Ideologi politik berperan penting dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Setiap ideologi politik mencerminkan pandangan yang berbeda mengenai peran negara, swasta, dan masyarakat dalam perekonomian. Di Indonesia, ideologi Pancasila menjadi fondasi dalam pembentukan sistem ekonomi nasional. Pancasila, yang diresmikan sebagai dasar negara, menekankan keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Dari sini, ideologi politik mempengaruhi kebijakan ekonomi, yang terlihat jelas dalam berbagai fase perkembangan politik dan ekonomi Indonesia.
Era Orde Lama: Nasionalisme Ekonomi dan Pengaruh Sosialisme
Pada masa awal kemerdekaan, ideologi politik yang mendominasi adalah nasionalisme ekonomi, yang dipengaruhi oleh perjuangan melawan kolonialisme. Presiden pertama Indonesia, Presiden Soekarno, dengan ideologi yang berakar pada sosialisme dan nasionalisme, mengarahkan kebijakan ekonomi untuk memperkuat kedaulatan negara. Ia percaya bahwa ekonomi yang kuat adalah ekonomi yang mampu berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), tanpa ketergantungan pada kekuatan asing.
Pada era Orde Lama (1945-1965), kebijakan ekonomi yang diterapkan banyak diwarnai oleh prinsip-prinsip sosialisme, di mana negara memegang peran sentral dalam mengendalikan perekonomian. Sektor-sektor strategis, seperti pertambangan, energi, dan infrastruktur, dinasionalisasi dengan tujuan menjaga kedaulatan ekonomi dan mengurangi pengaruh asing yang dianggap sebagai peninggalan kolonialisme. Pemikiran ini didasarkan pada ketidakpercayaan terhadap kapitalisme Barat yang dianggap eksploitatif dan imperialistik.
Sebagai bagian dari penerapan ideologi politik ini, pemerintah mengambil alih aset-aset perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia dan mendirikan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk menjalankan sektor-sektor ekonomi penting. Kebijakan ini mencerminkan keyakinan bahwa negara harus memegang kendali atas sumber daya alam dan perekonomian demi kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir elit kapitalis. Soekarno juga menginisiasi proyek-proyek besar seperti pembangunan Monumen Nasional dan stadion Gelora Bung Karno sebagai simbol kemandirian bangsa.
Namun, pendekatan ini dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk rendahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia di sektor industri, serta tekanan ekonomi internasional akibat blokade ekonomi dan pembatasan akses modal dari negara-negara Barat. Dampaknya, ekonomi Indonesia pada masa ini mengalami stagnasi, hiperinflasi, dan kesulitan dalam mendapatkan investasi asing yang diperlukan untuk pembangunan. Ideologi sosialisme yang diterapkan tanpa memperhitungkan kondisi ekonomi global pada akhirnya memicu krisis ekonomi yang berujung pada keruntuhan Orde Lama.
Orde Baru: Liberalisasi Ekonomi dan Keterbukaan Pasar
Pasca runtuhnya Orde Lama, Indonesia memasuki era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Berbeda dengan era sebelumnya, Soeharto membawa Indonesia ke arah yang lebih pro-kapitalisme, meski tetap berpegang pada prinsip dasar Pancasila. Orde Baru menandai pergeseran ideologi ekonomi dari nasionalisme yang tertutup menuju liberalisasi ekonomi dan keterbukaan pasar. Pemerintah pada masa ini lebih pragmatis dalam mengelola perekonomian dan terbuka terhadap investasi asing.
Pada awal masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengundang para ekonom dari Universitas Indonesia, yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley," untuk merumuskan kebijakan ekonomi yang berfokus pada stabilitas makroekonomi dan pembangunan infrastruktur. Kebijakan ini didasarkan pada teori ekonomi liberal yang menekankan pentingnya pasar bebas, investasi asing, dan stabilitas harga sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini, pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, terutama di sektor pertambangan, manufaktur, dan perbankan.
Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menerapkan kebijakan trickle-down economics dengan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang kuat di tingkat elit akan mengalir ke seluruh lapisan masyarakat. Dalam praktiknya, kebijakan ini berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tingkat rata-rata 7% per tahun selama hampir tiga dekade. Infrastruktur dasar, seperti jalan raya, pelabuhan, dan irigasi, dibangun secara masif yang mempercepat modernisasi ekonomi nasional.
Namun, ideologi liberalisasi ekonomi ini juga membawa dampak negatif, terutama ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Pembangunan yang sangat bergantung pada modal asing membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap krisis global. Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang marak di bawah Orde Baru memperburuk ketimpangan ekonomi, di mana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir kelompok elit yang dekat dengan kekuasaan.