“Maafkan aku tuan, aku sungguh tidak sengaja.” Ia kembali meminta maaf.
“Apa kau tidak mau membuka perban itu? Kau akan merepotkan bila perban itu belum dibuka.”
“Ja-Jangan...”
“Kenapa? Bukankah itu lebih baik.”
“Aku…Aku tak bisa melihat semua itu, aku sudah tak tahan melihat semuanya.”
“Hmm? Melihat apa?” Aku langsung mengeluarkan memo kecil dan pulpen dari jaket ku.
“Aku tak mau lagi melihat mimpi mimpi itu, sungguh mimpi itu sangat menyeramkan. Aku…Aku selalu melihat hal hal aneh, dan hal hal aneh itu kemudian menjadi hal yang nyata. Aku tak kuat melihat hal hal mengerikan yang harus menimpa orang orang didekat ku, bayang bayang akan masa depan sungguh membuatku tersiksa.”
“Hmm…” Aku berusaha menjadi pendengar yang baik disini.
“Bukan hanya itu…kadang aku juga melihat bayang bayang masa lalu, suatu hal yang aku tahu itu pernah terjadi. Hal hal menyedihkan yang selalu hadir di kepala ku, kenangan kenangan pahit itu selalu mengganggu ku. Aku sudah tak tahan dengan semua itu. Aku…Aku ingin mati saja!!”
“Cukup.” Kata ku sedikit menggertak.
“…Hah?”