Di sisi lain, istilah "rendang" telah menjadi lebih mudah dikenali di tingkat internasional. Ketika CNN atau media asing lainnya mengulas "rendang," mereka merujuk pada makanan khas Indonesia yang telah diterima secara luas. Ini merupakan fenomena yang tidak bisa diabaikan. Branding global memerlukan bahasa yang dapat dipahami oleh audiens luas, dan istilah "rendang" lebih mudah diterima oleh mereka yang tidak akrab dengan bahasa dan dialek lokal.
Namun, komersialisasi ini menimbulkan tantangan tersendiri. Ketika rendang menjadi komoditas global, pertanyaan muncul: bagaimana menjaga otentisitasnya? Apakah rendang yang dikonsumsi di luar negeri masih mencerminkan rasa asli randang Minangkabau, atau apakah telah mengalami modifikasi sesuai dengan selera pasar internasional?
Selain itu, terdapat aspek ekonomi yang signifikan dalam proses komersialisasi rendang. Payakumbuh, sebuah kota di Sumatra Barat, telah merancang strategi city branding sebagai "City of Randang," dengan tujuan menjadikan kota ini sebagai pusat kuliner rendang dunia.Â
Ini menunjukkan bagaimana lokalitas dan globalisasi saling berinteraksi. Kota ini menggunakan sebutan "randang" untuk memperkuat identitas lokal, tetapi untuk menarik wisatawan global, strategi tersebut juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa istilah "rendang" lebih dikenal.
Dengan semakin berkembangnya ekonomi global, rendang tidak hanya menjadi makanan tetapi juga komoditas yang dapat diekspor, menghasilkan devisa bagi negara. Produk rendang siap saji, misalnya, telah diekspor ke berbagai negara, termasuk negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika.Â
Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa rendang yang dipasarkan secara global tetap mempertahankan otentisitas rasa dan proses masaknya, seperti yang dilakukan dalam tradisi randang di Sumatra Barat.
Implikasi terhadap Diplomasi Kuliner Indonesia
Di tingkat nasional dan internasional, rendang menjadi salah satu simbol kuat diplomasi kuliner Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, rendang disajikan sebagai bagian dari culinary diplomacy dalam berbagai acara internasional. Presiden Indonesia dan diplomat lainnya sering menggunakan rendang sebagai contoh sukses promosi budaya Indonesia di luar negeri.
Namun, penggunaan istilah "rendang" dalam konteks diplomasi kuliner ini dapat menjadi tantangan ketika berhadapan dengan aspek lokalitas. Di satu sisi, "rendang" lebih dikenal secara internasional. Di sisi lain, penggunaan istilah "randang" dapat dilihat sebagai upaya menjaga warisan budaya Minangkabau.Â
Dalam hal ini, diplomasi kuliner Indonesia harus mampu menyeimbangkan antara mempromosikan rendang sebagai makanan nasional yang diterima secara luas, dan menghormati asal usul serta tradisi lokal yang menjadi akarnya.
Diplomasi kuliner tidak hanya sebatas memperkenalkan makanan, tetapi juga tentang memperkenalkan nilai-nilai budaya di balik makanan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa rendang yang dipromosikan di tingkat internasional tetap mempertahankan elemen-elemen kultural Minangkabau, sehingga nilai budaya yang terkandung dalam randang tetap hidup meskipun telah mengalami globalisasi.