Berdasarkan penelitian tersebut, sistem demokrasi perwakilan mengkaji relasi antara anggota dewan dan konstituen. Logika representasi merupakan konsep sentral dalam demokrasi perwakilan dan ikatan yang kuat dalam tata kelola pemerintahan berada pada sistem demokrasi perwakilan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Menurut Abdur Razaki, dkk (dalam Haboddin, 2016) inti dari demokrasi perwakilan terletak dari pola relasi antara konstituen dengan politisi dari anggota parlemen. Mekanisme demokrasi pada suatu negara adalah pemilihan umum yang tercantum pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 (dalam January, 2017) menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka partisipasi politik yang diikuti warga negara mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penentuan pemimpin negara pada pemilihan umum, pembayaran pajak, pengajuan tuntutan, dan kritik kebijakan umum.
Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah konsep wakil dan terwakil. Berdasarkan opini dari Heinz (dalam Haboddin, 2016), konsep wakil sebagai pewakilan warga negara dalam batasan menyeluruh, sedangkan secara operasional konsep tersebut sangat sulit diterapkan sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat, maka tindakan yang efektif melalui metode pemusatan perhatian untuk menyeimbangkan keterwakilan hubungan operasional daerah.
Problematika relasi antara anggota dewan dan konstituen membutuhkan kedekatan secara personal sesuai sistem pemerintahan demokrasi pada kajian perwakilan politik. Pola implementasi fungsi perwakilan politik anggota dewa dan konstituen berdasarkan konsep representasi yang demokratis sebagai wali (trustee) diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilu untuk membuat kebijakan yang bersifat independen sesuai pertimbangan tanpa konsultasi kepada konstituen. Anggota dewan sebagai utusan (delegate) mengikuti perintah maupun petunjuk pelaksanaan tugas dari pihak yang diwakilinya. Pendapat tersebut dipertegas Saragih (dalam Haboddin, 2016), bahwasannya anggota legislatif bertindak sebagai politico melalui tindakan yang sesuai isu. Oleh sebab itu, legitimasi tersemat kepada pihak anggota dewan yang tetap bertindak sebagai utusan maupun wali.
Anggota dewan berjuang untuk kepentingan politik konstituen menggunakan fungsi partai politik yang didukung secara kelembagaan untuk meninjau isi dari topik komunikasi. Sistem yang berkaitan dengan pemilih dan wakil untuk menciptakan stabilitas perpolitikan suatu negara, maka harapan untuk anggota dewan mampu mempertanggungjawabkan kebijakan kepada rakyat. Pola relasi anggota dewan dan masyarakat membutuhkan sistem pemilu distrik dan proporsional. Pemilu distrik hanya dipilih dari satu perwakilan yang menghasilkan wakil rakyat, sedangkan sistem proporsional menghasilkan wakil partai.
Pola interkasi anggota dewan dengan konstituen membutuhkan kemampuan apabila diimplementasikan sesuai pola interaksi kepekaan politik yang memberikan compassion terhadap permasalahan agar kualitas berfungsi optimal didukung kemampuan teknis yang dimaknai antara hak kewajiban dari anggota dewan sebagai wakil rakyat.  Interaksi komunikasi antara anggota dewan dan konstituen sangat erat dengan kebijakan sistem pemilihan suatu negara. Implementasi masa reses antara anggota dewan dan konstituen didasari secara kelembagaan. Program tersebut dinamakan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) diharapkan wakil rakyat mempu memahami aspirasi masyarakat wilayah pilihannya.
Masyarakat berpartisipasi pada proses seleksi calon anggota dewan sesuai perwakilan daerah yang bersifat terbuka diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan struktur internal masyarakat majemuk mendominasi tuntutan anggota dewan agar merefleksikan eksistensi masyarakat. Oleh sebab itu, pergantian sistem pemilihan merupakan kerangka solusi secara personal antara anggota dewan dan konstituennya. Konstituen sebagai principal dalam pengawasan, pemberian rewards apabila bekerja dengan maksimal dan punishment. Mekanisme kelembagaan tidak membawa dampak perubahan untuk khalayak secara umum. Kondisi tersebut ditinjau secara realitas terhadap tingkat kepercayaan masyarakat anggota dewan. Anggota dewan dipilih berdasarkan daerah pemilihan untuk berinteraksi secara konstituen. Permasalahan akuntabilitas menjadi titik fokus permasalahan yang perlu dikaji. Bahkan, informasi tidak selalu disampaikan sesuai realitas pemilih. Â
Dengan demikian, hubungan anggota dewan dan konstituen sebagai principal lebih melembaga dan peran konstituen terhadap kegiatan tersebut mewujudkan kepentingan masyarakat, sehingga pihak anggota dewan mampu menyelesaikan permasalahan daerah pilihan sesuai kebijakan terhadap isu daerah pemilihannya, diharapkan terdapat data informasi yang jelas terhadap kinerja wakil sebab informasi dari berbagai sumber memiliki kepentingan tersendiri dalam hak pilih untuk menghindari keterkaitan dogmatis, ideologis, dan sikap patriotisme yang kuat.
REFERENSI
Arrianie, Lely. 2010. "Panggung Politik dan Komunikasi Politik DPR RI Periode 1999-2004". Disertasi: Universitas Bengkulu, 3 (5): 1-35.
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Haboddin, Muhtar. 2016. "Relasi Parlemen dengan Konstituen". Jurnal Transformative: Universitas Brawijaya, 2 (1): 18-27.