Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mirah

18 Oktober 2016   19:02 Diperbarui: 18 Oktober 2016   19:15 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

 

Mentari sore itu barusaja menenggelamkan diri. Sekumpulan kelelawar masih mengantre   keluar dari sebuah gedung tua. Di ujung gangtepat di bawah gerbong kereta yang telah usang, tampak seekor kucing jantanmengejar kucing betina yang terus-terusan menjerit sambil berlari, meskikemudian kucing betina menyerah tanpa syarat. Kucing betina menyerah sebagaisebuah bentuk pengecohan. Beberapa saat kemudian pertengkaran kembali berlanjutdisertai lengkingan suara jeritan yang semakin pelan. Sungguh pertengkaran yangsangat mengesankan.

Di tepi bentangan rel kereta api tak jauh dari kucing-kucingyang tengah menjalani prosesi musim kawin, dua orang pelajar sekolah menengahtengah mengendarai sepeda motor. Salah seorang di antara mereka tak jemu-jemumenengok kanan kiri sembari membetulkan topinya. Begitu menemukan sesuatu yangdicari, mereka lalu menyambangi rumah kecil yang lebih mirip gubuk di pinggiranrel kereta api.

Rumah mungil itu hanya berukuran 2x2 yang disekat dengantripleks seadanya. Yang satu untuk tempat jualan kelontong kecil-kecilan dansatunya lagi untuk tempat tidur. Tidak ada ruang tamu maupun ruang dapurapalagi kamar mandi. Dua pelajar itu telah dua kali bertandang ke rumah mungilberpapan kayu sengon itu. Kedatangan mereka kali ini ingin melampiaskan hasratbirahinya seperti apa yang telah dilakukannya beberapa minggu yang lalu.Sejurus kemudian keluar seorang perempuan berusia 60 tahun. Perempuan bernamaAmirah itu biasa di panggil Mirah.

Tanpa basa-basi perempuan itu menyuruh kedua anak ingusan itumasuk ke dalam. Mirah telah memahami betul maksud kedatangan dua orang pelajaryang masih terhitung bocah itu. Dari gelagatnya sudah bisa ditebak, layaknyakambing jantan begitu mendengus bau kencing kambing betina, bawaannya langsungingin menaiki pantat sang betina. Tanpa ada kalimat pembuka, basa-basi apalagikata pengantar, tangan-tangan jahil kedua bocah itu menggerayangi sebagiananggota tubuh perempuan kurus itu.

Di rumah yang lebih mirip dengan kandang kambing itu merekasaling berbagi peran untuk sebuah kenikmatan yang sesaat.Bilik kecil itu tampak lebih sempit karena dijejali beberapa koper, sebuahlemari kecil dengan pakaian yang berserakan di sekitarnya serta ditambah lagiperalatan makan dan minum. Sempit dan pengapnya malam itu mendadak dipenuhinafas-nafas birahi yang binal. Meskipun sesekali terdengar bising suara keretalewat menderu-deru, mereka tak peduli layaknya babi pejantan yang tak ambilpusing dalam mengumbar nafsu birahinya di sembarang tempat.

Rumah gubuk itu telah menjadi sarang setan semenjak perempuanberpinggul lebar itu diusir dari sebuah apartemen puluhan tahun silam karenatak bisa melunasi biaya bulanan. Hutang-hutangnya kala itu terus menumpuk.Pakaian sebanyak tiga lemari dan peralatan kecantikannya tak bisa menutup semuahutang-hutangnya kepada beberapa rentenir.

Dua bocah ingusan itu membayar iuran sebesar 10ribu rupiah untuk permainannya yang semalam suntuk itu, lalu kemudian mereka ngeloyor pergi melewati sudut-sudut perkampungan. Berapapun uangyang di berikan Mirah akan menerimanya tanpa harus menuntut lebih. Kali ini iatidak berani menuntut apapun, apalagi dalam beberapa tahun terakhir sudah mulaisepi pelanggan.

Ketika mentari telah mencapai sepenggalah ketinggiannya Mirahmulai bergegas ke sebuah Mushalla yang hanya berjarak 200 meter dari rumahnya.Bukan ritual sembahyang yang dilakukannya melainkan untuk mandi dan berak. Diusia senja perempuan yang telah dipenuhi uban di sekujur kepalanya itu malahsemakin berat dalam menanggung beban-beban hutang serta berbagai permasalahanlain yang masih membelitnya.

Telah beberapa kali ia dikaruniai keturunan oleh yang kuasa,namun berkali-kali pula Mirah menolaknya. Setiap muncul tanda-tanda adanyabenih-benih janin di rahimnya lalu diremas-remas perutnya hingga kemudianmengalami perdarahan. Mirah tidak pernah menyadari jika perbuatannya itu adalahsebuah bentuk penolakan rezeki dari Tuhan. Tidak hanya sekali janin yang telahdikandungnya selama beberapa bulan itu dilebur paksakan dengan jalan aborsi.Hanya seorang putra yang mempunyai garis keturunan seorang bule yangdikehendaki kelahirannya, ia meyakini janin yang dikandungnya adalah buah daripermainannya dengan seorang bule berkebangsaan Belanda dan ternyata memangbenar, bayi yang terlahir berjenis kelamin laki-laki itu mirip orang Belandayang pernah menyambanginya beberapa kali di sebuah apartemen.

Meski akhirnya menerima karunia Tuhan yang telah terwujud berupaanak adam yang rupawan, namun putra semata wayangnya itu laksana sebuah tanamanyang tertancap di lahan yang gersang. Putra satu-satunya yang diberi namaAlbert itu kini telah menjelma menjadi seorang pria tampan, sayangnyaketampanannya itu telah terbiasa dinikmati para pria berkantong tebal.Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari ibunya semenjak kecil menyebabkanpria berhidung mancung dan berkulit putih itu merasa kesepian. Perasaan hampayang kian menyelubung jiwa ditambah kekecwaan yang dalam membuat dirinyadihantui rasa takut, minder dan tidak percaya diri. Untuk membalas semua itu ialalu meluapkan kekecewaannya dengan cara pergi dari rumah dan lebih memilihtidur di Mushalla. Semenjak ia sering tidur di Musholla itulah awal dirinyamulai digagahi oleh teman-temannya.

Albert kini telah berusia 35 tahun, pada kurun waktu selamaseperempat abad lebih itu entah telah berapa puluh lelaki dan perempuan yangpernah menghirup aroma wangi tubuhnya. Malam itu Mirah menunggu pelangganhingga larut malam namun tak jua mendapati seorangpun. Hingga menjelang fajartak satupun pria yang sudi bertandang ke gubuknya.

Di pagi buta saat orang-orang masih enggan untuk beranjak keluardari kamar tidur, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan seorang tamu, tamuistimewa itu nyelonong masuk tanpa permisi lalu menebar pesona dengan melemparsenyumnya yang khas dan tampak menggairahkan. Pria berkulit kuning langsat itumencium keningnya. Belum sempat pria yang masih dianggap asing itu merapattiba-tiba Mirah merasakan sakit, nafasnya tampak tersengal-sengal.

 “Kau mengidap asma? “ tanya pria dengan setelan jas yangrapi itu sembari dahinya berkerut.

“Tidak, “ jawab Mirah singkat.

“Lalu apa yang terjadi padamu? Kamu sudah tidak kuat?”

“Bukannya tidak kuat, tetapi pinggulku sakit,” Mirah merasakansakit yang tak biasa, pinggul kanannya merasakan nyeri hingga menjalar ke ataspinggang. Operasi plastik yang pernah dijalaninya sekitar lima belas tahun yanglalu itu kini mulai berubah menjadi monster yang sangat menakutkan.

“Baiklah berapa harga yang mesti kubayar?” Tanya pria itusembari tangan kanannya merogoh kantong celananya.

 “100 ribu,” jawab Mirah dengan muka meringis.

“Hanya segitu kau menjual dirimu?” Pria itu heran mendengarpermintaan Mirah yang begitu rendah.

“Lalu mestinya harus berapa? Satu juta ? Siapa yang mau?” Airmuka Mirah menafsirkan tanda-tanda ketidak berdayaannya sebagai wanita.Seolah-olah ia berada di tingkat yang terendah.

“Saya berani membayarmu 10 juta,” jawab pria itu meyakinkan.

“Benarkah kamu berani membayarku 10 juta?”kedua bola mata Mirahyang telah cekung tiba-tiba basah. Tangis bahagia seperti menyelubung ke dalamjiwanya. Mirah seperti bermimpi.

“Apa untungnya berbohong, jika ternyata dirimu bisa menangis?”Pria bermata teduh itu meyakinkan Mirah untuk yang kedua kalinya. “Kalau bolehtahu sejak usia berapa dirimu menjajakan diri?”

“Sejak umur 18 tahun.”

“Umurmu sekarang?”

“61 tahun.”

“Selama puluhan tahun itu mestinya dirimu bisa mengumpulkan uangsebanyak-banyaknya. Tetapi maaf, kok masih tinggal di gubuk sempit sepertiini,” pria itu seperti mau marah.

“Dulu ketika uang masih banyak, kubelikan pakaian berbagai merekserta alat-alat kecantikan.”

“Lalu Apa tujuan hidupmu selama ini?”

“Tidak punya.”

“Sungguh manusia yang aneh,” jawab pria itu dengan ketus, lalukembali bertanya. “Adakah keinginan untuk tinggal di rumah yang layak?”

“Itu impianku selama bertahun-tahun,” (k)Kali ini Mirah menjawabdengan buliran air mata yang berjatuhan.

“saya adalah salah satu pengurus masjid yang membutuhkan tenagakebersihan dan itu tadi adalah caraku mengenalmu, hanya sebatas pura-pura.Apakah anda bersedia?

“Saya tidak mau.”

“Kenapa?”

“Aku tidak pantas. Seandainya kusanggupi lalu bagaimana kataorang-orang nanti, padahal sepanjang hidupku tidak pernah menjamah masjid.Biarlah aku seperti ini.”

“Baiklah, apakah anda tau ulat?”

 “Ulat apa?”

“Ulat apa saja.”

“Lalu apa hubungannya?”

“Jika ulat yang begitu menjjikkan sepanjang hidupnya bisamerubah dirinya menjadi makhluk yang terindah. Kenapa anda tidak bisa? Andaadalah manusia yang bermartabat bukan ulat yang tak punya akal dan pikiran.Jangan biarkan umurmu yang tersisa itu terbuang percuma.”

Mirah terdiam tertunduk lesu. Tak biasanya ia mau mendengarperkataan orang lain, tetapi kali ini ia terbius oleh ucapan pria asing itu.Uang senilai sepuluh juta rupiah lebih dari cukup untuk melunasihutang-hutangnya. Tanpa diminta uang itu lalu diserahkan dan Mirah denganberurai air mata menerimanya. Pria itu adalah seorang pengusaha properti, iaingin menebus sebagian dosa-dosanya diwaktu muda. Ia masih ingat betul kala ituia mendatangi apartemen Mirah untuk berhubungan badan, tetapi Mirah mungkinlupa akan hal itu. Entah telah berapa puluh atau bahkan berapa ratus priahidung belang yang pernah menidurinya masih menjadi misteri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun