Beberapa Pengalaman
Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi yang idealnya memungkinkan rakyat secara langsung memilih pemimpin yang mereka percaya mampu merepresentasikan kepentingan mereka. Namun, dalam sejarah politik Indonesia, pemilihan kepala daerah tidak selalu dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ada masa di mana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pertanyaannya, apakah sistem ini menjauhkan pemimpin dari rakyat? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat beberapa pengalaman, baik di Indonesia maupun di negara lain.
Sejarah Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD di Indonesia
Pada era sebelum reformasi, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Mekanisme ini berlangsung selama puluhan tahun di bawah sistem politik sentralistik Orde Baru. Pemimpin daerah, mulai dari gubernur hingga bupati/wali kota, sering kali dipilih melalui negosiasi politik yang terjadi di ruang-ruang DPRD, dengan pengaruh kuat dari pemerintah pusat.
Pada masa itu, kritik utama yang muncul adalah lemahnya keterhubungan antara pemimpin daerah dan rakyat. Kepala daerah lebih sering dianggap sebagai "perpanjangan tangan" pemerintah pusat daripada sebagai wakil rakyat daerah. Akibatnya, aspirasi masyarakat sering kali diabaikan, karena kepala daerah lebih bertanggung jawab kepada pihak yang memilih mereka, yaitu DPRD dan pemerintah pusat, bukan kepada masyarakat.
Kelemahan Sistem Pemilihan oleh DPRD
Dari pengalaman di Indonesia, beberapa kelemahan sistem pemilihan oleh DPRD dapat diidentifikasi:
- Minimnya Akuntabilitas Publik
Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD cenderung lebih bertanggung jawab kepada anggota dewan daripada kepada masyarakat. Hal ini membuat mereka lebih fokus pada kepentingan kelompok politik tertentu daripada kepentingan umum. - Tingginya Politik Transaksional
Pemilihan melalui DPRD membuka peluang besar untuk praktik politik transaksional, seperti lobi-lobi politik dan bahkan korupsi. Beberapa kasus di masa lalu menunjukkan bahwa keputusan DPRD sering kali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok, bukan oleh pertimbangan objektif. - Jarak dengan Rakyat
Karena tidak terlibat langsung dalam pemilihan, rakyat merasa kurang memiliki kontrol terhadap kepala daerah mereka. Akibatnya, ada jarak psikologis dan politis antara pemimpin dan rakyat.
Pengalaman Negara Lain: Pelajaran Berharga
Pengalaman negara-negara lain yang menggunakan sistem tidak langsung dalam memilih pemimpin lokal juga memberikan pelajaran yang relevan.
- India
Di India, kepala pemerintahan lokal di beberapa wilayah dipilih oleh anggota dewan legislatif daerah. Meskipun sistem ini dianggap efisien dalam hal waktu dan biaya, banyak kritik menyebutkan bahwa kepala pemerintahan sering kali tidak memiliki legitimasi yang kuat di mata rakyat. Ketergantungan mereka pada dukungan legislatif sering menghambat pengambilan keputusan yang berpihak pada masyarakat luas. - Amerika Serikat
Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menerapkan sistem pemilihan tidak langsung untuk pejabat lokal tertentu, seperti komisaris atau ketua dewan. Namun, di banyak tempat, ada dorongan untuk kembali ke sistem pemilu langsung karena masyarakat merasa memiliki kontrol lebih besar terhadap pemimpin yang mereka pilih sendiri. - Malaysia
Di Malaysia, kepala pemerintahan lokal, seperti menteri besar atau kepala menteri, dipilih oleh anggota dewan negara bagian dengan persetujuan raja atau sultan. Sistem ini sering dikritik karena dianggap terlalu elitis dan kurang melibatkan masyarakat luas dalam proses politik.
Dampak pada Kualitas Kepemimpinan
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak hanya memengaruhi hubungan pemimpin dan rakyat, tetapi juga kualitas kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang terpilih melalui sistem ini cenderung memiliki hubungan erat dengan partai politik atau kelompok elit, sehingga kompetensi dan integritas mereka terkadang tidak menjadi prioritas utama.