PENDAHULUAN Â Â Â Â Â
Sistem demokrasi perwakilan mengkaji relasi antara anggota dewan dan konstituen. Logika representasi merupakan konsep sentral dalam demokrasi perwakilan dan ikatan yang kuat dalam tata kelola pemerintahan berada pada sistem demokrasi perwakilan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.Â
Menurut Abdur Razaki, dkk (dalam Haboddin, 2016) inti dari demokrasi perwakilan terletak dari pola relasi antara konstituen dengan politisi dari anggota parlemen. Kontituen merupakan pemegang mandat, sedangkan anggota dewan dalam bagian legislatif terpilih sebagai wakil yang melaksanakan instruksi tersebut. Anggota merupakan refleksi dari fungsi badan usaha membuat undang-undang dinamakan assembly dimaknai sebutan berkumpul mengkaji permasalahan masyarakat.Â
Selain assembly, terdapat nama parliament mengandung unsur 'bicara' sebagai simbol suatu rakyat yang berdaulat. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat; rakyat yang ber- daulat ini mempunyai suatu "kehendak" (yang oleh Rousseau disebut Volonte Generale atau General Will). Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentic dari general will itu. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat.
Pola relasi antara konstituen dengan anggota dewan secara konseptual ditinjau secara kritis, relasi tersebut tidak selalu dalam kondisi baik, tetapi terkadang mengalami ketegangan disebabkan tingkah laku anggota dewan tidak sesuai aspirasi konstituennya, seperti laporan dari Asosiasi Parlemen Indonesia (dalam Haboddin, 2016) menjelaskan fenomena yang ditinjau berupa tuntutan masyarakat ke anggota dewan, meskipun pemilu dianggap fair dan menciptakan institusi pemerintahan terlegitimasi.Â
Studi terkini mengkaji relasi anggota dewan dengan kontituen semakin menuju pemahaman yang baru sebab terdapat tiga pola relasi, seperti reprensentasi simbolik dimaknai sebagai persamaan agama, budaya, identitas, dan kerabatan yang mencakup kepada representasi parokial. Selain itu, terdapat representasi deskriptif dari pihak anggota parlemen memiliki persamaan jenis kelamin, daerah, profesi, dan komunitas. Representasi substantif berkaitan dengan ideologi, perspektif, maupun organisasi.
Dengan demikian, berbagai argumentasi menyuarakan kehadiran politisi anggota dewan dengan intensitas yang beragam, sedangkan antusiasme rakyat menantikan hasil kinerja anggota dewan dalam penyelesaian permasalahan kenegaraan, maka kinerja anggota dewan membutuhkan dukungan para ahli yang handal dalam suatu bidang, sehingga ekspektasi masyarakat terpenuhi.
PERMASALAHAN
Fungsi komunikator partai politik mengalami perspektif berbeda, seperti partai politik demokratis berimplikasi kepada peran warga negara memperjuangkan kepentingan negara, sedangkan partai di negara otoriter memperjuangkan kehendak penguasa (Budiardjo, 2007). Pola relasi antara konstituen dan anggota dewan mengalami permasalahan konteks seleksi internal awal. Pemilihan umum tidak didasari pengenalan karakter maupun rekam jejak kandidat secara mendalam.Â
Para kandidat hanya melakukan pendekatan kepada partai. Hal ini disebabkan calon pihak legislatif didominasi tokoh karbitan atau partonase kepada petinggi partai politik, seperti kursi jabatan hanya milik partai politik untuk mendapatkan kekuasaan. Defisit demokrasi dari terpilihnya anggota dewan memiliki keterkaitan sistematis antar hubungan konstituen yang hanya dibutuhkan ketika proses pemilihan umum. Kualitas demokrasi hanya dimaknai sebagai proses pemilihan anggota dewan yang tidak berkaitan dengan kebijakan publik sebab fokus perhatian hanya memenuhi kepentingan pribadi tanpa memperjuangkan kepentingan masyarakat.
FOKUS PENELITIAN
Mekanisme demokrasi pada suatu negara adalah pemilihan umum yang tercantum pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (dalam January, 2017) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka partisipasi politik yang diikuti warga negara mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penentuan pemimpin negara pada pemilihan umum, pembayaran pajak, pengajuan tuntutan, dan kritik kebijakan umum. Pemilihan umum menurut Surbakti (dalam January, 2017) merupakan sarana kesempatan masyarakat dalam menentukan perwakilan pemimpin melalui mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat yang diwakili pihak wakil sebagai representative democracy.
Ilmuwan politik berkebangsaan Amerika, Giovanni Sartori mengkaji pola hubungan antara anggota dewan dengan kontituen, yaitu rakyat bebas memilih perwakilan berdasarkan penentuan kesepakatan yang dikaji menjadi landasan pemilihan secara formal. Tanggung jawab anggota dewan melalui realisasi program yang harus diperbaiki, apabila ditinjau dari sisi filosofis, rakyat memiliki perasaan yang sama seperti pemerintah. Para pejabat memiliki kepekaan tersendiri perihal permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat agar mampu diwujudkan secara konkret. Oleh sebab itu, anggota dewan merupakan cerminan peraturan dari sistem pemerintahan, maka rakyat harus memberikan dukungan sesuai keputusan politik yang relevan. Lembaga politik di Indonesia ialah DPR atau DPRD yang dipilih oleh rakyat. Lembaga tersebut merealisasikan demokrasi di Indonesia, sehingga kedaulatan berada di rakyat sebagai perwakilan yang sejajar dengan pemerintah eksekutif.
PEMBAHASAN & ANALISIS
Pola implementasi fungsi perwakilan politik anggota dewa dan konstituen berdasarkan konsep representasi yang demokratis sebagai wali (trustee) diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilu untuk membuat kebijakan yang bersifat independen sesuai pertimbangan tanpa konsultasi kepada konstituen. Anggota dewan sebagai utusan (delegate) mengikuti perintah maupun petunjuk pelaksanaan tugas dari pihak yang diwakilinya. Pendapat tersebut dipertegas Saragih (dalam Haboddin, 2016), bahwasannya anggota legislatif bertindak sebagai politico melalui tindakan yang sesuai isu. Oleh sebab itu, legitimasi tersemat kepada pihak anggota dewan yang tetap bertindak sebagai utusan maupun wali.Â
Ilmuwan berkebangsaan Belanda, Hoogerweert (dalam Haboddin, 2016) mengkaji lima pola relasi antara anggota dewan dengan pihak yang diwakili. Kajian pada tipe utusan adalah pihak wakil bertindak sesuai perintah pihak yang diwakilinya, tipe wali mendapatkan kuasa penuh membuat kebijakan dari pihak yang diwakilinya, tipe politics merupakan kombinasi keduanya antara utusan dan wali sesuai situasi, tipe kesatuan secara keselutuhan mencakup perwakilan dari anggota lembaga tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikannya sebagai wakil seluruh rakyat, tipe penggolongan merupakan anggota parleman yang ditinjau dari wakil kelompok teritorial, sosial, maupun politik.
Pola relasi antara anggota dewan dan konstituen memiliki kesesuaian berupa utusan, wali, dan politico, sedangkan pembedanya berada pada tipe penggolongan dan kesatuan. Tipe tersebut merupakan pola penambahan relasi antara anggota dewan dengan kontituen, apabila ditinjau secara mendalam, analisis Hoogerweert lebih menyesuaikan kondisi zaman dalam sistem demokrasi parlemen. Pola interkasi anggota dewan dengan konstituen membutuhkan kemampuan apabila diimplementasikan sesuai pola interaksi kepekaan politik yang memberikan compassion terhadap permasalahan agar kualitas berfungsi optimal didukung dengan kemampuan teknis yang dimaknai sebagai kesadaran etika, etos, serta tanggung jawab hak dan kewajiban dari anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Interaksi komunikasi antara anggota dewan dan konstituen sangat erat dengan kebijakan sistem pemilihan suatu negara, seperti sistem proporsional yang menghasilkan cerminan wakil suatu kelompok masyarakat, sedangkan sistem distrik hanya berada di ranah personal antara wakil dengan konstituen. Fungsi komunikasi politik berasal dari media massa sebagai sarana pelaku komunikasi politik menentukan proses politik bukan suatu pencitraan, melainkan kondisi sesuai realita dan tidak menimbulkan permasalahan persepsi ketika memaknai pesan komunikasi politik melalui media massa.Â
Media massa pada fungsi komunikasi politik mampu menyebarluaskan berita secara cepat, meskipun media bukan faktor utama proses diksusi bertukar pikiran. Pelaku politik dalam konteks komunikasi disesuaikan dengan ekspose media terhadap simbol yang menjadi perspektif, sehingga salah tafsir dalam memaahami komunikasi sering terjadi, sedangkan pemerintah membuat sarana memobilisasi kokohnya sistem pemerintahan, seperti pembentukan NASAKOM tahun 1960 sebagai Front Nasional. Partai PKI menghasilkan kenangan indah dari kelompok yang diberikan kesempatan berpatisipasi menuju keputusan fungsional maupun ABRI sebab kehadiran dalam Front Nasional berdasarkan NASAKOM dan PKI telah memengaruhi semua aspek kehidupan politik.
Implementasi masa reses antara anggota dewan dan konstituen didasari secara kelembagaan. Para wakil berkunjung secara rutin ke daerah pada masa reses dan hari kerja. Program tersebut dinamakan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) diharapkan wakil rakyat mempu memahami aspirasi masyarakat di wilayah pilihannya. Hal ini sesuai dengan pembangunan relasi yang melibatkan pihak terwakil. Pemerintah berharap sistem tersebut mampu mengidentifikasi pihak yang mewakili dan daerah perwakilan. Menurut Karim (dalam Haboddin, 2016) anggota dewan mencakup individu yang memiliki ambisi politik, daya pikir kritis, dan memiliki mata hati rakyat. Anggota dewan memiliki kewajiban merepresentasikan aspirasi masyarakat daerah pemilihan, sehingga pihak konstituen mengetahui latar belakang anggota parlemen berdasarkan tradisi, agama, bahasa, dan mata pencaharian. Hal ini diawali dari peran anggota parlemen memilih pewakilan dari beberapa kelompok sebagai tolak ukur kebijakan penyesuaian aspirasi untuk mempermudah akses penyusunan tugas, sehingga keuntungan suara mendukung partai sekaligus wilayahnya.
Berdasar literatur penelitian, Dewan Perwakilan Rakyat tidak menerapkan model komunikasi politik teoretis. Hal ini disebabkan komunikasi politik yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat didominasi oleh pemimpin, sehingga suasana komunikasi mengandung intrik, interaksional, transaksional, dan menimbulkan persepsi keliru (Arrianie, 2010). Perkembangan terkini dari komunikasi politik lebih mengarah kepada tukar pikiran, tujuan, simbol, gagasan, urgensi. Oleh sebab itu, Dan Nimmo (dalam Arrianie, 2010). menyatakan komunikasi politik mencakup unsur komunikator, pesan, media, dan akibat dari adanya komunikasi politik.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian tersebut, sistem demokrasi perwakilan mengkaji relasi antara anggota dewan dan konstituen. Logika representasi merupakan konsep sentral dalam demokrasi perwakilan dan ikatan yang kuat dalam tata kelola pemerintahan berada pada sistem demokrasi perwakilan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Menurut Abdur Razaki, dkk (dalam Haboddin, 2016) inti dari demokrasi perwakilan terletak dari pola relasi antara konstituen dengan politisi dari anggota parlemen. Mekanisme demokrasi pada suatu negara adalah pemilihan umum yang tercantum pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (dalam January, 2017) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka partisipasi politik yang diikuti warga negara mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penentuan pemimpin negara pada pemilihan umum, pembayaran pajak, pengajuan tuntutan, dan kritik kebijakan umum.
Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah konsep wakil dan terwakil. Berdasarkan opini dari Heinz (dalam Haboddin, 2016), konsep wakil sebagai pewakilan warga negara dalam batasan menyeluruh, sedangkan secara operasional konsep tersebut sangat sulit diterapkan sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat, maka tindakan yang efektif melalui metode pemusatan perhatian untuk menyeimbangkan keterwakilan hubungan operasional daerah.
Problematika relasi antara anggota dewan dan konstituen membutuhkan kedekatan secara personal sesuai sistem pemerintahan demokrasi pada kajian perwakilan politik. Pola implementasi fungsi perwakilan politik anggota dewa dan konstituen berdasarkan konsep representasi yang demokratis sebagai wali (trustee) diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilu untuk membuat kebijakan yang bersifat independen sesuai pertimbangan tanpa konsultasi kepada konstituen. Anggota dewan sebagai utusan (delegate) mengikuti perintah maupun petunjuk pelaksanaan tugas dari pihak yang diwakilinya. Pendapat tersebut dipertegas Saragih (dalam Haboddin, 2016), bahwasannya anggota legislatif bertindak sebagai politico melalui tindakan yang sesuai isu. Oleh sebab itu, legitimasi tersemat kepada pihak anggota dewan yang tetap bertindak sebagai utusan maupun wali.
Anggota dewan berjuang untuk kepentingan politik konstituen menggunakan fungsi partai politik yang didukung secara kelembagaan untuk meninjau isi dari topik komunikasi. Sistem yang berkaitan dengan pemilih dan wakil untuk menciptakan stabilitas perpolitikan suatu negara, maka harapan untuk anggota dewan mampu mempertanggungjawabkan kebijakan kepada rakyat. Pola relasi anggota dewan dan masyarakat membutuhkan sistem pemilu distrik dan proporsional. Pemilu distrik hanya dipilih dari satu perwakilan yang menghasilkan wakil rakyat, sedangkan sistem proporsional menghasilkan wakil partai.
Pola interkasi anggota dewan dengan konstituen membutuhkan kemampuan apabila diimplementasikan sesuai pola interaksi kepekaan politik yang memberikan compassion terhadap permasalahan agar kualitas berfungsi optimal didukung kemampuan teknis yang dimaknai antara hak kewajiban dari anggota dewan sebagai wakil rakyat.  Interaksi komunikasi antara anggota dewan dan konstituen sangat erat dengan kebijakan sistem pemilihan suatu negara. Implementasi masa reses antara anggota dewan dan konstituen didasari secara kelembagaan. Program tersebut dinamakan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) diharapkan wakil rakyat mempu memahami aspirasi masyarakat wilayah pilihannya.
Masyarakat berpartisipasi pada proses seleksi calon anggota dewan sesuai perwakilan daerah yang bersifat terbuka diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan struktur internal masyarakat majemuk mendominasi tuntutan anggota dewan agar merefleksikan eksistensi masyarakat. Oleh sebab itu, pergantian sistem pemilihan merupakan kerangka solusi secara personal antara anggota dewan dan konstituennya. Konstituen sebagai principal dalam pengawasan, pemberian rewards apabila bekerja dengan maksimal dan punishment. Mekanisme kelembagaan tidak membawa dampak perubahan untuk khalayak secara umum. Kondisi tersebut ditinjau secara realitas terhadap tingkat kepercayaan masyarakat anggota dewan. Anggota dewan dipilih berdasarkan daerah pemilihan untuk berinteraksi secara konstituen. Permasalahan akuntabilitas menjadi titik fokus permasalahan yang perlu dikaji. Bahkan, informasi tidak selalu disampaikan sesuai realitas pemilih. Â
Dengan demikian, hubungan anggota dewan dan konstituen sebagai principal lebih melembaga dan peran konstituen terhadap kegiatan tersebut mewujudkan kepentingan masyarakat, sehingga pihak anggota dewan mampu menyelesaikan permasalahan daerah pilihan sesuai kebijakan terhadap isu daerah pemilihannya, diharapkan terdapat data informasi yang jelas terhadap kinerja wakil sebab informasi dari berbagai sumber memiliki kepentingan tersendiri dalam hak pilih untuk menghindari keterkaitan dogmatis, ideologis, dan sikap patriotisme yang kuat.
REFERENSI
Arrianie, Lely. 2010. "Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004". Disertasi: Universitas Bengkulu, 3 (5): 1-35.
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Haboddin, Muhtar. 2016. "Relasi Parlemen dengan Konstituen". Jurnal Transformative: Universitas Brawijaya, 2 (1): 18-27.
January, Al Ichsan. 2017. "Relasi Wakil dan Terwakil". Skripsi, Universitas Hasanuddin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H