[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Tim Independen bongkar kebingungan Jokowi gara-gara Komjen Pol Budi Gunawan. (photo : medeka.com)"][/caption]
Kepemimpinan Republik Indonesia yang saat ini di pimpin oleh Presiden Joko Wododo (Jokowi) dan di dampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah melewati 100 hari dalam perjalanannya saat ini.
Namun dalam kenyataannya Jokowi dan JK masih belum dapat menunjukan kinerja yang masksimal selama 100 hari kerjanya didalam kepemimpinannya tersebut.
Akan tetapi seharusnya di dalam masa 100 hari kerja kedua tokoh tersebut seharusnya sudah menunujukan sikap visi dan misinya di dalam kepemimpinannya di Republik ini sebagai kepala negara.
Namun kenyataannya justru memperlihatkan sebuah drama kepemimpinannya yang mengambang "Gamang", yang seakan-akan ada keraguan dan ketidak tegasan dalam memutuskan sesuatu sikap politik untuk sebuah kebijakan kepemimpinannya.
Ini terbukti adanya berbagai persoalan di dalam memutuskan sesuatu kebijakan di dalam kepemimpinan Jokowi dan JK sebagai pimpinan tertinggi di Republik Indonesia saat ini. Keduanya seakan-akan pimplan, knususnya bagi Jokowi sendiri, Dan pada akhirnya hal itu terjadi yakni pada saat Jokowi mengungkapkan keinginannya hendak mengangkat kepala Polri (Kapolri) baru. Jokowi mengatakan telah menemukan calon yang tepat untuk menggantikan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman.
Hanya beberapa hari setelah pengumuman itu, tanpa disangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan calon tunggal kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka. Budi Gunawan diduga terlibat kasus penerimaan hadiah atau janji terkait transaksi mencurigakan atau tidak wajar. Dan sebelumnya Budi Gunawan salah satu anak emas dari Megawati Soekarnoputri. Saat itu sebelumnya Komjen Pol Budi Gunawan pernah mejabat sebagai ajudan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Kasus itu diduga dilakukan mantan ajudan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir (Binkar) Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Markas Besar Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya. Pada akhirnya rencana pengangkatan Komjen Pol Budi Gunawan tersebut memicu pro-kontra. Lalu belakangan menjadi konflik terbuka antara KPK dan Polri, setelah Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Bambang Widjojanto ditangkap selang 9 hari setelah Komjen Pol Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka.
Penangkapan Bambang Widjojanto dituding sebagai imbas dari penetapan status tersangka Komjen Pol Budi Gunawan. Banyak pihak yang tidak terima dengan aksi yang dilancarkan Bareskrim Polri. Bambang Widjojanto ditangkap usai mengantar anaknya ke sekolah, pagi ini. "Posisi antar anak sekolah, setelah antar dibawa orang itu (Bareskrim Polri).
Tak lama kemudian banyak tokoh dan masyarakat Indonesia pun berkumpul di Gedung KPK dengan alasan menyelamatkan lembaga tersebut, "Save KPK". Sebab konflik antara KPK dan Polri ini bukanlah yang pertama. Disebut-sebut kisruh antar 2 lembaga penegak hukum ini sebagai Cicak Vs Buaya jilid III.
Pemerintahan Jokowi-JK pun terguncang. Orang nomor satu di Indonesia itu dianggap berada dalam tekanan partai "PDI-P" saat mencalonkan Komjen Pol Budi Gunawan. Ia pun diminta bersikap tegas dan membuktikan janji kampanyenya untuk mendengarkan suara rakyat dan pemerintahannya bersih dari unsur korupsi, namun kenyataannya Jokowi dan JK masih belum bisa untuk berusaha dalam sikapnya dalam pembersiahan korupsi di negara ini, ini terbukti khususnya bagi Jokowi masih bisa dikendalikan oleh pihak tertentu, terutama pihak dari partai yang mengusungnya menjadi Presiden Republik Indonesia saat ini, PDI-P.
Dari banyak desakan dari berbagai pihak, terutama dari para tokoh dan masyarakat Indoanesia, Jokowi di desak untuk segera membuat sebuah ketegasan dalam memutuskan komplik KPK dan Polri saat itu. Akhirnya Presiden Jokowi tak tinggal diam mengatasi gesekan 2 lembaga penegak hukum untuk kali ketiganya itu.
Jokowi melakukan langkah yang sama yang pernah diambil mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat 2009 lalu. Turun tangan membentuk tim independen untuk menengahi ketegangan antara 2 lembaga hukum, Polri dan KPK.
Keputusan ini diambil setelah 2 lembaga penegak hukum itu "menyandera/menawan" masing-masing pimpinannya. KPK menjerat calon Kapolri tunggal Komjen Pol Budi Gunawan. Dan Polri membidik Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Tim independen untuk menengahi KPK dan Polri itu mirip dengan bentukan SBY saat mengatasi kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samad, yang ditetapkan tersangka oleh Polri pada 2009 silam.
Tim Independen bernama Tim 9 tidak hanya ditugaskan mencari fakta kasus yang menyebabkan polemik di antara KPK dan Polri, tapi juga memberi masukan kepada Presiden Jokowi untuk pembenahan hubungan antar lembaga hukum negara ke depan.
Gonjang-ganjing KPK vs Kapolri yang berawal dari keputusan Presiden RI Jokowi atas keputusannya di dalam penetapam Calon Kapolri Tunggal Komjen Pol Budi Gunawan untuk menggantikan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman tidak berakhir sampai disitu saja. Peristiwa drama mengerikan yang dilakukan Polri kepada Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak yang anti korupsi, termasuk pula reaksi keras dari Mantan Wakapolri Oegroseno.
Mantan Wakapolri Oegroseno menilai langkah penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto tidak sesuai dengan etika penengakan hukum, Jumat (30 Januari 2015). Bahkan, Oegroseno menyatakan akan menempeleng Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian (Kabareskrim) Inspektur Jenderal Budi Waseso jika saat ini ia menjabat sebagai Wakapolri.
Meski tidak ingin terlalu menanggapi perkataan Oegroseno, Budi Waseso mengutip lagu dangdut yang sering terdengar "Sakitnya Tuh Di Sini" sambil menunjuk ke dada kirinya. Ia juga mengatakan biar masyarakat yang menilai keputusannya terkait penangkapan Bambang Widjojanto.
Menurut Oegroseno, proses hukum yang dijatuhi pada Bambang terkesan liar, sebab Budi Waseso tidak mengoordinasikan dengan pelaksana tugas Kapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti terkait penangkapan. Selain itu, proses tersebut terjadi setelah calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI tampaknya akan semakin panas dan memasuki babak baru tepatnya pada hari Senin 2 Februari 2015 nanti.
Hari itu adalah sidang perdana pra-peradilan yang diajukan oleh Calon Kapolri Kom Jen Pol Budi Gunawan digelar. Dan kuasa hukum Kom Jen Budi Gunawan, Frederich Yunadi, pun yakin kliennya akan menang dalam gugatan tersebut. Frederich mengaku sudah menyiapkan kejutan untuk KPK dan akan membongkar kebobrokan yang ada di tubuh lembaga anti korupsi tersebut.
Kabarnya Komjen Pol Budi Gunawan melayangkan gugatan pra-peradilan tersebut atas penetapannya sebagai tersangka kasus gratifikasi dan suap oleh KPK. Dan segara di hari Senin 2 Februari 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan melakukan sidang perdana gugatan praperadilan tersebut.
Menurut Frederich, polemik KPK vs Polri ini terjadi karena banyak pihak mengomentari soal penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka, termasuk KPK. Dia meminta KPK untuk menghargai proses hukum yang tengah dilakukan Komjen Pol Budi Gunawan.
***** [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Supriansyah, pemilik unit apartemen The Capital Residen di bilangan SCBD, Jakarta Selatan, buka-bukaan perihal hubungannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad (AS). Supriansyah mengaku sudah mengenal Abraham Samad sejak tahun 2000 di Makassar. Kala itu, keduanya sama-sama sebagai sesama aktivis pegiat antikorupsi. "]
Belum selesainya peristiwa penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto oleh Polri pada kelanjutan hukum yang berjalan, saat ini KPK kembali bergejolak dengan adanya kasus "Rumah Kaca Abraham Samad".
Kasus Rumah Kaca Abraham Samad saat ini pun akhirnya menimbulkan polemik baru di dalam tubuh KPK termasuk pula tanda tanya dari banyak pihak yang anti korupsi.
Kabarnya Ketua KPK Abraham Samad juga dilaporkan Muhamad Yusuf Sahide, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia. Yusuf melaporkan Samad dengan dugaan korupsi. Berdasarkan laporan dalam surat pengaduan bernomor LP/75/I/2015/Bareskrim yang dilayangkan pada hari Jumat 22 Januari 2015 lalu, Yusuf menyebut Abraham Samad menjanjikan kemudahan perkara hukum yang tengah disidik KPK berkaitan dengan Emir Moeis.
Dan paka akhirnya laporan tersebut berbekal dua orang saksi, yakni Plt Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan pengacaranya serta tulisan berjudul Rumah Kaca Abraham Samad di sebuah blog.
Hasto Kristiyanto mengaku sudah bertemu Samad sebanyak enam kali. Di pertemuan awal, Hasto mengaku kaget. Itu karena Samad mengatakan berkat dirinya, hukuman seorang kader PDI-P yang terjerat kasus korupsi relatif ringan. Diduga yang dimaksud Samad adalah Emir Moeis yang di vonis tiga tahun penjara.
Selain itu Ketua KPK Abraham Samad dilaporkan atas dugaan keterlibatannya pada aktivitas politik saat Pilpres RI 2014 lalu. Abraham Samad dinilai telah melobi partai politik untuk mencalonkan diri sebagai Cawapres pendamping Jokowi.
Dan menurut Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia, Yusuf, menilai pelanggaran yang dilakukan Abraham Samad masuk dalam pelanggaran etik. Akan tetapi, Yusuf juga menganggap pelanggaran yang dilakukan Samad termasuk unsur pidana, seperti yang tertuang pada Pasal 36 Juncto pasal 65 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
*****
[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption=" "]
Mnegutip peristiwa drama yang sangat mengerikan diatas antara KPK maupun Polri sungguhlah sangat miris hati kita di dalam upaya bangsa ini untuk menegakan Hukum diatas segalanya, dan keinginan kita sebagai bangsa yang agamis, bermoral, berbudaya dan beretikat serta ber-Pancasila harus bersakit parah melihat begitu morat maritnya perjalanan penegakan hukum saat ini, apalagi melihat kedua kondisi institusi hukum yang kita anggap selama ini benar keduanya ternyata punya sejuta persoalan hukum yang mengambang.
Dan dari peristiwa diatas tentunya bisa kita ambil hikmahnya dari awal peristiwa kebijakan Presiden RI Jokowi dalam penetapannya menetapkan Calon Tunggal Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan tersebut. Mungkin bila tidak adanya terjadi keputusan Jokowi saat itu, tentunya kasus KPK vs Polri jilid III ini tidak terjadi, dan mungkin keborokan orang - orang penting di kedua institusi hukum tersebut tidak terhendus.
Dan akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka, Presiden RI Jokowi harus segera bertindak tegas untuk segera dapat menyelesaikan polemik KPK vs Polri, karena pada awalnya itu terjadi juga atas keputusan Jokowi sebelumnya soal penetapan Calon Kapolri Tunggal Komjen Pol Budi Gunawan untuk menggantikan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman.
Dan bagi Jokowi seharusnya pula komitmen atas janji - janjinya saat kampanye Capres RI 2014 lalu yang akan terus melakukan penegakan hukum dalam pemberantasan Korupsi di Republik Indonesia ini. Jokowi jangan hanya bisa dan mampu memberikan ketegasan atas ketetapannya dalam soal grasi eksekusi mati magi pengedar dan produsen narkoba (narkotika).
Selain itu Jokowi yang saat ini sudah menjabat sebagai kepala negara Republik Indonesia, Presiden RI Jokowi juga wajib dapat membuka dan membuang jauh simbol - simbol kebesaran partainya "PDI-P" yang mengusungnya menjadi Calpres RI 2014 lalu, pasalnya Jokowi sebagai Presiden RI adalah pemimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagai presiden partai yang mengusungnya.
Karena saat Pilpres RI 2014 lalu Jokowi di pilih oleh rakyat, bukan oleh partainya. Dan Jokowi harus mampun tegas di dalam kemandiriannya dalam memutuskan kebijakan kepemimpinannya, bukan hanya mampu bisa dikendalikan oleh pihak - pihak tertentu yang mencari kesempatan dan mementingan dirinya dan kelompoknya.
Dari 100 hari kerja Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia saat ini jelas masih belum terlihat keberaniannya dalam memutuskan ketegasan visi dan misinya sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Dan dari 100 hari itu adalah acuan awal yang sangat terpenting yang sangat diperhatikan rakyat untuk melihat kedepan kelanjutan kinerja Jokowi sendiri sebagai Presiden RI berakhir pada tahun 2019.
Bagaimana bisa memakmurkan dan memajukan Indonesia ini menjadi "Hebat" kalau Jokowi sendiri masih mudah dikendalikan oleh pihak - pihak tertentu, dan masih terlihat pimplan dalam memutuskan kebijakannya. Selain itu dalam 100 hari kerjanya sudah membawa awal kerja yang tidak populer di mata rakyat.
Soal KPK vs Polri, Presiden Jokowi hingga saat ini belum memberikan solusi atas konflik KPK - Polri. Memang beberapa hari belakangan ini, Jokowi telah bertemu dengan berbagai pihak untuk meminta masukan cara mengatasi konflik antara KPK - Polri. Presiden sudah bertemu dengan tim independen yang terdiri dari para pimpinan KPK, Polri dan ahli hukum sebanyak dua kali. Tim mengusulkan agar Jokowi membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Jokowi juga sempat bertemu dengan jajaran Dewan Pertimbangan Presiden. Usulan Wantimpres bersifat rahasia sehingga semua anggotanya menutup rapat saran yang diberikan kepada presiden. Namun, ketua tim independen Syafi'i Maarif membeberkan pertemuan Wantimpres dengan Presiden Jokowi yang tidak satu suara. Dia menyebutkan ada tiga anggota Wantimpres yang meminta presiden segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan.
Setelah bertemu Wantimpres dan tim independen, Presiden RI Jokowi juga menemui mantan rivalnya saat pilpres lalu, yakni Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Prabowo menyatakan mendukung pemerintah dan meyakini Jokowi akan mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat.
Selanjutnya pun Presiden RI Jokowi juga mendapat kedatangan Presiden ketiga RI BJ Habibie. Habibie mengingatkan Jokowi bahwa dia dipilih oleh rakyat sehingga setiap pemimpin harus selalu membela kepentingan rakyat apa pun risikonya.
Dari berbagai pertemuan yang dihadapi Jokowi dari sejumlah tokoh politik dan Wantimpres serta tim independen, Jokowi banyak menerima berbagai masukan soal kepemimpinannya, terutama soal ketegasa di dalam kebijakannya dalam berbagai hal, terutama soap penegakan hukum yang terkait kasus KPK vs Polri.
Kini semuanya tinggal keputusan akhir ada di tangan Jokowi sendiri, bisakah Jokowi menerima semua masukan tersebut diatas, atau Jokowi bisa menyaring dari semua masukan yang diterimanya dari semua pertemuan tersebut?. Dan Jokowi harus mampu serta cerdas dapat menyaring semua masukan - masukan dari sejumlah pertemuan pentingnya yang telah dilakukannya tersebut.
Jokowi benar - benar dalam sebuah ujian untuk dapat memutuskan sebuah kebijakannya, terutama soal KPK dan Polri dalam mengedepankan hukum di atas segalanya untuk keadilan dan kewibawaan bangsa ini.
Rakyat jangan dijadikan bingung dalam ketegasannya tersebut. Artinya Jokowi sebagai Presiden RI saat ini harus mampu memberikan sebuah jawaban yang tegas atas kemandiriannya di dalam sebuah ketetapan atas kebenaran KPK dan Polri tidak pernah terlibat soal hukum pada bingkai korupsilisme.
*****
Penulis : Syaifud Adidharta atau Syaifud Adidharta Edisi : 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H