Mekanisme demokrasi pada suatu negara adalah pemilihan umum yang tercantum pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (dalam January, 2017) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka partisipasi politik yang diikuti warga negara mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penentuan pemimpin negara pada pemilihan umum, pembayaran pajak, pengajuan tuntutan, dan kritik kebijakan umum. Pemilihan umum menurut Surbakti (dalam January, 2017) merupakan sarana kesempatan masyarakat dalam menentukan perwakilan pemimpin melalui mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat yang diwakili pihak wakil sebagai representative democracy.
Ilmuwan politik berkebangsaan Amerika, Giovanni Sartori mengkaji pola hubungan antara anggota dewan dengan kontituen, yaitu rakyat bebas memilih perwakilan berdasarkan penentuan kesepakatan yang dikaji menjadi landasan pemilihan secara formal. Tanggung jawab anggota dewan melalui realisasi program yang harus diperbaiki, apabila ditinjau dari sisi filosofis, rakyat memiliki perasaan yang sama seperti pemerintah. Para pejabat memiliki kepekaan tersendiri perihal permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat agar mampu diwujudkan secara konkret. Oleh sebab itu, anggota dewan merupakan cerminan peraturan dari sistem pemerintahan, maka rakyat harus memberikan dukungan sesuai keputusan politik yang relevan. Lembaga politik di Indonesia ialah DPR atau DPRD yang dipilih oleh rakyat. Lembaga tersebut merealisasikan demokrasi di Indonesia, sehingga kedaulatan berada di rakyat sebagai perwakilan yang sejajar dengan pemerintah eksekutif.
PEMBAHASAN & ANALISIS
Pola implementasi fungsi perwakilan politik anggota dewa dan konstituen berdasarkan konsep representasi yang demokratis sebagai wali (trustee) diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilu untuk membuat kebijakan yang bersifat independen sesuai pertimbangan tanpa konsultasi kepada konstituen. Anggota dewan sebagai utusan (delegate) mengikuti perintah maupun petunjuk pelaksanaan tugas dari pihak yang diwakilinya. Pendapat tersebut dipertegas Saragih (dalam Haboddin, 2016), bahwasannya anggota legislatif bertindak sebagai politico melalui tindakan yang sesuai isu. Oleh sebab itu, legitimasi tersemat kepada pihak anggota dewan yang tetap bertindak sebagai utusan maupun wali.Â
Ilmuwan berkebangsaan Belanda, Hoogerweert (dalam Haboddin, 2016) mengkaji lima pola relasi antara anggota dewan dengan pihak yang diwakili. Kajian pada tipe utusan adalah pihak wakil bertindak sesuai perintah pihak yang diwakilinya, tipe wali mendapatkan kuasa penuh membuat kebijakan dari pihak yang diwakilinya, tipe politics merupakan kombinasi keduanya antara utusan dan wali sesuai situasi, tipe kesatuan secara keselutuhan mencakup perwakilan dari anggota lembaga tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikannya sebagai wakil seluruh rakyat, tipe penggolongan merupakan anggota parleman yang ditinjau dari wakil kelompok teritorial, sosial, maupun politik.
Pola relasi antara anggota dewan dan konstituen memiliki kesesuaian berupa utusan, wali, dan politico, sedangkan pembedanya berada pada tipe penggolongan dan kesatuan. Tipe tersebut merupakan pola penambahan relasi antara anggota dewan dengan kontituen, apabila ditinjau secara mendalam, analisis Hoogerweert lebih menyesuaikan kondisi zaman dalam sistem demokrasi parlemen. Pola interkasi anggota dewan dengan konstituen membutuhkan kemampuan apabila diimplementasikan sesuai pola interaksi kepekaan politik yang memberikan compassion terhadap permasalahan agar kualitas berfungsi optimal didukung dengan kemampuan teknis yang dimaknai sebagai kesadaran etika, etos, serta tanggung jawab hak dan kewajiban dari anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Interaksi komunikasi antara anggota dewan dan konstituen sangat erat dengan kebijakan sistem pemilihan suatu negara, seperti sistem proporsional yang menghasilkan cerminan wakil suatu kelompok masyarakat, sedangkan sistem distrik hanya berada di ranah personal antara wakil dengan konstituen. Fungsi komunikasi politik berasal dari media massa sebagai sarana pelaku komunikasi politik menentukan proses politik bukan suatu pencitraan, melainkan kondisi sesuai realita dan tidak menimbulkan permasalahan persepsi ketika memaknai pesan komunikasi politik melalui media massa.Â
Media massa pada fungsi komunikasi politik mampu menyebarluaskan berita secara cepat, meskipun media bukan faktor utama proses diksusi bertukar pikiran. Pelaku politik dalam konteks komunikasi disesuaikan dengan ekspose media terhadap simbol yang menjadi perspektif, sehingga salah tafsir dalam memaahami komunikasi sering terjadi, sedangkan pemerintah membuat sarana memobilisasi kokohnya sistem pemerintahan, seperti pembentukan NASAKOM tahun 1960 sebagai Front Nasional. Partai PKI menghasilkan kenangan indah dari kelompok yang diberikan kesempatan berpatisipasi menuju keputusan fungsional maupun ABRI sebab kehadiran dalam Front Nasional berdasarkan NASAKOM dan PKI telah memengaruhi semua aspek kehidupan politik.
Implementasi masa reses antara anggota dewan dan konstituen didasari secara kelembagaan. Para wakil berkunjung secara rutin ke daerah pada masa reses dan hari kerja. Program tersebut dinamakan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) diharapkan wakil rakyat mempu memahami aspirasi masyarakat di wilayah pilihannya. Hal ini sesuai dengan pembangunan relasi yang melibatkan pihak terwakil. Pemerintah berharap sistem tersebut mampu mengidentifikasi pihak yang mewakili dan daerah perwakilan. Menurut Karim (dalam Haboddin, 2016) anggota dewan mencakup individu yang memiliki ambisi politik, daya pikir kritis, dan memiliki mata hati rakyat. Anggota dewan memiliki kewajiban merepresentasikan aspirasi masyarakat daerah pemilihan, sehingga pihak konstituen mengetahui latar belakang anggota parlemen berdasarkan tradisi, agama, bahasa, dan mata pencaharian. Hal ini diawali dari peran anggota parlemen memilih pewakilan dari beberapa kelompok sebagai tolak ukur kebijakan penyesuaian aspirasi untuk mempermudah akses penyusunan tugas, sehingga keuntungan suara mendukung partai sekaligus wilayahnya.
Berdasar literatur penelitian, Dewan Perwakilan Rakyat tidak menerapkan model komunikasi politik teoretis. Hal ini disebabkan komunikasi politik yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat didominasi oleh pemimpin, sehingga suasana komunikasi mengandung intrik, interaksional, transaksional, dan menimbulkan persepsi keliru (Arrianie, 2010). Perkembangan terkini dari komunikasi politik lebih mengarah kepada tukar pikiran, tujuan, simbol, gagasan, urgensi. Oleh sebab itu, Dan Nimmo (dalam Arrianie, 2010). menyatakan komunikasi politik mencakup unsur komunikator, pesan, media, dan akibat dari adanya komunikasi politik.
PENUTUP