Politik merupakan suatu hal yang sangat dinamis, dan selalu bergerak membayangi banyak aspek kehidupan. Politik juga merupakan aspek krusial dalam menentukan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini dapat dilihat melalui kualitas penguasa dan bagaimana kebijakan yang dicetuskan dapat bermanfaat serta menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Dengan memahami esensi dari eksistensi politik, setidaknya dapat ditarik secara garis besar bahwa politik hadir berusaha untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Namun, tentunya dalam memenuhi tujuan dan cita-cita ini ada beberapa cara yang harus ditempuh, salah satunya melalui kekuasaan.
Politik sangat erat kaitannya dengan kekuasaan, karena memang banyak ahli yang berpendapat bahwa kekuasaan diperlukan untuk mencapai tujuan negara. Setidaknya, politik dalam suatu negara akan selalu berhubungan dengan power; decision making; public policy; dan allocation and distribution (Budiarjo, 2008).
Antara kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik hingga alokasi dan distribusi tidak bisa dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan walau suatu negara mengadopsi sistem demokratis sekalipun. Akan sangat sulit bagi seluruh masyarakat untuk terjun dalam demokrasi langsung karena beberapa alasan yang rasional.
Pertama, luas wilayah menjadi kendala utama karena semakin luas wilayah akan semakin sulit bagi rakyat berkumpul dan berdeliberasi. Kedua, pertambahan jumlah penduduk yang signifikan akan berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Semakin bertambah jumlah penduduk, akan semakin meningkat jumlah partisipasi masyarakat sehingga berkonsekuensi kepada beragamnya pendapat dan sulitnya penentuan keputusan karena keberagaman tersebut. Karena rasanya tidak memungkinkan untuk melakukan demokrasi langsung di era modern kini, maka demokrasi perwakilan adalah solusi yang paling rasional untuk dilakukan. Demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung sendiri dapat dipahami sebagai suatu sistem pemerintahan yang menggunakan individu atau kelompok untuk mewakili kepentingan dari kelompok atau masyarakat yang lebih besar.
Dengan diterapkannya demokrasi perwakilan, akan tercipta hubungan antara wakil dan yang terwakil, yang mana wakil rakyat akan berusaha mewujudkan aspirasi dan kebutuhan rakyat ketika mereka menjabat di dalam parlemen. Tentunya, mereka yang menjabat sebagai wakil rakyat tidak dipilih secara cuma-cuma, melainkan terdapat sistematika dan proses yang panjang dan cukup rumit. Proses ini meliputi syarat serta kualifikasi yang harus dipenuhi oleh calon wakil rakyat. Salah satu syarat yang harus terpenuhi agar seseorang atau sekelompok orang bisa menjadi wakil rakyat dengan memenuhi parliamentary threshold.
Parliamentary threshold merupakan besaran ambang batas suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat menjadikan kader-kadernya masuk ke dalam parlemen. Keberadaaan parliamentary threshold ini merupakan salah satu syarat pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang menerapkan sistem pemilu proporsional (Purnama, 2021).
Mungkin cukup membingungkan untuk memahami kegunaaan ambang batas parlemen ini jika hanya berdasarkan definisi. Maka akan saya berikan sedikit perumpamaan untuk pemahaman yang lebih jelas. Ketika pemilihan umum sudah dilakukan, akan terdapat perhitungan perolehan suara sah dan para partai politik akan mendapatkan kalkulasi perhitungan suara partainya. Jika pada akhirnya partai politik berhasil menyentuh angka minimal dari ambang batas, maka partai tersebut berhak untuk menempatkan anggota partainya pada kursi parlemen atau lembaga legislatif. Namun, ketika ambang batas tersebut tidak dapat disentuh oleh partai politik, maka semua suara yang didapatkan oleh partai tersebut tidak bisa membawa partainya ke dalam parlemen, dan akan dianggap hangus (Purnama, 2021).
Mungkin beberapa golongan masyarakat atau bahkan bagian dari partai politik menilai bahwa penerapan ambang batas ini menyalahi esensi demokrasi, atau diartikan sebagai pengekangan terhadap kebebasan memilih, atau lain sebagainya. Namun, pada dasarnya secara sederhana parliamentary threshold memiliki tujuan yang cukup penting bagi keberlangsungan pemerintahan Indonesia.
Prihatmoko (2008) menjelaskan bahwa dengan diberlakukannya parliamentary threshold kemunculan dan pertumbuhan partai politik baru dapat ditekan sehingga tidak memperluas jarak ideologis antar partai, yang dengan ini secara tidak langsung akan berdampak kepada semakin efektifnya agregasi dan artikulasi kepentingan (Adam, Betaubun, & Jalal, 2021).
Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh memang dengan menerapkan parliamentary threshold ini, kontestasi antar partai politik di pemilihan umum akan semakin ketat sehingga memperkecil jumlah partai yang dapat bergabung dalam parlemen dari sekian banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu. Selain itu, parliamentary threshold juga memudahkan proses pengambilan keputusan karena jika terlalu banyak partai politik yang bergabung dalam parlemen, akan semakin banyak perbedaan pendapat, kepentingan, dan keputusan yang membuat semakin sulitnya suatu kebijakan mencapai konsensus.
Reynolds dan Mellaz (2011) juga mengemukakan bahwa secara teoritis, dengan berlakunya ambang batas parlemen ini akan berdampak pada penyederhanaan partai politik dan sistem kepartaian, sehingga setelah pemilihan umum dilakukan akan terlihat apakah pemerintah meneraapkan sistem dwi partai atau multipartai (Adam, Betaubun, & Jalal, 2021).
Masih bersambung dengan teori kegunaan ambang batas sebelumnya, ketika semakin banyak partai politik berhasil masuk ke dalam parlemen, maka sistem kepartaian yang digunakan dalam suatu pemerintahan akan berbentuk multipartai. Indonesia sendiri sejauh ini menerapkan sistem multipartai karena lebih dari lima partai politik yang berhasil mengirimkan politisinya ke dalam parlemen, dengan jumlah perolehan kursi tidak jauh berbeda dari partai satu dengan partai lainnya, walaupun memang masih terdapat partai yang mendominasi kursi karena perolehan suara yang didapat lebih banyak dari partai politik lainnya. Lagi-lagi, semakin banyaknya partai yang bergabung dengan parlemen, cenderung akan mempersulit proses pengambilan keputusan sehingga seringkali negara yang menerapkan sistem kepartaian multipartai mengalami ketidakstabilan pemerintahan.
Di Indonesia, penerapan parliamentary threshold bukanlah hal baru namun kehadirannya baru dirasa di era Reformasi. Pada tahun 2009, pemberlakukan ambang batas parlemen mulai dilakukan dengan menerapkan ambang batas sebesar 2,5% dari suara sah yang didapat oleh partai politik. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa kalkulasi perhitungan suara partai politik harus mencapai minimal 2,5% untuk dapat masuk dalam parlemen.
Tentunya penerapan ambang batas ini dilandasi oleh landasan hukum, tertuang dalam Pasal 202 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang berbunyi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR”, dan kemudian di dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa ambang batas ini tidak diberlakukan untuk pemilihan umum di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan umum legislatif di tahun 2009 diwarnai dengan beragamnya partai politik yang mengikuti kontestasi dari pesta demokrasi di Indonesia, terhitung sebanyak 38 partai politik yang terdaftar menjadi peserta pemilu, namun hanya 9 partai politik yang lolos berdasarkan ketentuan ambang batas tersebut.
Demokrat mendominasi perolehan suara dengan persentase 20,81% kemudian diikuti oleh Golkar sebesar 14,45% dan PDIP di urutan ketiga dengan 14,01% dan diikuti oleh partai-partai lainnya dengan Hanura diurutan terakhir, yaitu mendapatkan perolehan suara sebesar 3,77%. Jika dari persentase tersebut, dapat kita analisis bahwa Demokrat berhasil mendapatkan setidaknya 150 kursi di parlemen, dan dengan jumlah ini menjadikan Demokrat sebagai partai dominan di DPR RI. Hal ini sejalan dengan terpilihnya Susislo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dan ia merupakan presiden yang diusung oleh Demokrat, menjadikan power yang dimiliki Demokrat saat itu sangat kuat.
Setelah penerapan parliamentary threshold pasa tahun 2009 dirasa efektif dan semakin membuka peluang bagi terlaksananya sistem multipartai sederhana, maka pada pemilihan umum lima tahun berikutnya yaitu tahun 2014, ambang batas ini digunakan kembali, namun dengan peningkatan jumlah. Ketika awalnya ambang batas diterapkan sebesar 2,5%, di tahun 2014 ambang batas ini dinaikkan sebanyak 1% sehingga partai politik harus memenuhi minimal 3,5% dari suara sah untuk masuk ke dalam parlemen.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Pasal 208 dijelaskan bahwa “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota”. Dengan ini, terdapat beberapa perubahan signifikan dari pemilu 2009 ke pemilu 2014, pada awalnya DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota tidak harus memenuhi ambang batas, namun kemudian ambang batas ini berlakukan. Dari hasil pemilu 2014, terdapat 12 partai yang mengikuti pemilihan umum namun hanya 10 partai politik yang mampu memenuhi ambang batas ini.
Posisi Demokrat yang pada tahun 2009 mendominasi tergantikan oleh PDI Perjuangan dengan perolehan suara mencapai 18,96% dan disusul oleh Golkar sebesar 14,75%, sedangkan Demokrat berada di posisi keempat dengan perolehan suara 10,19%. Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) gagal karena perolehan suara sah dibawah 3,5%.
Jika mengkomparasikan antara pemilu 2009 dan pemilu 2014, partai politik yang menjadi peserta pemilu di tahun 2009 dua kali lebih banyak dari partai politik di tahun 2014, namun lebih sedikit yang lolos ke parlemen. Sedangkan di pemilu 2014, ketika parliamentary threshold dinaikkan dan jumlah partai yang berkontribusi lebih sedikit, justru terdapat peningkatan pemenang pemilu. Sehingga di sini dapat dilihat bahwa upaya penerapan parliamentary threshold untuk menciptakan sistem kepartaian multipartai “sederhana” menjadi ambigu dan perlu ditinjau kembali akurasinya.
Jika berkaca pada pemilu 2019 lalu, lagi-lagi terdapat peningkatan parliamentary threshold. Besaran ambang batas parlemen ini yang pada tahun 2014 sebesar 3,5% meningkat sebanyak 0,5% sehingga di pemilihan umum 2019, total ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik adalah 4%.
Kembali lagi seperti yang telah disampaikan pada argumen sebelumnya bahwa peningkatan ambang batas ini dilandasi oleh dasar hukum, tertuang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 414 Ayat (1) yang berbunyi “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”. Dengan diterapkannya parliamentary threshold 4%, setidaknya dapat dianalisis bahwa dengan ini negara berkomitmen untuk menciptakan dan mewujudkan sistem kepartaian yang berbasis multipartai sederhana. Namun tentunya peningkatan ambang batas ini diiringi oleh konsekuensi-konsekuensi lain selain dengan membatasi partai politik yang bergabung dalam parlemen.
Pada pemilihan umum 2019, 16 partai politik setidaknya ikut andil dalam meramaikan pesta demokrasi ini, namun hanya 9 partai yang dapat mengirimkan kadernya ke DPR RI. Lagi-lagi, sama halnya dengan di tahun 2014, partai PDI Perjuangan berhasil menjadi partai yang mendominasi kursi parlemen dengan perolehan suara sebesar 19,33%, disusul oleh Gerindra yang berada di posisi kedua dengan perolehan suara 12,57% kemudian Golkar di peringkat ketiga dengan perolehan suara 12,31%. Walaupun ketiga partai ini berhasil memenuhi ambang batas parlemen bahkan terlampau jauh dari syarat minimal, tidak serta merta besaran 4% adalah besaran yang mudah untuk didapat. Berkaca pada partai-partai yang gagal dalam pemilu baik di tahun 2009, 2014 hingga ke 2019, cukup sulit untuk melewati ambang batas tersebut.
Namun, jika menganalisis lebih mendalam terkait kegagalan yang dialami oleh partai-partai ini setidaknya kita dapat mengambil beberapa alasan utama. Pertama, partai yang gagal dalam pemilu merupakan partai yang dapat dikatakan baru berkecimpung dalam dunia politik, dan pamornya masih belum dapat menyaingi partai-partai lama dengan pendukung terbanyak. Kedua, tidak banyak partai politik yang mencirikan perbedaan ideologi secara signifikan. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa lebih baik memilih partai politik dengan rekam historis yang cukup lama dibandingkan dengan partai baru yang pada dasarnya tidak memiliki begitu banyak perbedaan dari segi ideologi atau visi misi. Ketiga, politisi yang sudah dikenal publik secara tidak langsung berdampak pada perolehan suara partai. Dari beberapa survei menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa masyarakat memilih partai politik berdasarkan figure tokoh yang merepresentasikan partai tersebut, sehingga hal ini juga berdampak pada partai politik baru yang mana tokoh-tokohnya juga seringkali mengusung wajah baru yang belum dikenali oleh publik (Renaldi, 2019).
Dengan adanya hasil survei terkait preferensi pemilih dalam menentukan partai politik, setidaknya ada beberapa manfaat yang bisa diambil berdasarkan survei tersebut, salah satunya adalah upaya peningkatan kualitas politisi atau kader-kader partai dan juga meningkatkan kualitas partai politik itu sendiri, sehingga upgrading ini dapat berpengaruh pada elektabilitas partai politik dalam pemilu selanjutnya.
Kemudian cara apa yang dapat ditempuh oleh politisi atau partai politik untuk meningkatkan kepercayaan rakyat agar di dalam pemilu selanjutnya mereka dapat terpilih? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memastikan bahwa elit-elit politik yang ada merupakan politisi yang berkomitmen penuh pada kesejahteraan rakyat (Nurcholis, 2019), bahwa mereka mendasarkan segala tindakannya untuk kepentingan rakyat, dan memposisikan dirinya sebagai wakil rakyat. Hal ini yang harus dipupuk oleh partai politik pada kader-kader partainya. Secara sederhana, meningkatkan kepercayaan rakyat akan meningkatkan suara, sehingga validasi dari rakyat merupakan hal utama. Selain itu, yang perlu ditingkatkan dari politisi dan partai politik adalah transparansi, dan kejujuran dalam berpolitik.
Jangan sampai, ketika sudah terpilih ke dalam parlemen, elit-elit politik ini berubah menjadi pejabat yang korup dan mengesampingkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Tidak sedikit kasus korupsi atau penyelewengan lain yang dilakukan oleh elit politik, hal ini menjadikan rakyat memandang bahwa partai politik serta politisi hanya berusaha menarik simpati rakyat tanpa bersungguh-sungguh dalam visi-misi dan tujuannya. Selain itu, maraknya pejabat yang korup mengakibatkan banyaknya stereotipe negatif terhadap politik, bahwa politik itu kotor, licik, hingga hanya permainan kekuasaan tanpa berorientasi pada kesejahteraan umum.
Dengan terbentuknya partai politik yang menjunjung komitmen pada kesejahteraan masyarakat umum, setidaknya publik akan mempertimbangkan untuk memilih partai tersebut untuk mewakili mereka di dalam parlemen. Namun, tentunya semua tindakan partai politik ini harus benar-benar diwujudkan dan bukan hanya sekedar janji manis demi mendapat simpati dari rakyat. Partai politik yang berkualitas juga akan berdampak pada terciptanya politisi-politisi yang berkualitas dan berintegritas, karena tiap partai memiliki pola rekrutmen dan kaderisasinya tersendiri, maka dengan terbentuknya partai yang berkualitas akan memiliki proses kaderisasi yang berdampak pada kualitas elit-elit politik itu sendiri.
Eksistensi dari parliamentary threshold sejatinya memang menjadi perdebatan antara kelompok pro dan kontra. Tentu saja terdapat konflik kepentingan yang menghiasi perdebatan ini. Tidak jarang beberapa partai politik mengajukan keberatan terkait ambang batas parlemen ini, karena banyak partai yang kesulitan untuk memenuhi ambang batas sehingga ketika mereka tidak lolos dalam kontestasi, partai-partai ini menganggap kehadiran parliamentary threshold sebagai penghalang demokrasi. Namun, seberapa banyakpun ajuan untuk menghilangkan ambang batas parlemen, pada akhirnya ajuan itu tidak pernah mencapai tujuannya, karena hingga saat ini parliamentary threshold masih digunakan dan sepertinya akan terus digunakan untuk waktu jangka panjang.
Memang tujuan dari ambang batas parlemen ini rasa-rasanya masih menjadi ambiguitas, karena seperti yang sedari awal telah disebutkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem kepartaian multipartai sederhana, namun dalam beberapa kasus hal yang terjadi adalah sebaliknya. Terkadang juga parliamentary threshold ini dianggap membuat pemilu legislatif menjadi pemilu yang eksklusif dan hanya menguntungkan partai-partai besar, dan masih banyak perdebatan lainnya.
Saya memiliki pendapat dan pandangan bahwa eksistensi dari parliamentary threshold ini memang harus tetap dipertahankan dalam dinamika pemilu legislatif di Indonesia. Karena dengan penerapan parliamentary threshold ini, setidaknya dapat memperbesar peluang bahwa kursi-kursi di parlemen diisi oleh partai yang elektabilitasnya diakui oleh masyarakat umum, sehingga kemungkinan elit politik yang masuk dalam parlemen juga merupakan politisi yang memang paham terkait politik dan kepentingan rakyat. Parliamentary threshold ini setidaknya dapat dijadikan acuan dan motivasi bagi partai politik dan politisi atau kader partai untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan yang berdampak pada terciptanya pemerintahan yang baik dan stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H