Mohon tunggu...
Syaifulloh
Syaifulloh Mohon Tunggu... Guru - Simposium Pendidikan

Penikmat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Penyebutan Angka dalam Budaya Jawa

3 Desember 2024   09:32 Diperbarui: 3 Desember 2024   10:29 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filosofi Penyebutan Angka Dalam Budaya Jawa

Oleh: Syaifulloh 

Filosofi penyebutan angka dalam budaya Jawa memiliki makna yang mendalam, terutama pada angka 11, 21, 25, 50, dan 60. Setiap angka berfungsi sebagai simbol kuantitas dan mencerminkan fase-fase penting dalam kehidupan manusia.

Angka 11: Sewelas (Duwe Rasa Welas)

Angka 11, yang disebut sewelas, melambangkan masa remaja. Dalam fase ini, individu mulai merasakan welas asih atau kasih sayang, terutama terhadap lawan jenis. Ini adalah periode di mana emosi dan perasaan mulai berkembang.

Angka 21: Selikur (Seneng Lingguh Kursi)

Selikur menunjukkan usia 21 tahun, yang dianggap sebagai awal pendewasaan. Penyebutan ini mengisyaratkan seneng lingguh kursi, menggambarkan fase ketika seseorang mulai memasuki dunia kerja dan tanggung jawab baru.

Angka 25: Selawe (Senenge Lanang lan Wedok)

Pada usia 25 tahun, atau selawe, individu memasuki fase kasmaran yang lebih serius. Ini adalah usia ideal untuk membangun keluarga dan melangsungkan pernikahan, baik bagi pria maupun wanita.

Angka 50: Seket (Seneng Kethunan)

Angka 50, seket, menandakan fase kedewasaan yang lebih matang. Kata "kethu" berarti penutup kepala yang digunakan saat beribadah. Di usia ini, individu mulai mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah dan refleksi spiritual.

Angka 60: Sewidak (Sejatine Wis Wayahe Tindak)

Sewidak menunjukkan usia 60 tahun ke atas, di mana seseorang dianggap sudah waktunya pergi. Fase ini mengingatkan kita akan keterbatasan fisik dan pentingnya mempersiapkan diri untuk menghadapi akhir hidup.

Penguatan Usia 50 (Seket) Tahun

Usia 50 tahun dalam budaya Jawa dianggap sebagai fase kethunan, yang mencerminkan transisi penting dalam kehidupan seseorang. Istilah ini berasal dari kata "kethu," yang berarti penutup atau akhir, dan menandakan bahwa individu mulai memasuki tahap refleksi dan persiapan untuk kehidupan setelahnya.

Dalam konteks budaya Jawa, usia 50 tahun adalah waktu di mana seseorang diharapkan untuk merenungkan perjalanan hidupnya, mengevaluasi pencapaian, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan. 

Pada fase ini, masyarakat melihat individu sebagai orang tua yang dihormati, yang memiliki peran penting dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada generasi lebih muda. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa pengalaman dan kebijaksanaan yang diperoleh selama hidup sangat berharga.

Menurut penelitian, pada usia ini, banyak orang mulai merasakan perubahan fisik dan mental yang signifikan. Namun, dalam budaya Jawa, hal ini tidak dipandang negatif. Sebaliknya, kethunan dianggap sebagai kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi akhir hayat. 

Penekanan pada spiritualitas dan hubungan sosial menjadi sangat penting, karena individu diajak untuk meninggalkan warisan yang baik bagi keluarga dan masyarakat.

Fase kethunan di usia 50 mulai terjafi kemunduran fisik dan terjadi siklus kehidupan dan tanggung jawab moral yang harus dijalani. Hal ini menciptakan pandangan positif terhadap usia lanjut dalam masyarakat Jawa, di mana lansia dihormati sebagai sumber kebijaksanaan dan pengalaman.

Persiapan Kuat di Usia 60 (Sewidak) Tahun.

Filosofi angka 60 dalam budaya Jawa, yang disebut sewidak, memiliki makna yang mendalam dan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap usia lanjut. Penyebutan ini berasal dari ungkapan "sejatine wis wayahe tindak," yang berarti "sudah saatnya untuk pergi," menyiratkan kesadaran akan batasan waktu hidup manusia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Pada usia 60 tahun, masyarakat Jawa menganggap individu berada pada fase refleksi, di mana mereka seharusnya mulai mengevaluasi kehidupan dan memperkuat hubungan spiritual dengan Tuhan. Menurut penelitian, lansia berusia di atas 60 tahun sering kali mengalami penurunan fisik dan psikologis, sehingga penting bagi mereka untuk menerima kenyataan usia lanjut dengan sikap positif. 

Hal ini dapat meningkatkan subjective well-being atau kesejahteraan subjektif mereka, yang berhubungan dengan rasa memiliki tujuan hidup dan interaksi sosial yang baik.

Imam Al-Ghazali juga menekankan pentingnya mendekatkan diri kepada Tuhan di usia lanjut, sebagai bentuk syukur atas kehidupan yang telah dijalani. Dengan demikian, pandangan masyarakat Jawa terhadap lansia tidak hanya berfokus pada kemunduran fisik, tetapi juga pada potensi spiritual dan kontribusi sosial yang masih dapat diberikan oleh individu di usia ini.

Filosofi angka 60 mengajak masyarakat untuk menghargai usia lanjut sebagai fase yang penuh makna, di mana pengalaman hidup dan kebijaksanaan dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda. Dengan pemahaman ini, diharapkan lansia dapat menjalani masa tuanya dengan lebih bermakna dan bahagia.

Menuju Tuhan Dengan Jiwa dan Hati Yang Siap dan Tenang.

Memasuki usia 60 tahun, banyak orang mulai merasakan perubahan yang mendalam dalam hidup mereka. Fase ini sering kali dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memperkuat persiapan spiritual menuju Tuhan. Di usia ini, refleksi menjadi hal yang umum; seseorang mulai merenungkan perjalanan hidupnya, menilai pencapaian dan pengalaman yang telah dilalui. Proses ini membantu mereka menerima diri dan menyiapkan hati untuk menghadapi masa depan, termasuk kenyataan akan kematian.

Kegiatan keagamaan menjadi semakin penting di fase ini. Banyak lansia yang terlibat dalam pengajian, doa, dan meditasi. Melalui praktik-praktik ini, mereka  menemukan ketenangan untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan. Keterlibatan dalam kelompok pengajian atau majelis taklim memberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan belajar bersama, meningkatkan kualitas spiritual.

Kesadaran akan kematian sering kali menjadi dominan di usia ini. Lansia yang memiliki spiritualitas yang kuat cenderung lebih siap menghadapi kematian dengan rasa damai. Mereka memahami bahwa kematian adalah bagian dari siklus kehidupan dan berusaha menghadapinya dengan penuh penerimaan.

Selain itu, penguatan spiritual juga berkontribusi pada kesehatan mental dan emosional. Dengan memiliki keyakinan dan kedekatan kepada Tuhan, banyak lansia dapat mengatasi perasaan kesepian dan depresi yang sering dialami di usia lanjut. 

Penguatan persiapan menuju Tuhan di usia 60 tahun menjadi sangat penting bagi lansia untuk menjalani sisa hidup dengan makna dan kebahagiaan. Fase ini adalah kesempatan untuk mencapai kedamaian batin dan bersiap menghadapi segala tantangan yang akan datang.

*Diolah dari Berbagai Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun