Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD ; Apakah Menjauhkan Pemimpin dari Rakyat?

7 Januari 2025   06:59 Diperbarui: 7 Januari 2025   06:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu wujud demokrasi lokal yang mencerminkan hak rakyat untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung. Namun, gagasan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi wacana hangat dalam diskursus politik Indonesia. Usulan ini, meski tampak sederhana, menyimpan potensi dampak yang besar terhadap hubungan antara pemimpin dan rakyat. Lantas, apakah pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru menjauhkan pemimpin dari rakyat?

Latar Belakang Wacana Pemilihan oleh DPRD

Pilkada langsung pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2005 sebagai bagian dari reformasi demokrasi pasca-Orde Baru. Sistem ini memberikan rakyat kebebasan untuk memilih kepala daerah mereka, baik gubernur, bupati, maupun wali kota, secara langsung. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan seperti tingginya biaya politik, konflik sosial, dan maraknya politik uang, mendorong beberapa pihak untuk mempertimbangkan kembali mekanisme lama: pilkada melalui DPRD.

Pendukung usulan ini berpendapat bahwa pilkada melalui DPRD dapat mengurangi biaya politik yang membebani calon kepala daerah, sekaligus mengurangi potensi konflik horizontal di masyarakat. Namun, kritik muncul dengan argumen bahwa mekanisme ini justru berpotensi mengurangi legitimasi kepala daerah dan memisahkan mereka dari aspirasi rakyat.

Hubungan Pemimpin dan Rakyat dalam Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, pemimpin idealnya adalah representasi langsung dari kehendak rakyat. Pemilu langsung memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam memilih pemimpin yang dianggap mampu memperjuangkan aspirasi mereka. Proses ini tidak hanya simbolis, tetapi juga memperkuat akuntabilitas pemimpin kepada rakyat.

Namun, jika kepala daerah dipilih melalui DPRD, hubungan ini bisa berubah menjadi lebih elitis. Pemimpin yang dipilih oleh DPRD cenderung lebih bertanggung jawab kepada anggota dewan yang memilih mereka daripada kepada rakyat secara langsung. Dalam konteks ini, hubungan pemimpin dan rakyat bisa menjadi lebih jauh, mengingat rakyat kehilangan kontrol langsung terhadap pemilihan pemimpin mereka.

Risiko Pemilihan oleh DPRD: Politik Transaksional

Pemilihan kepala daerah melalui DPRD membuka peluang bagi politik transaksional. Dalam sistem ini, keputusan anggota dewan untuk memilih seorang calon kepala daerah bisa saja dipengaruhi oleh lobi politik, kepentingan kelompok, atau bahkan transaksi finansial. Situasi ini berisiko menciptakan pemimpin yang lebih loyal kepada elit politik dibandingkan rakyat.

Politik transaksional juga dapat memperburuk masalah korupsi di tingkat lokal. Kepala daerah yang merasa "berutang budi" kepada anggota DPRD mungkin lebih rentan terhadap praktik kolusi dan nepotisme demi menjaga dukungan politik. Akibatnya, kebijakan yang diambil sering kali tidak mencerminkan kebutuhan rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Dampak terhadap Partisipasi Politik Rakyat

Pilkada langsung telah mendorong partisipasi politik masyarakat dalam beberapa dekade terakhir. Rakyat merasa memiliki suara dan andil dalam menentukan arah pembangunan daerah mereka. Jika mekanisme ini diubah menjadi pemilihan oleh DPRD, partisipasi politik rakyat bisa menurun secara signifikan.

Selain itu, hilangnya mekanisme pilkada langsung juga dapat memperlemah pendidikan politik masyarakat. Selama ini, pilkada langsung menjadi momen penting untuk mendidik rakyat tentang pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan memiliki integritas. Dengan kembalinya pemilihan oleh DPRD, rakyat kehilangan ruang belajar tersebut.

Mengurangi Beban Politik atau Mengurangi Kedaulatan Rakyat?

Salah satu alasan utama yang diajukan oleh pendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah efisiensi biaya politik. Pilkada langsung memang membutuhkan anggaran besar, mulai dari proses kampanye hingga pelaksanaan pemilu itu sendiri. Namun, pertanyaannya adalah, apakah pengurangan biaya ini sebanding dengan hilangnya hak rakyat untuk memilih secara langsung?

Efisiensi biaya seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengorbankan prinsip kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal memberikan ruang kepada rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Jika efisiensi menjadi prioritas utama, kita berisiko menciptakan sistem yang kurang demokratis dan lebih elitis.

Mencari Jalan Tengah: Reformasi Pilkada Langsung

Daripada kembali ke sistem lama, reformasi pilkada langsung mungkin menjadi solusi yang lebih adil dan demokratis. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah dalam pilkada langsung antara lain:

  1. Penguatan Regulasi
    Pemerintah dapat memperketat regulasi untuk mencegah politik uang dan praktik curang lainnya. Transparansi dalam pengelolaan dana kampanye juga harus menjadi prioritas.
  2. Edukasi Politik Rakyat
    Meningkatkan pendidikan politik masyarakat dapat membantu rakyat memahami pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
  3. Pengurangan Biaya Kampanye
    Pemerintah dapat menyediakan fasilitas kampanye yang lebih terjangkau atau bahkan gratis bagi calon kepala daerah, sehingga mereka tidak perlu menghabiskan dana besar hanya untuk kampanye.
  4. Penguatan Peran Pengawas Pemilu
    Peran lembaga pengawas pemilu, seperti Bawaslu, perlu diperkuat untuk memastikan proses pilkada berjalan jujur dan adil.
  5. Inovasi Teknologi dalam Pemilu
    Pemanfaatan teknologi, seperti e-voting, dapat menjadi solusi untuk mengurangi biaya pelaksanaan pemilu tanpa mengurangi partisipasi rakyat.

Menjaga Demokrasi, Menjaga Rakyat

Pilkada langsung adalah salah satu pilar demokrasi yang memberikan rakyat kesempatan untuk memilih pemimpin mereka secara langsung. Meskipun mekanisme ini memiliki berbagai tantangan, kembali ke sistem pemilihan melalui DPRD bukanlah solusi yang tepat.

Sebagai bangsa yang menghargai demokrasi, kita harus mencari cara untuk memperbaiki sistem pilkada langsung, bukan meninggalkannya. Dengan memperkuat regulasi, meningkatkan pendidikan politik, dan memanfaatkan teknologi, kita dapat menciptakan sistem pilkada yang lebih efisien tanpa mengorbankan kedaulatan rakyat.

Pilihan kepala daerah oleh DPRD mungkin terlihat sederhana di atas kertas, tetapi dampaknya pada hubungan pemimpin dan rakyat bisa sangat signifikan. Demokrasi adalah tentang mendekatkan pemimpin kepada rakyat, bukan menjauhkannya. Oleh karena itu, menjaga pilkada langsung berarti menjaga hak rakyat untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Beberapa Pengalaman

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi yang idealnya memungkinkan rakyat secara langsung memilih pemimpin yang mereka percaya mampu merepresentasikan kepentingan mereka. Namun, dalam sejarah politik Indonesia, pemilihan kepala daerah tidak selalu dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ada masa di mana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pertanyaannya, apakah sistem ini menjauhkan pemimpin dari rakyat? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat beberapa pengalaman, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Sejarah Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD di Indonesia

Pada era sebelum reformasi, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Mekanisme ini berlangsung selama puluhan tahun di bawah sistem politik sentralistik Orde Baru. Pemimpin daerah, mulai dari gubernur hingga bupati/wali kota, sering kali dipilih melalui negosiasi politik yang terjadi di ruang-ruang DPRD, dengan pengaruh kuat dari pemerintah pusat.

Pada masa itu, kritik utama yang muncul adalah lemahnya keterhubungan antara pemimpin daerah dan rakyat. Kepala daerah lebih sering dianggap sebagai "perpanjangan tangan" pemerintah pusat daripada sebagai wakil rakyat daerah. Akibatnya, aspirasi masyarakat sering kali diabaikan, karena kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada pihak yang memilih mereka, yaitu DPRD dan pemerintah pusat, bukan kepada masyarakat.

Kelemahan Sistem Pemilihan oleh DPRD

Dari pengalaman di Indonesia, beberapa kelemahan sistem pemilihan oleh DPRD dapat diidentifikasi:

  1. Minimnya Akuntabilitas Publik
    Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung lebih bertanggung jawab kepada anggota dewan daripada kepada masyarakat. Hal ini membuat mereka lebih fokus pada kepentingan kelompok politik tertentu daripada kepentingan umum.
  2. Tingginya Politik Transaksional
    Pemilihan melalui DPRD membuka peluang besar untuk praktik politik transaksional, seperti lobi-lobi politik dan bahkan korupsi. Beberapa kasus di masa lalu menunjukkan bahwa keputusan DPRD sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok, bukan oleh pertimbangan objektif.
  3. Jarak dengan Rakyat
    Karena tidak terlibat langsung dalam pemilihan, rakyat merasa kurang memiliki kontrol terhadap kepala daerah mereka. Akibatnya, ada jarak psikologis dan politis antara pemimpin dan rakyat.

Pengalaman Negara Lain: Pelajaran Berharga

Pengalaman negara-negara lain yang menggunakan sistem tidak langsung dalam memilih pemimpin lokal juga memberikan pelajaran yang relevan.

  • India
    Di India, kepala pemerintahan lokal di beberapa wilayah dipilih oleh anggota dewan legislatif daerah. Meskipun sistem ini dianggap efisien dalam hal waktu dan biaya, banyak kritik menyebutkan bahwa kepala pemerintahan sering kali tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata rakyat. Ketergantungan mereka pada dukungan legislatif sering menghambat pengambilan keputusan yang berpihak pada masyarakat luas.
  • Amerika Serikat
    Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menerapkan sistem pemilihan tidak langsung untuk pejabat lokal tertentu, seperti komisaris atau ketua dewan. Namun, di banyak tempat, ada dorongan untuk kembali ke sistem pemilu langsung karena masyarakat merasa memiliki kontrol lebih besar terhadap pemimpin yang mereka pilih sendiri.
  • Malaysia
    Di Malaysia, kepala pemerintahan lokal, seperti menteri besar atau kepala menteri, dipilih oleh anggota dewan negara bagian dengan persetujuan raja atau sultan. Sistem ini sering dikritik karena dianggap terlalu elitis dan kurang melibatkan masyarakat luas dalam proses politik.

Dampak pada Kualitas Kepemimpinan

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak hanya memengaruhi hubungan pemimpin dan rakyat, tetapi juga kualitas kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang terpilih melalui sistem ini cenderung memiliki hubungan erat dengan partai politik atau kelompok elit, sehingga kompetensi dan integritas mereka terkadang tidak menjadi prioritas utama.

Sebaliknya, pilkada langsung memberikan peluang lebih besar bagi rakyat untuk mengevaluasi calon kepala daerah berdasarkan rekam jejak, visi, dan program kerja mereka. Proses ini, meskipun tidak sempurna, memberikan tekanan pada calon untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Reformasi Sistem Pemilihan: Jalan Tengah

Daripada kembali sepenuhnya ke sistem pemilihan oleh DPRD, reformasi sistem pilkada langsung mungkin menjadi alternatif yang lebih baik. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  1. Transparansi dan Pengawasan Ketat
    Meningkatkan transparansi dalam proses pilkada langsung, mulai dari pendaftaran calon hingga penghitungan suara, dapat mengurangi praktik kecurangan dan politik uang.
  2. Edukasi Politik untuk Rakyat
    Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan berintegritas, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh politik uang atau kampanye negatif.
  3. Batasan Biaya Kampanye
    Membatasi biaya kampanye dan memberikan fasilitas kampanye yang setara untuk semua calon dapat membantu menciptakan kompetisi yang lebih adil.
  4. Penguatan Peran Partai Politik
    Partai politik perlu didorong untuk mengajukan calon yang memiliki integritas tinggi dan rekam jejak yang baik. Ini bisa dilakukan melalui mekanisme seleksi internal yang lebih transparan dan kompetitif.

Kembali ke Rakyat

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah terbukti memiliki berbagai kelemahan, baik di Indonesia maupun di negara lain. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem ini cenderung menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, melemahkan akuntabilitas, dan membuka peluang besar bagi politik transaksional.

Sebaliknya, pilkada langsung, meskipun memiliki tantangan tersendiri, lebih mampu menciptakan hubungan yang erat antara pemimpin dan rakyat. Dengan berbagai reformasi, sistem ini dapat diperbaiki untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang memberi ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan masa depan mereka. Memastikan rakyat tetap memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara langsung adalah langkah penting untuk menjaga esensi demokrasi di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun