Mohon tunggu...
Syaira Najlalivia
Syaira Najlalivia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPI Bandung

Saya adalah seseorang yang cenderung nyaman menikmati waktu sendiri atau bersama lingkaran kecil orang-orang terdekat. Sebagai seorang introvert, saya lebih suka suasana yang tenang dan mendalam untuk mengeksplorasi hobi serta minat saya. Hobi nonton film menunjukkan bahwa saya punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap cerita, ide, atau sudut pandang baru. Saya menyukai berbagai genre, mulai dari drama yang penuh emosi, petualangan yang seru, hingga film kuliner yang menggugah selera. Waktu menonton film bagi saya adalah momen relaksasi sekaligus cara untuk belajar hal-hal baru tanpa harus keluar dari zona nyaman. Ketertarikan saya pada konten kuliner menunjukkan apresiasi terhadap seni dan budaya makanan. Saya gemar menonton acara memasak, mencoba resep-resep baru, atau sekadar menikmati tayangan yang menampilkan makanan dengan visual yang menggiurkan. Kuliner bagi saya bukan sekadar makanan, tapi juga cerita di baliknya seperti tradisi, teknik memasak, atau eksplorasi rasa yang beragam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ekstrakulikuler yang Tersisih

26 Januari 2025   06:11 Diperbarui: 26 Januari 2025   06:33 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah SMP di Bandung, ekstrakurikuler olah raga futsal adalah bintang di antara semua kegiatan. Dengan tim futsal sekolah yang sering memenangkan kompetisi dan menyumbang piala demi piala, sorotan selalu terpusat pada mereka. Tidak hanya itu, OSIS juga mendapatkan perhatian besar karena dianggap sebagai representasi siswa yang paling bergengsi. Kegiatan OSIS selalu didanai dengan baik, dengan dukungan penuh dari kepala sekolah dan guru pembina. Namun, di sisi lain, ada satu ekstrakurikuler lain yang keberadaannya nyaris terlupakan: Palang Merah Remaja (PMR).

PMR hanya memiliki tujuh anggota aktif: Kayla, ketua PMR yang berdedikasi tinggi; Arya, wakil ketua yang sering membawa perlengkapan medis dari rumah;  Valla dan Kartika anggota lama dari kelas 8 yang berpengalaman; serta tiga anggota baru dari kelas 7 yaitu Ariq, Felisya, dan Asya. PMR sering diabaikan oleh pihak sekolah. Semua kegiatan mereka, mulai dari pelatihan hingga simulasi, harus dibiayai dari kantong sendiri.

"Kita harus membuktikan bahwa PMR itu penting," ujar Kayla suatu sore, saat mereka sedang membersihkan ruang UKS yang juga menjadi markas mereka.

"Tapi bagaimana? Kepala sekolah bahkan tidak pernah datang ke kegiatan kita," sahut Felisya sambil memeriksa kotak P3K yang mulai kosong.

"Bahkan OSIS selalu punya ruangan sendiri yang besar dan nyaman. Kita cuma dapat ruangan UKS ini," tambah Arya dengan nada kesal.

Rasa diabaikan ini semakin memuncak saat ada lomba PMR tingkat Bandung Raya yang membawa nama sekolah. Tidak ada bantuan atau dukungan dari pihak sekolah, bahkan untuk biaya transportasi dan perlengkapan lomba. Semua biaya harus dikeluarkan oleh anggota sendiri. Hal ini membuat Ariq, yang baru bergabung, merasa ada yang aneh. "Kenapa kita mewakili sekolah, tapi sekolah sama sekali tidak peduli?" tanyanya dengan nada bingung. Kayla hanya bisa tersenyum pahit. "Memang begini dari dulu. Kita seperti tidak dianggap."

Sayangnya, saat lomba berlangsung, mereka mengalami kegagalan total. Salah satu insiden terjadi ketika lomba tandu, di mana tali tandu yang mereka gunakan tiba-tiba putus. Akibatnya, simulasi yang seharusnya menunjukkan kemampuan mereka dalam menangani korban justru berakhir dengan kekacauan. Para juri langsung memberikan nilai rendah, dan PMR SMP mereka tidak berhasil membawa pulang penghargaan apapun. Kegagalan ini semakin mempertegas rasa diabaikan yang mereka rasakan.

Ketika mereka kembali dari lomba, tidak ada sambutan dari pihak sekolah. Bahkan, pengumuman hasil lomba itu tidak pernah dipajang di mading. Sementara itu, OSIS dengan bangga memamerkan kegiatan kecil seperti lomba debat internal yang langsung mendapat pujian dari kepala sekolah. Ariq semakin penasaran, terutama setelah mendengar bisikan dari beberapa kakak kelas bahwa PMR pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu.

"Aku dengar dari kakak kelas kalau sekolah sengaja tidak peduli sama PMR karena ada sesuatu yang disembunyikan," kata Ariq suatu sore setelah latihan.

Ketiga anggota lain menatap Ariq bingung. "Disembunyikan? Maksudmu apa?" tanya Arya.

Ariq menjelaskan bahwa ia mendengar rumor bahwa PMR pernah melakukan kesalahan besar beberapa tahun lalu. Namun, tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Sejak itu, PMR mulai kehilangan perhatian dari pihak sekolah.

Masalah memuncak ketika kepala sekolah mengadakan rapat dengan para guru untuk membahas ekstrakurikuler mana yang akan mendapatkan anggaran tambahan tahun depan. PMR sama sekali tidak disebutkan. Bahkan, salah satu guru usul agar PMR dibubarkan saja dengan alasan sudah tidak relevan. Berita ini sampai ke telinga Kayla dan anggota lainnya. Mereka merasa sangat terpukul.

"Kita harus melakukan sesuatu," kata Kayla dengan tegas. "Kalau tidak, PMR benar-benar akan hilang."

Malam itu, mereka kembali ke sekolah diam-diam untuk menyelidiki ruang arsip di dekat ruang guru. Dengan membawa senter dan keberanian seadanya, mereka memeriksa setiap dokumen yang berkaitan dengan PMR. Awalnya, mereka tidak menemukan apa-apa, hingga Valla menemukan sebuah folder dengan label "PMR 5 Tahun Lalu".

Folder itu berisi laporan tentang sebuah insiden yang melibatkan PMR. Laporan itu menyebutkan bahwa saat simulasi tanggap bencana, salah satu anggota PMR salah memberikan penanganan medis, yang menyebabkan seorang siswa cedera parah. Insiden ini memicu kemarahan orang tua siswa dan membuat pihak sekolah harus menghadapi tuntutan. Akhirnya, pihak sekolah memutuskan untuk mengurangi peran PMR dan mengalihkan perhatian ke ekstrakurikuler lain.

"Jadi ini alasannya?" gumam Felisya. "Mereka takut kejadian ini terulang."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan arsip. Mereka semua terdiam. Arya mematikan senter, dan mereka menahan napas. Suara itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di depan pintu. Setelah beberapa detik hening, pintu arsip terbuka perlahan, dan mereka melihat seorang pria tua berdiri di sana.

"Kalian ngapain di sini?" tanyanya dengan suara berat. Pria itu ternyata Pak Burhan, penjaga sekolah.

Setelah menjelaskan alasan mereka berada di situ, Pak Burhan akhirnya mengungkapkan cerita yang sebenarnya. "PMR dulu adalah kebanggaan sekolah ini. Tapi setelah insiden itu, semua berubah. Kepala sekolah saat itu memutuskan untuk tidak membubarkan PMR, tapi juga tidak memberikan dukungan. Semua demi menjaga nama baik sekolah."

Namun, Kayla tidak menyerah. Ia melihat ini sebagai peluang untuk mengembalikan nama baik PMR. "Kesalahan di masa lalu tidak bisa diubah, tapi kita bisa membuktikan bahwa PMR telah belajar dan menjadi lebih baik," katanya.

Dengan dukungan teman-temannya, Kayla menulis artikel tentang pentingnya peran PMR dalam kesiapsiagaan bencana dan bagaimana mereka ingin memperbaiki citra mereka. Artikel itu juga mengajak siswa lain untuk memberikan kesempatan kedua bagi PMR.

Keesokan harinya, artikel itu diterbitkan di mading sekolah. Tidak disangka, banyak siswa dan guru yang mulai memberikan perhatian lebih pada PMR. Bahkan, kepala sekolah yang baru akhirnya menyediakan dana untuk memperbaiki peralatan mereka dan berjanji untuk mendukung kegiatan mereka ke depannya.

Namun, perjalanan tidak berhenti di situ. Kepala sekolah memutuskan untuk memberikan PMR satu kesempatan terakhir: mereka harus menyelenggarakan simulasi tanggap bencana yang melibatkan seluruh siswa. Jika simulasi itu berhasil, PMR akan mendapatkan anggaran penuh dan dukungan dari sekolah.

Dengan kerja keras dan bimbingan dari beberapa alumni PMR yang diundang khusus, Kayla dan timnya mempersiapkan simulasi tersebut dengan sangat matang. Hari pelaksanaan tiba, dan simulasi berjalan lancar. Semua siswa terlibat aktif, dan bahkan kepala sekolah yang awalnya skeptis mengakui pentingnya keberadaan PMR.

Setelah berhasil melaksanakan simulasi tanggap bencana yang sukses, PMR semakin mendapatkan perhatian dari seluruh sekolah. Tak lama setelah itu, sebuah kesempatan besar muncul. OSIS mengadakan kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS (LDKO), yang merupakan acara tahunan bagi anggota OSIS baru. Kegiatan ini melibatkan berbagai aktivitas fisik dan mental yang membutuhkan pengawasan ketat terhadap keselamatan peserta.

Pada hari pertama LDKO, suasana semula berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sebuah insiden terjadi. Saat kegiatan di luar ruangan berlangsung, sebuah kejadian tak terduga membuat ketegangan di seluruh peserta. Salah seorang peserta, Dina, tiba-tiba pingsan di tengah kegiatan. Sebelumnya, Dina terlihat sangat gelisah dan terkejut, bahkan ada yang mengatakan bahwa ia sempat melihat sesuatu yang aneh di antara pepohonan.

Beberapa peserta lain mulai merasakan aura yang tidak biasa di sekitar lokasi kegiatan. Ada yang mendengar suara langkah kaki yang berat meski tidak ada seorang pun di sekitar, sementara yang lain merasa seperti ada yang mengawasi mereka. Ketegangan semakin meningkat saat beberapa orang melaporkan melihat sosok samar di antara bayang-bayang pohon. Beberapa peserta mulai panik, dan suasana menjadi kacau.

Mendengar teriakan dan kegaduhan, Kayla dan anggota PMR yang dilibatkan pada acara tersebut segera bergerak cepat. Kayla yang tahu harus tetap tenang, langsung memimpin teman-temannya untuk menenangkan peserta dan memastikan keselamatan mereka. Arya yang membawa perlengkapan medis segera menghampiri Dina yang masih terkulai tak sadarkan diri.

Kayla yang sudah terbiasa menghadapi situasi darurat tetap fokus untuk merawat Dina yang kini mulai sadar kembali. Dengan bantuan tim PMR, mereka segera membawa Dina ke ruang UKS dan memberinya perawatan lebih lanjut. Setelah beberapa saat, Dina mulai pulih, meskipun masih terlihat shock akibat pengalaman aneh yang baru saja dialaminya.

Namun, kejadian itu tidak hanya membuat Dina terkejut. Seluruh peserta LDKO mulai merasa cemas dan beberapa bahkan ingin pulang

Pada malam hari teror semakin menjadi-jadi, setelah sesi latihan fisik yang cukup intens, suasana LDKO mulai berubah menjadi lebih tegang. Beberapa peserta merasa tidak enak badan, mengeluh pusing, mual, bahkan ada yang tiba-tiba pingsan. Kayla dan anggota PMR yang masih terlibat dalam acara tersebut segera bergerak cepat untuk memberikan pertolongan pertama.

Namun, ketegangan semakin meningkat ketika salah seorang peserta, Mira, mulai menunjukkan perilaku yang sangat aneh. Mira, yang biasanya ceria dan enerjik, kini terlihat sangat pucat dan gerak-geriknya lambat. Beberapa peserta mulai merasa bahwa ada yang tidak beres, dan mereka mendekati Mira dengan rasa cemas.

"Ini bukan Mira," bisik salah seorang peserta kepada temannya, terlihat ketakutan.

Mira tampak seperti orang yang tidak mengenali dirinya sendiri. Wajahnya kosong, dan ia tidak memberikan respon apa pun, meskipun di sekitarnya ada banyak orang yang mencoba mengajaknya berbicara. Semakin lama, keadaan semakin membingungkan, dan peserta lainnya mulai merasa cemas.

Kayla  segera mendekat dan memeriksa kondisi Mira merasakan ada yang sangat tidak biasa. Mira tampak seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Mengingat pentingnya ketenangan dalam situasi seperti ini, Kayla segera memberi instruksi agar Mira dibawa ke ruang UKS untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Asya dan Felisya yang merasa perlu mencari penjelasan lebih lanjut mulai menyelidiki kejadian ini. Mereka bertanya kepada beberapa peserta yang melaporkan pengalaman aneh tersebut dan mendengar cerita tentang kehadiran sosok yang tak terlihat. Ada yang mengaku melihat bayangan samar di antara pepohonan, sementara yang lain merasakan aura yang sangat mencekam di sekitar tempat kegiatan.

Kayla berkeyakinan bahwa ketegangan yang dirasakan oleh peserta bisa jadi lebih disebabkan oleh ketakutan kolektif dan suasana yang mencekam, meskipun ia tak menyangkal bahwa banyak yang merasakan hal aneh di sana. Meskipun penjelasan ini sedikit meredakan kecemasan, beberapa peserta masih merasa ketakutan.

Kayla dan tim PMR tetap tenang dan memastikan bahwa peserta yang merasa tidak enak badan mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Mereka mengatur peserta agar tetap dalam keadaan aman dan mencoba menenangkan mereka yang mulai panik akibat ketegangan yang melanda.

Salah satu Guru pembina yang menyaksikan kejadian tersebut segera turun tangan untuk menenangkan semua pihak. Dia juga menyadari bahwa kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan PMR di sekolah, baik untuk menangani situasi medis maupun untuk mengatur ketenangan dalam situasi yang tidak terduga dan ketidakpastian.

Setelah kejadian itu, kepala sekolah memberikan dukungan penuh kepada PMR dan mengakui pentingnya peran mereka. Kepala sekolah pun memberikan dukungan penuh kepada PMR, baik dalam hal anggaran maupun fasilitas yang lebih baik.. Mereka mulai mendapatkan perhatian lebih dari sekolah.

Dengan keberanian dan ketangguhan mereka, PMR akhirnya mendapatkan pengakuan yang layak. Kayla dan tim belajar bahwa meskipun banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, keberanian dan kesiapsiagaan mereka dalam menghadapi situasi darurat baik medis maupun psikologis adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh sekolah.

PMR yang sebelumnya tersisih perlahan mulai mendapatkan tempat di hati siswa-siswa lain. Kayla, dan tim PMR belajar bahwa meski ada kesalahan di masa lalu, keberanian untuk memperbaiki diri adalah langkah pertama untuk membawa perubahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun