Namun, jika menganalisis lebih mendalam terkait kegagalan yang dialami oleh partai-partai ini setidaknya kita dapat mengambil beberapa alasan utama. Pertama, partai yang gagal dalam pemilu merupakan partai yang dapat dikatakan baru berkecimpung dalam dunia politik, dan pamornya masih belum dapat menyaingi partai-partai lama dengan pendukung terbanyak. Kedua, tidak banyak partai politik yang mencirikan perbedaan ideologi secara signifikan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa lebih baik memilih partai politik dengan rekam historis yang cukup lama dibandingkan dengan partai baru yang pada dasarnya tidak memiliki begitu banyak perbedaan dari segi ideologi atau visi misi. Ketiga, politisi yang sudah dikenal publik secara tidak langsung berdampak pada perolehan suara partai. Dari beberapa survei menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat memilih partai politik berdasarkan figure tokoh yang merepresentasikan partai tersebut, sehingga hal ini juga berdampak pada partai politik baru yang mana tokoh-tokohnya juga seringkali mengusung wajah baru yang belum dikenali oleh publik (Renaldi, 2019).
Dengan adanya hasil survei terkait preferensi pemilih dalam menentukan partai politik, setidaknya ada beberapa manfaat yang bisa diambil berdasarkan survei tersebut, salah satunya adalah upaya peningkatan kualitas politisi atau kader-kader partai dan juga meningkatkan kualitas partai politik itu sendiri, sehingga upgrading ini dapat berpengaruh pada elektabilitas partai politik dalam pemilu selanjutnya.
Kemudian cara apa yang dapat ditempuh oleh politisi atau partai politik untuk meningkatkan kepercayaan rakyat agar di dalam pemilu selanjutnya mereka dapat terpilih? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memastikan bahwa elit-elit politik yang ada merupakan politisi yang berkomitmen penuh pada kesejahteraan rakyat (Nurcholis, 2019), bahwa mereka mendasarkan segala tindakannya untuk kepentingan rakyat, dan memposisikan dirinya sebagai wakil rakyat. Hal ini yang harus dipupuk oleh partai politik pada kader-kader partainya. Secara sederhana, meningkatkan kepercayaan rakyat akan meningkatkan suara, sehingga validasi dari rakyat merupakan hal utama. Selain itu, yang perlu ditingkatkan dari politisi dan partai politik adalah transparansi, dan kejujuran dalam berpolitik.
Jangan sampai, ketika sudah terpilih ke dalam parlemen, elit-elit politik ini berubah menjadi pejabat yang korup dan mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Tidak sedikit kasus korupsi atau penyelewengan lain yang dilakukan oleh elit politik, hal ini menjadikan rakyat memandang bahwa partai politik serta politisi hanya berusaha menarik simpati rakyat tanpa bersungguh-sungguh dalam visi-misi dan tujuannya. Selain itu, maraknya pejabat yang korup mengakibatkan banyaknya stereotipe negatif terhadap politik, bahwa politik itu kotor, licik, hingga hanya permainan kekuasaan tanpa berorientasi pada kesejahteraan umum.
Dengan terbentuknya partai politik yang menjunjung komitmen pada kesejahteraan masyarakat umum, setidaknya publik akan mempertimbangkan untuk memilih partai tersebut untuk mewakili mereka di dalam parlemen. Namun, tentunya semua tindakan partai politik ini harus benar-benar diwujudkan dan bukan hanya sekedar janji manis demi mendapat simpati dari rakyat. Partai politik yang berkualitas juga akan berdampak pada terciptanya politisi-politisi yang berkualitas dan berintegritas, karena tiap partai memiliki pola rekrutmen dan kaderisasinya tersendiri, maka dengan terbentuknya partai yang berkualitas akan memiliki proses kaderisasi yang berdampak pada kualitas elit-elit politik itu sendiri.
Eksistensi dari parliamentary threshold sejatinya memang menjadi perdebatan antara kelompok pro dan kontra. Tentu saja terdapat konflik kepentingan yang menghiasi perdebatan ini. Tidak jarang beberapa partai politik mengajukan keberatan terkait ambang batas parlemen ini, karena banyak partai yang kesulitan untuk memenuhi ambang batas sehingga ketika mereka tidak lolos dalam kontestasi, partai-partai ini menganggap kehadiran parliamentary threshold sebagai penghalang demokrasi. Namun, seberapa banyakpun ajuan untuk menghilangkan ambang batas parlemen, pada akhirnya ajuan itu tidak pernah mencapai tujuannya, karena hingga saat ini parliamentary threshold masih digunakan dan sepertinya akan terus digunakan untuk waktu jangka panjang.
Memang tujuan dari ambang batas parlemen ini rasa-rasanya masih menjadi ambiguitas, karena seperti yang sedari awal telah disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana, namun dalam beberapa kasus hal yang terjadi adalah sebaliknya. Terkadang juga parliamentary threshold ini dianggap membuat pemilu legislatif menjadi pemilu yang eksklusif dan hanya menguntungkan partai-partai besar, dan masih banyak perdebatan lainnya.
Saya memiliki pendapat dan pandangan bahwa eksistensi dari parliamentary threshold ini memang harus tetap dipertahankan dalam dinamika pemilu legislatif di Indonesia. Karena dengan penerapan parliamentary threshold ini, setidaknya dapat memperbesar peluang bahwa kursi-kursi di parlemen diisi oleh partai yang elektabilitasnya diakui oleh masyarakat umum, sehingga kemungkinan elit politik yang masuk dalam parlemen juga merupakan politisi yang memang paham terkait politik dan kepentingan rakyat. Parliamentary threshold ini setidaknya dapat dijadikan acuan dan motivasi bagi partai politik dan politisi atau kader partai untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan yang berdampak pada terciptanya pemerintahan yang baik dan stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H