Mohon tunggu...
Syaiful Rahman
Syaiful Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saya suka membaca dan menulis. Namun, lebih suka rebahan sambil gabut dengan handphone.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbok Hamidah

18 Oktober 2022   09:49 Diperbarui: 18 Oktober 2022   09:56 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepergian suaminya, Pak Tarno, benar-benar menjadi pukulan berat bagi batin Mbok Hamidah. Puluhan tahun mereka hidup berdua. Susah senang sudah menjadi cerita bersama. Mbok Hamidah tidak memiliki anak.

Karena itu, sewaktu menjalani rumah tangga bersama suaminya tercinta, ia tidak terlalu memikirkan soal harta. Bagi mereka berdua, hidup adalah perjalanan. Tak perlu ada yang dirisaukan. Toh, kehidupan dunia amat sebentar.

"Kita harus memerdekakan diri dari perbudakan harta. Kita nikmati saja manisnya cinta dan indahnya kemesraan," ujar Pak Tarno satu tahun sebelum meninggal.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka memulung barang-barang bekas. Dengan penghasilan tiga sampai lima ribu setiap hari, bagi mereka sudah cukup untuk hidup. Mereka tidak perlu menabung sebab memang tidak punya banyak keinginan. Juga tidak perlu memiliki rumah sebab tidak memiliki keturunan untuk menerima warisan.

Mereka hidup di bawah naungan gubuk reot di pinggiran kali. Bahkan, meskipun sudah beberapa kali kena gusur, mereka tidak pernah putus asa untuk berpindah dari satu pinggiran kali ke pinggiran kali lain.

Jangan ditanya mengapa mereka memilih pinggiran kali sebagai tempat tinggal. Sebab jawabannya pasti sangat simpel. Dengan tinggal di pinggiran kali maka mereka tidak perlu membangun jamban untuk mandi atau buang air.

Namun, kini Pak Tarno telah tiada. Mbok Hamidah tinggal seorang diri. Sebatang kara. Tak ada lagi teman berbagi cerita. Tak ada lagi yang akan membantu membenahi atap yang sering bocor kala musim hujan datang.

"Andai kehendak Tuhan mengikuti keinginan kita, aku ingin kita hidup dan mati selalu bersama. Seperti janji kita awal pernikahan dahulu," suara serak Mbok Hamidah di atas kuburan Pak Tarno kala nyekar malam Jumat Legi.

Namun, hidup dan mati adalah kenyataan dari Yang Mahakuasa. Tak seorang pun dapat menentukan. Sehebat apa pun orang itu. Wejangan Pak Tarno itulah yang kini selalu terngiang di telinga Mbok Hamidah.

Mbok Hamidah tidak mau sedih berlebihan. Sepeninggal suaminya, ia tetap menjalani hidup seperti biasa: memulung.

Bedanya, kini ia memulung lebih sedikit. Sebab sudah tidak ada yang bisa membantu mengangkut. Tubuh rentanya sudah tidak cukup kuat untuk membawa beban yang terlalu berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun