi. Tujuannya untuk apa lagi, kalaulah bukan untuk meraih kekuasaan

Sejak masa kampanye Pilpres 2019 digelar, sudah berapa banyak kebohongan telah dilakukan, baik oleh Prabowo Subianto, Sandiaga Uno  maupun koalisi pendukungnya, yang melontarkan narasi kebohongan. Bahkan, jauh-jauh hari, kritik-kritik yang dilontarkan kubu oposisi ini, cenderung kritik yang tanpa disertai data. Semuanya asal bunyi atau asbun!

Ilustrasi Tropi Penganiayaan Ratna Sarumpaet/sumber: Liputan6.com
Ilustrasi Tropi Penganiayaan Ratna Sarumpaet/sumber: Liputan6.com
Sebelum penetapan capres dan cawapres, Prabowo sudah seringkali memberikan harapan palsu kepada rekan partai koalisinya, bahwa cawapresnya akan berasal dari partai pendukung, yaitu dari PKS, PAN, atau Demokrat.

Prabowo pun tak segan-segan menunjuk Sandiaga Uno sebagai cawapresnya, dan ini bertolak belakang dengan yang diajukan pendukungnya dari kelompok ulama yang dikomandoi Habib Rizieq Shihab, yang lebih merekomendasikan nama Ustadz Abdul Somad atau politisi dari PKS Salim Segaf Aljufri.

Berikutnya, peristiwa yang dianggap begitu menghebohkan. Peristiwa pemukulan Ratna Sarumpaet, dibuat seakan-akan sebuah kebenaran, dimana tujuannya  untuk menyebarluaskan ketidakpercayaan masyarakat pada keamanan negara. Faktanya yang dibuat, Rata Sarumpaet yang sudah berusia 70 tahunan itu dianiaya sekelompok orang. Peristiwa ini disebarluaskan secara masif  oleh beberapa elite koalisi, seperti Prabowo Subianto, Fadli Zon, Fahri Hamzah, bahkan Hanum Rais, putri Amien Rais. Namun, akhirnya kebenaran terkuak, dan terbukti bahwa semua itu adalah kebohongan.

Tak cukup di situ, kubu Prabowo-Sandi juga mengatakan pada September 2018 lalu, telah menemukan 8 juta daftar pemilih tetap (DPT) ganda. Informasi yang tidak jelas ini sengaja disebarluaskan untuk memberikan kegaduhan di tengah masyarakat. Tujuannya agar timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga yang menentukan proses pemilihan presiden ini. Narasi kebohongannya dibuat seakan-akan KPU berpihak pada pasangan Jokowi-Ma'ruf.

"Kalau saya melihat, itu sebagai motif politik. Karena kalau gitu sampaikan saja ke KPU. Karena saya melihat proses verifikasi juga dilakukan," kata Sekretaris Timses Jokowi-Ma'ruf, Hasto Kristiyanto, seperti dikutip Detik.com(14/09/2018).

Ilustrasi Pembohong/Merdeka.com
Ilustrasi Pembohong/Merdeka.com
Ketika kita baru saja memasuki awal tahun 2019, serentetan kebohongan meramaikan awal tahun. Prabowo yang mengatakan bahwa selang untuk cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah selang yang digunakan untuk 40 orang pasian, secara bergantian. Tentu saja, pihak RSCM membantahnya. 

Selanjutnya Cawapresnya Sandiaga Uno yang menyebut pembangunan Tol Cipali tidak yang dilakukan perusahaan miliknya tanpa sedikitpun menggunakan utang.  Sekali lagi, kedok kebohongan itu pun terbuka, karena sesungguhnya ada perjanjian sindikasi bank untuk pembangunan jalan tol tersebut. 

Termasuk, kebohongan berita mengenai adanya 7 kontainer di Tanjung Priok, yang berisi surat suara yang sudah dicoblos untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf. Dan, berita bohong itu disebarluaskan oleh Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief melalui akun twitternya, meski kemudian cuitan itu dihapusnya. Bayangkan 7 kontainer, yang diperkirakan berisi surat suara berjumlah 70 jutaan.

Pembuat hoax surat suara tercoblos, Bagus Bawana Putra. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Pembuat hoax surat suara tercoblos, Bagus Bawana Putra. (Lamhot Aritonang/detikcom)
Politik dengan menggunakan kebohongan ini, bukan tidak terjadi ketika Pilpres 2014 lalu. Saat itu, justru kebohongan masif dilakukan oleh sekelompok orang,  yang tidak berada di dalam tubuh tim resmi kampanye Prabowo-Hatta. Misalnya adanya penerbitan Tabloid Obor Rakyat.

Sampai saat ini,  penerbitan media seperti Tabloid Obor Rakyat atau pabrik hoax Saracen di Pilpres 2019 ini memang belum kelihatan. Namun, bukan berarti artinya benar-benar tidak ada.  Karena begitu sigapnya aparat penegak hukum yang membuat para penyebar hoax harus berpikir panjang dalam melakukan aktivitasnya jahatnya itu.

Buktinya, Bagus Bawana  sang kreator hoax 7 kontainer berisi surat suara yang sudah dicoblos itu, dengan cepatnya dicokok aparat kepolisian. Ternyata Agus Bawana adalah Ketua Dewan Koalisi Relawan Nasional (Kornas) Prabowo Subianto, dan ternyata Gerindra tidak mengakuinya. 

Kalau bisa dibilang, inilah tim siluman, yaitu tim yang tidak masuk dalam tim yang didaftarkan Prabowo-Sandi ke KPU.  Namun, yang pasti, tim siluman ini punya ikatan secara tidak langsung dengan tim pemenangan resmi Prabowo-Sandi. Demikian halnya dengan Tabloid Obor Rakyat, yang kemudian terkuak dan diakui keterlibatannya.

Begitu pula, jangan juga menggunakan kebohongan karena ada perasaan takut kalah. Dalam politik itu, kalah dan menang adalah hal biasa. Jangan karena sudah banyak mengeluarkan uang  untuk mengikuti kontestasi pilpres ini, lantas  melakukan kebohongan agar bisa menarik simpati pemilih. Tetap saja, kebohongan itu bukanlah cara yang mulia dan terhormat.

Sekali lagi, perlu untuk  direnungkan. Bagaimana mungkin tujuan politik yang begitu luhur harus dicapai dengan intrik-intrik kebohongan. Bila itu yang terjadi, maka kita tak bisa berharap banyak Pemerintahan yang terbentuk dari kebohongan itu akan membawa sebuah sistem pemerintahan yang akan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan juga kemaslahatan umum.

Sudah saatnya, dalam upaya meraih kekuasaan politik,  kita semua menggunakan cara-cara yang baik, seperti  melontarkan visi, program-program yang riil untuk masyarakat, dan aksi nyata. Dan, bukan dengan mencari atau memanfaatkan kebohongan-kebohongan, menyebarkan rasa takut, dan juga pesimisme masyarakat sebagai amunisi untuk menyerang lawan politik.

Kembalilah kepada budaya bangsa kita yang sesungguhnya! Terima kasih!

Sumber:

Nu.or.id (08/10/2018): "Politik Kebohongan dan Kebohongan Politik"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun